Kasie Juntrad

Kasie Juntrad
I was a cadet

Kamis, 21 Mei 2015

UPAYA PENYIDIK DALAM MENCEGAH TERJADINYA PRAPERADILAN SEHUBUNGAN DENGAN PENETAPAN TERSANGKA MENJADI OBJEK PRAPERADILAN

A. LATAR BELAKANG

Proses perkembangan dalam hal penegakan hukum dan perlindungan HAM di Indonesia khususnya di tingkat pengadilan telah mengalami suatu transformasi positif yang kemudian penulis ambil sebagai contoh kasus dimana perubahan positif tersebut dipelopori oleh putusan hakim Sarpin Rizaldi dalam peristiwa hukum dimana sidang gugatan praperadilan yang dilayangkan oleh Komjen Budi Gunawan dalam hal penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK, dimana kemudian akhirnya Hakim Sarpin selaku hakim tunggal sidang praperadilan yang memeriksa perkara dengan pemohon atas nama Komjen Budi Gunawan dan termohon atas nama KPK telah mengadili dan telah memutuskan bahwa penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan yang dilakukan oleh termohon KPK adalah tidak sah. Hasil putusan ini kemudian memiliki multi tafsir dari berbagai pengamat hukum sebagai hasil penjabaran pasal dalam KUHAP dimana penetapan tersangka tidak dibunyikan sebagai obyek dari praperadilan sehingga Hakim Sarpin membuat terobosan baru tentang segala tindakan penyidik di tingkat penyidikan adalah merupakan bentuk upaya paksa sehingga hak asasi manusia yang melekat pada tersangka dalam prakteknya sering tidak diindahkan. Selain itu mengenai pasal 2 UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam penjelasan angka 7 yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:
1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
4. Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Jaksa;
6. Penyidik;
7. Panitera Pengadilan; dan
8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.
Sementara Komjen Budi Gunawan pada saat menjabat sebagai Karobinkar adalah bukan termasuk pejabat Eselon I melainkan menjabat sebagai Eselon II dengan pangkat Komisaris Besar Polisi dan bukan sebagai penyidik. Dengan mengacu pada UU no 28 tahun 1999 ini maka bukan ranah KPK untuk menjerat Komjen Budi Gunawan dan menetapkannya sebagai tersangka. Belajar dari kasus tersebut maka penulis menganalisa bahwa praperadilan itu sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 77  UU no. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimana disebutkan bahwa praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Kembali kepada kasus praperadilan dengan pemohon Komjen Budi Gunawan, tindakan penyidik KPK dengan menetapkan Komjen BG sebagai tersangka bisa mencederai hukum apalagi tidak didahului oleh pemeriksaan sebagai saksi kepada Komjen BG malahan statusnya tiba-tiba menjadi tersangka tepat disaat Komjen BG dinyatakan lulus fit and proper test sebagai calon tunggal Kapolri,  karena itu penetapan tersangka ini tidak sesuai dengan aturan hukum dan di sisi lain dalam UU nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggara yang bersih dan bebas dari KKN maka Komjen Budi Gunawan tidak masuk dalam kategori tersebut karena pada saat itu masih menduduki jabatan eselon II bukan eselon I. Adapun alasan yuridis yang lain bahwa dalam Pasal 10 ayat 1 UU no 48 tahun 2009 tentang pokok-pokok kekuasan kehakiman bahwa hakim dilarang menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya untuk diperiksa, diadili, dan diputuskan dengan dalih bahwa hukum kurang jelas melainkan wajib menerima semua perkara yang diajukan kepadanya kemudian memeriksanya dan mengadilinya. Hal ini memiliki makna hakim memiliki kewenangan rechtvinding yaitu menemukan hukum jika suatu perbuatan tidak diatur dalam UU seperti dalam kasus ini, mengenai penetapan tersangka.
Tentunya hal diatas dalam hal sisi juridis memiliki efek berkelanjutan terhadap proses hukum yang lain dengan kasus yang berbeda pula, maka dari itu kita sebagai penegak hukum khususnya penyidik harus waspada dan tidak bisa sembarangan dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka dari suatu peristiwa pidana. Makalah ini membahas tentang upaya kita sebagai penyidik untuk mencegah gugatan praperadilan terkait adanya putusan dari MK bahwa penetapan tersangka merupakan obyek dari praperadilan dan apakah penetapan status seseorang menjadi tersangka dapat dikategorikan ranah obyek praperadilan.     

B. PERMASALAHAN
1. Apakah penetapan tersangka dapat dikategorikan masuk dalam ranah obyek praperadilan?
2.  Apa yang dapat dilakukan oleh penyidik dalam mencegah upaya hukum berupa gugatan praperadilan sehubungan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi bahwa penetapan tersangka merupakan objek dari praperadilan ?

C. PEMBAHASAN
Penetapan tersangka secara limitative tidak termaktub dalam Pasal 77 UU no 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana namun demikian esensi dari adanya upaya hukum berupa praperadilan adalah sebagai wujud kontrol terhadap proses penegakan hukum yang mana terkait sangat erat dengan Hak Asasi Manusia. Banyak permasalahan yang ada baik sejak tahap pra ajudikasi dimana aparat hukum ( penyidik ) melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan sebelum upaya dilanjutkan ke tahap pengadilan sementara praperadilan memiliki sifat post-factum yang berarti tahapan ini hanya dilakukan apabila sudah terjadi penahanan. Padahal, penetapan seseorang menjadi status tersangka adalah bagian dari tahap penyidikan yang prosesnya rentan terdapat kesewenangan dari aparat hukum ( baca : penyidik ) yang erat kaitannya terhadap perampasan Hak Asasi Manusia.  Sehingga diharapkan dengan adanya yurisprudensi dari putusan hakim Sarpin mengenai masuknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan diharapkan sesuai dengan asas hukum equlity before the law dimana tersangka dalam kedudukannya sebagai manusia juga memiliki harkat, martabat dan kedudukan yang sama dimuka hukum serta menjunjung tinggi perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia yang dimiliki setiap orang terlepas dari status hukumnya.
Adapun yang dapat kita lakukan sebagai penyidik Polri dalam mencegah upaya hukum adalah selain menerapkan prinsip kehati-hatian dalam setiap langkah penyidikan dan kita juga harus memahami aturan yang menjadi payung hukum bagi penyidik Polri diantaranya Perkap no 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana yang menerangkan bahwa hendaknya dalam melakukan rangkaian kegiatan penyidikan hendaknya meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian sehingga hendaknya rangkaian tindakan penyidikan tersebut dilaksanakan secara professional, transparan, dan akuntabel terhadap setiap perkara pidana guna terwujudnya supremasi hukum yang mencerminkan rasa keadilan.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Perkap no 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana, maka dasar untuk dapat dilakukannya penyidikan adalah adanya Laporan Polisi/ pengaduan, surat perintah tugas, Laporan Hasil Penyelidikan, surat perintah penyidikan dan yang terakhir SPDP ( Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan ) yang dilayangkan ke Kejaksaan. Untuk SPDP merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan penyidik sebelum melakukan upaya paksa sehingga setelah dikirimnya SPDP ke kejaksaan maka penyidik mendapatkan nomor registrasi yang nantinya dicantumkan dalam surat perintah sebagai dasar hukum dalam melakukan upaya paksa seperti pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Kemudian secara rinci dijelaskan kembali dalam Pasal 16 hingga Pasal 19 tentang rencana penyelidikan, rencana penyidikan dan kriteria perkara yang terdiri dari mudah, sedang, sulit dan sangat sulit. Pengorganisasian sebagaimana diatur dalam pasal 20 hingga pasal 23 lebih menekankan kepada atasan penyidik untuk mengorganisir seluruh sumber daya yang tersedia untuk membentuk tim penyelidik dan tim penyidik berikut dukungan anggaran dan dukungan peralatan yang ditunjuk dengan surat perintah. Personil yang dilibatkan dalam tahap pengorganisasian ini harus memiliki kompetensi, integritas dan kapabilitas sesuai dengan perkara yang ditangani. Kemudian masuk ke tahap berikutnya yakni pelaksanaan, dimana kegiatan lidik/ sidik diatur dalam pasal 24 hingga pasal 77, penulis tidak akan membahas pasal demi pasal namun hal yang perlu digaris bawahi adalah dalam tahap pelaksanaan ini terdapat tahapan upaya paksa seperti pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat ( pasal 26 Perkap no 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana ) yang rentan terjadi gesekan konflik antara penyidik dengan tersangka/ keluarganya yang kemudian melahirkan upaya hukum yang dilakukan oleh pihak tersangka berupa gugatan pra peradilan. Maka hendaknya dalam melakukan upaya paksa pihak penyidik harus mengedepankan SOP yang berlaku sebagaimana yang telah diatur dalam Perkap dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta selalu berpedoman bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka sudah berdasarkan bukti permulaan yang cukup sehingga dapat dijadikan dasar untuk melakukan penyidikan dan menetapkan status tersangka terhadap seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana. Adapun bila dilihat pada ketentuan KUHAP yang mengatur mengenai kewenangan penyelidikan dan/atau kewenangan penyidikan dapat disimpulkan bahwa bukti permulaan yang cukup dapat terdiri atas keterangan (dalam proses penyelidikan), keterangan saksi, keterangan ahli [1](dalam proses penyidikan), barang bukti ( bukan alat bukti dan dalam proses penyelidikan dan penyidikan).
Dalam hal menentukan status tersangka hendaknya penyidik melaksanakan gelar perkara pada awal proses penyidikan yang membahas tentang tindak pidana yang sedang ditangani dan selanjutnya seiring berjalannya penyidikan kasus tindak pidana maka penyidik wajib melaksanakan kembali gelar perkara di pertengahan proses penyidikan dan gelar perkara pada saat akhir proses penyidikan sebagaimana termaktub dalam pasal 69 Perkap no. 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana. Hal ini juga merupakan wujud pengawasan dan pengendalian dari atasan penyidik terhadap kasus tindak pidana yang tengah ditangani oleh penyidik. Maka apabila SOP yang tercantum dalam UU no 8 tahun 1981 tentang KUHAP dan Perkap no. 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana dapat dilaksanakan secara konsisten dan professional diharapkan dapat meminimalisir adanya upaya hukum berupa gugatan praperadilan yang bisa saja diajukan oleh tersangka/ keluarganya ataupun melalui penasehat hukumnya kepada penyidik yang memeriksa suatu perkara.

D. KESIMPULAN
            Pada prinsipnya praperadilan merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh tersangka/ keluarganya ataupun melalui penasehat hukum yang ditunjuk terhadap penyidik yang menangani suatu perkara pidana, namun demikian praperadilan merupakan fasilitas yang diberikan oleh negara melalui lembaga pengadilan bagi seseorang sebagai warga negara untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap hak asasi yang melekat pada setiap insan manusia yang dianggap dilanggar sehingga diperlukan sebuah mekanisme hukum untuk memulihkan harkat dan martabat dari pemohon/ penggugat. Sehingga praperadilan bukanlah suatu proses yang harus ditakuti atau dikhawatirkan oleh aparat penegak hukum ( baca : penyidik ) dalam perjalanan proses penegakan hukum apabila penyidik sudah melakukan langkah-langkah penyidikan sesuai prosedur.

Daftar Pustaka

1. UU no 8 tahun 1981 tentang KUHAP.
2. UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3. UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
4. UU no 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasan Kehakiman.
5. Perkap no 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana.





[1] Dalam hal ini keterangan ahli bukan untuk menentukan apakah kasus yang sedang diperiksa merupakan suatu tindak pidana atau bukan, melainkan keterangan saksi ahli diambil hanya apabila ada petunjuk dari JPU berupa P-19  dan sebatas menerangkan segala sesuatu yang termasuk dalam lingkup keahliannya yang berhubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa dan hanya bersifat subjektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar