Kasie Juntrad

Kasie Juntrad
I was a cadet

Sabtu, 07 Februari 2015

Implementasi Wasdal Dalam Upaya Pencegahan Bentrok Antara Personil TNI-Polri di Kepri

IMPLEMENTASI PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN DALAM UPAYA
PENCEGAHAN BENTROK ANTARA PERSONIL TNI-POLRI DI KEPULAUAN RIAU

BAB I
PENDAHULUAN

            Setelah reformasi perseteruan antara personil TNI dengan personil Polri sering terjadi, Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, sejak 2005 hingga kini, setidaknya terjadi 27 peristiwa bentrokan terbuka antara anggota dua korps tersebut di berbagai daerah. Dari seluruh peristiwa tersebut, tercatat tujuh anggota polisi tewas. Sementara itu, ada empat yang tewas dari TNI. Tidak cuma itu, bentrokan demi bentrokan telah melukai 32 personel polisi dan 15 orang tentara. Setiap bentrokan yang terjadi apapun latar belakang permasalahannya selalu menjadi atensi pimpinan dari kedua belah pihak. Baik pimpinan TNI maupun Polri menunjukkan keakraban dan kebersamaan pasca bentrokan namun hal ini tidak terjadi pada level prajurit meskipun sudah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan keakraban baik itu melalui acara panggung hiburan hingga olahraga bersama namun demikian sedikit saja terjadi permasalahan yang dipicu oleh hal kecil langsung serta merta menjadi peristiwa yang bisa berujung ke bentrokan berdarah yang sanggup memakan korban jiwa.
            Seperti kita ketahui bersama peristiwa bentrokan antara TNI/Polri yang terjadi di wilayah Propinsi Kepulauan Riau yaitu antara personil satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Kepulauan Riau dengan aparat anggota batalyon Yonif 134/ TS. Peristiwa tersebut berawal dari penegakan hukum yang dilakukan oleh Direktorat Kriminal Khusus Polda Kepri yang meminta bantuan penguatan personil dari Sat Brimobda Polda Kepri karena dalam upaya penegakan hukum di lapangan menemui hambatan berupa resistensi dari oknum aparat anggota Batalyon yang mengawal gudang penimbunan minyak solar illegal. Dampak dari penegakan hukum ini menimbulkan bentrok berkepanjangan dari kedua satuan tersebut. Pimpinan dari kedua belah pihak sudah melakukan berbagai upaya perdamaian seperti olahraga bersama hingga panggung hiburan namun demikian beberapa waktu berselang terjadi lagi bentrok di lapangan antara aparat anggota Batalyon 134 / TS dengan oknum aparat Sat Brimobda Polri yang dipicu oleh salah paham akibat “saling lirik” antar oknum tersebut di jalan yang berujung bentrok bersenjata antara pihak Batalyon dengan Sat Brimobda Polda Kepri yang menimbulkan korban luka tembak dan rusaknya sarana dan prasarana di Mako Brimob Tembesi daerah Kepulauan Riau. Peristiwa ini menggambarkan kurang optimalnya penerapan wasdal oleh level pimpinan kedua satuan. Hal ini dapat dilihat dari bobolnya gudang senjata beserta amunisi sehingga jatuh korban jiwa dari pihak TNI.
   
BAB II
PEMBAHASAN

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya bentrok adalah sebagai berikut :
1.    Faktor Kesejahteraan
Pertama adalah masalah ekonomi. Kesenjangan ekonomi antara Polisi dan Polri, serta terjadi perebutan lahan rejeki di lapangan, menjadi pemicu masalah. Tentara dan Polisi berlomba memberikan pelayanan keamanan ke masyarakat dengan tujuan mendapatkan upeti. Akhirnya sering terjadi gesekan-gesakan yang memicu dendam dan bentrokan.
2.    Kedua adalah masalah kelembagaan. Pemisahan tugas antara TNI- Polri pasca reformasi belum tuntas. Militer yang bertugas menegakan kedaulatan Negara dan Polisi menegakan kedaulatan rakyat masih sering tumpang tindih. Militer seharusnya berada di garda depan perbatasan dan tempat vital Indonesia untuk menjaga kedaulatan, namun sekarang Militer masih ada di tengah kota yang dipenuhi masyarakat sipil, seperti adanya korem, kodim, kodam di pusat kota.
3.    Ketiga adalah pendidikan fungsi, tugas dan tanggung jawab masing-masing. Kurikulum pengajaran di akademi militer dan kepolisian harus sesuai porsi masing-masing, yaitu menjaga Negara dan rakyat. Polisi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat harus menggunakan prinsip kekuatan minimal dalam menyelesaikan masalah. Itu penting ditanamkan saat menjalani pendidikan yaitu tidak seperti militer.
Dengan mengacu pada kasus bentrokan yang terjadi antara prajurit TNI dan Polri di Kepulauan Riau, dapat diperinci penyebabnya diantaranya :
a. Masih muncul pandangan dikalangan prajurit TNI bahwa kedudukan TNI dianggap lebih tinggi dibandingkan prajurit Polri;
b. Pada saat TNI dan Polri tidak lagi berada di bawah satu komando, masing-masing anggota merasa tidak perlu saling menghormati;
c. Kesenjangan penerimaan fasilitas saat melaksanakan tugas;
d. Gaya hidup anggota Polri terkesan lebih “makmur;” dibandingkan anggota TNI sehingga memunculkan kecemburuan;
e. Rasa setia kawan yang berlebihan di antara masing-masing prajurit sehingga mereka wajib saling membela ketika ada  rekannya yang “terancam”;
g. Besarnya akses Polri ke sumber-sumber ekonomi dibandingkan TNI;
h. Ketidakjelasan pengaturan  pembagian wilayah kerja antara TNI sebagai kekuatan pertahanan negara dan Polri sebagai kekuatan keamanan Negara;
i. Sikap pimpinan seringkali tidak peka akan persoalan-persoalan prajurit di tingkat bawah;
j. Pimpinan (institusi) seringkali melindungi anggota yang terlibat, bahkan dalam beberapa kasus enggan menjatuhkan sanksi tegas;
j. Penyelesaian konflik tidak sampai keakar masalahnya sehingga potensial memunculkan konflik susulan.
Tindakan pengawasan dan Pengendalian yang seharusnya dilakukan oleh Polri.
Agar potensi terjadinya konflik di antara anggota di kedua institusi dapat diminimalisir tentunya perlu segera ditetapkan upaya antisipasi yang dapat dilakukan melalui cara-cara:
a. Memperbaiki tingkat kesejahteraan anggota Polri dengan mengoptimalisasi tunjangan kinerja anggota sesuai bidang kerja dan prestasi.
b. Menjadwalkan adanya giat latihan oprasi bersama dengan satuan TNI untuk menambah wawasan kebangsaan dan meningkatkan rasa kebersamaan.
c. Adanya koordinasi  dalam hal pengendalian dan pengawasan antar Kepala Satuan di daerah untuk melakukan pertemuan secara berkala, termasuk olahraga bersama, kegiatan keagamaan bersama atau kegiatan saling mengunjungi guna memelihara keharmonisan/silaturahmi;
d. Tindakan tegas terhadap pimpinan yang lalai dalam melaksanakan tanggung jawab pembinaan guna menimbulkan efek jera, agar tanggung jawab komando betul-betul dilaksanakan;
e. Tindakan tegas kepada anggota yang terlibat dalam bentrokan guna menghindarkan munculnya anggapan adanya upaya melindungi anggota;
f. Pembenahan sistem perundang-undangan yang mengatur lingkup tugas masing-masing institusi sehingga tidak memunculkan tarik menarik kewenangan.

BAB III
KESIMPULAN

Bahwa setiap bagian dan fungsi di Kepolisian memiliki tanggung jawab dalam pengawasan dan pengendalian secara struktural, moral maupun fungsional. Pengawasan itu sendiri tidak serta merta hanya dari internal Polri melainkan juga dari pihak luar, seperti Kompolnas. Dengan pengawasan yang benar dan berkesinambungan diharapkan dapat meminimalisir konflik yang berpotensi timbul di masa yang akan  datang.

           





Tidak ada komentar:

Posting Komentar