IMPLEMENTASI PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
DALAM UPAYA
PENCEGAHAN BENTROK ANTARA PERSONIL
TNI-POLRI DI KEPULAUAN RIAU
BAB I
PENDAHULUAN
Setelah
reformasi perseteruan antara personil TNI dengan personil Polri sering terjadi,
Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, sejak 2005
hingga kini, setidaknya terjadi 27 peristiwa bentrokan terbuka antara anggota
dua korps tersebut di berbagai daerah. Dari seluruh peristiwa tersebut,
tercatat tujuh anggota polisi tewas. Sementara itu, ada empat yang tewas dari
TNI. Tidak cuma itu, bentrokan demi bentrokan telah melukai 32 personel polisi
dan 15 orang tentara. Setiap bentrokan yang terjadi apapun latar belakang
permasalahannya selalu menjadi atensi pimpinan dari kedua belah pihak. Baik
pimpinan TNI maupun Polri menunjukkan keakraban dan kebersamaan pasca bentrokan
namun hal ini tidak terjadi pada level prajurit meskipun sudah dilakukan
berbagai upaya untuk meningkatkan keakraban baik itu melalui acara panggung
hiburan hingga olahraga bersama namun demikian sedikit saja terjadi
permasalahan yang dipicu oleh hal kecil langsung serta merta menjadi peristiwa
yang bisa berujung ke bentrokan berdarah yang sanggup memakan korban jiwa.
Seperti
kita ketahui bersama peristiwa bentrokan antara TNI/Polri yang terjadi di
wilayah Propinsi Kepulauan Riau yaitu antara personil satuan Brigade Mobil
Kepolisian Daerah Kepulauan Riau dengan aparat anggota batalyon Yonif 134/ TS.
Peristiwa tersebut berawal dari penegakan hukum yang dilakukan oleh Direktorat
Kriminal Khusus Polda Kepri yang meminta bantuan penguatan personil dari Sat
Brimobda Polda Kepri karena dalam upaya penegakan hukum di lapangan menemui
hambatan berupa resistensi dari oknum aparat anggota Batalyon yang mengawal
gudang penimbunan minyak solar illegal. Dampak dari penegakan hukum ini
menimbulkan bentrok berkepanjangan dari kedua satuan tersebut. Pimpinan dari
kedua belah pihak sudah melakukan berbagai upaya perdamaian seperti olahraga
bersama hingga panggung hiburan namun demikian beberapa waktu berselang terjadi
lagi bentrok di lapangan antara aparat anggota Batalyon 134 / TS dengan oknum
aparat Sat Brimobda Polri yang dipicu oleh salah paham akibat “saling lirik”
antar oknum tersebut di jalan yang berujung bentrok bersenjata antara pihak
Batalyon dengan Sat Brimobda Polda Kepri yang menimbulkan korban luka tembak
dan rusaknya sarana dan prasarana di Mako Brimob Tembesi daerah Kepulauan Riau.
Peristiwa ini menggambarkan kurang optimalnya penerapan wasdal oleh level
pimpinan kedua satuan. Hal ini dapat dilihat dari bobolnya gudang senjata
beserta amunisi sehingga jatuh korban jiwa dari pihak TNI.
BAB II
PEMBAHASAN
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya bentrok adalah sebagai berikut :
1.
Faktor
Kesejahteraan
Pertama adalah masalah ekonomi. Kesenjangan
ekonomi antara Polisi dan Polri, serta terjadi perebutan lahan rejeki di
lapangan, menjadi pemicu masalah. Tentara dan Polisi berlomba memberikan
pelayanan keamanan ke masyarakat dengan tujuan mendapatkan upeti. Akhirnya
sering terjadi gesekan-gesakan yang memicu dendam dan bentrokan.
2.
Kedua
adalah masalah kelembagaan. Pemisahan tugas antara TNI- Polri pasca reformasi
belum tuntas. Militer yang bertugas menegakan kedaulatan Negara dan Polisi
menegakan kedaulatan rakyat masih sering tumpang tindih. Militer seharusnya
berada di garda depan perbatasan dan tempat vital Indonesia untuk menjaga
kedaulatan, namun sekarang Militer masih ada di tengah kota yang dipenuhi
masyarakat sipil, seperti adanya korem, kodim, kodam di pusat kota.
3.
Ketiga
adalah pendidikan fungsi, tugas dan tanggung jawab masing-masing. Kurikulum
pengajaran di akademi militer dan kepolisian harus sesuai porsi masing-masing,
yaitu menjaga Negara dan rakyat. Polisi yang bersentuhan langsung dengan
masyarakat harus menggunakan prinsip kekuatan minimal dalam menyelesaikan
masalah. Itu penting ditanamkan saat menjalani pendidikan yaitu tidak seperti
militer.
Dengan mengacu pada kasus
bentrokan yang terjadi antara prajurit TNI dan Polri di Kepulauan Riau, dapat
diperinci penyebabnya diantaranya :
a. Masih muncul pandangan
dikalangan prajurit TNI bahwa kedudukan TNI dianggap lebih tinggi dibandingkan
prajurit Polri;
b. Pada saat TNI dan Polri
tidak lagi berada di bawah satu komando, masing-masing anggota merasa tidak
perlu saling menghormati;
c. Kesenjangan penerimaan
fasilitas saat melaksanakan tugas;
d. Gaya hidup anggota Polri
terkesan lebih “makmur;” dibandingkan anggota TNI sehingga memunculkan
kecemburuan;
e. Rasa setia kawan yang
berlebihan di antara masing-masing prajurit sehingga mereka wajib saling
membela ketika ada rekannya yang
“terancam”;
g. Besarnya akses Polri ke
sumber-sumber ekonomi dibandingkan TNI;
h. Ketidakjelasan
pengaturan pembagian wilayah kerja
antara TNI sebagai kekuatan pertahanan negara dan Polri sebagai kekuatan keamanan
Negara;
i. Sikap pimpinan seringkali tidak peka
akan persoalan-persoalan prajurit di tingkat bawah;
j. Pimpinan (institusi) seringkali
melindungi anggota yang terlibat, bahkan dalam beberapa kasus enggan
menjatuhkan sanksi tegas;
j. Penyelesaian konflik tidak sampai
keakar masalahnya sehingga potensial memunculkan konflik susulan.
Tindakan pengawasan dan
Pengendalian yang seharusnya dilakukan oleh Polri.
Agar potensi terjadinya konflik
di antara anggota di kedua institusi dapat diminimalisir tentunya perlu segera
ditetapkan upaya antisipasi yang dapat dilakukan melalui cara-cara:
a. Memperbaiki tingkat
kesejahteraan anggota Polri dengan mengoptimalisasi tunjangan kinerja anggota
sesuai bidang kerja dan prestasi.
b. Menjadwalkan adanya giat
latihan oprasi bersama dengan satuan TNI untuk menambah wawasan kebangsaan dan
meningkatkan rasa kebersamaan.
c. Adanya koordinasi dalam hal pengendalian dan pengawasan antar
Kepala Satuan di daerah untuk melakukan pertemuan secara berkala, termasuk
olahraga bersama, kegiatan keagamaan bersama atau kegiatan saling mengunjungi
guna memelihara keharmonisan/silaturahmi;
d. Tindakan tegas terhadap
pimpinan yang lalai dalam melaksanakan tanggung jawab pembinaan guna
menimbulkan efek jera, agar tanggung jawab komando betul-betul dilaksanakan;
e. Tindakan tegas kepada
anggota yang terlibat dalam bentrokan guna menghindarkan munculnya anggapan
adanya upaya melindungi anggota;
f. Pembenahan sistem
perundang-undangan yang mengatur lingkup tugas masing-masing institusi sehingga
tidak memunculkan tarik menarik kewenangan.
BAB III
KESIMPULAN
Bahwa setiap bagian dan
fungsi di Kepolisian memiliki tanggung jawab dalam pengawasan dan pengendalian
secara struktural, moral maupun fungsional. Pengawasan itu sendiri tidak serta
merta hanya dari internal Polri melainkan juga dari pihak luar, seperti
Kompolnas. Dengan pengawasan yang benar dan berkesinambungan diharapkan dapat
meminimalisir konflik yang berpotensi timbul di masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar