A. LATAR BELAKANG
Proses perkembangan dalam hal penegakan hukum dan
perlindungan HAM di Indonesia khususnya di tingkat pengadilan telah mengalami
suatu transformasi positif yang kemudian penulis ambil sebagai contoh kasus dimana perubahan positif tersebut dipelopori
oleh putusan hakim Sarpin Rizaldi dalam peristiwa hukum dimana
sidang gugatan praperadilan yang dilayangkan oleh Komjen Budi Gunawan dalam hal
penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK, dimana kemudian akhirnya Hakim
Sarpin selaku hakim tunggal sidang praperadilan yang memeriksa perkara dengan
pemohon atas nama Komjen Budi Gunawan dan termohon atas nama KPK telah mengadili
dan telah memutuskan bahwa penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan yang
dilakukan oleh termohon KPK adalah tidak sah. Hasil putusan ini kemudian memiliki
multi tafsir dari berbagai pengamat hukum sebagai hasil penjabaran pasal dalam
KUHAP dimana penetapan tersangka tidak dibunyikan sebagai obyek dari
praperadilan sehingga Hakim Sarpin membuat terobosan baru tentang segala
tindakan penyidik di tingkat penyidikan adalah merupakan bentuk upaya paksa
sehingga hak asasi manusia yang melekat pada tersangka dalam prakteknya sering
tidak diindahkan. Selain itu mengenai pasal 2 UU no 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam penjelasan
angka 7 yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki
fungsi strategis” adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan
penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme,
yang meliputi:
1. Direksi, Komisaris, dan pejabat
struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
2. Pimpinan Bank Indonesia dan
Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
4. Pejabat Eselon I dan
Pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia;
5. Jaksa;
6. Penyidik;
7. Panitera Pengadilan; dan
8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.
Sementara Komjen Budi Gunawan pada saat menjabat sebagai
Karobinkar adalah bukan termasuk pejabat Eselon I melainkan menjabat sebagai
Eselon II dengan pangkat Komisaris Besar Polisi dan bukan sebagai penyidik. Dengan
mengacu pada UU no 28 tahun 1999 ini maka bukan ranah KPK untuk menjerat Komjen
Budi Gunawan dan menetapkannya sebagai tersangka. Belajar dari kasus tersebut
maka penulis menganalisa bahwa praperadilan itu sendiri sebagaimana diatur
dalam pasal 77 UU no. 8 tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimana disebutkan bahwa praperadilan
adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang tentang:
1.
Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3. Permintaan ganti
kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas
kuasanya yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan.
Kembali kepada kasus praperadilan dengan pemohon Komjen
Budi Gunawan, tindakan penyidik KPK dengan menetapkan Komjen BG sebagai
tersangka bisa mencederai hukum apalagi tidak didahului oleh pemeriksaan
sebagai saksi kepada Komjen BG malahan statusnya tiba-tiba menjadi tersangka
tepat disaat Komjen BG dinyatakan lulus fit
and proper test sebagai calon tunggal Kapolri, karena itu penetapan tersangka ini tidak
sesuai dengan aturan hukum dan di sisi lain dalam UU nomor 28 tahun 1999
tentang penyelenggara yang bersih dan bebas dari KKN maka Komjen Budi Gunawan
tidak masuk dalam kategori tersebut karena pada saat itu masih menduduki
jabatan eselon II bukan eselon I. Adapun alasan yuridis yang lain bahwa dalam Pasal
10 ayat 1 UU no 48 tahun 2009 tentang pokok-pokok kekuasan kehakiman bahwa
hakim dilarang menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya untuk diperiksa,
diadili, dan diputuskan dengan dalih bahwa hukum kurang jelas melainkan wajib
menerima semua perkara yang diajukan kepadanya kemudian memeriksanya dan
mengadilinya. Hal ini memiliki makna hakim memiliki kewenangan rechtvinding
yaitu menemukan hukum jika suatu perbuatan tidak diatur dalam UU seperti dalam
kasus ini, mengenai penetapan tersangka.
Tentunya hal diatas dalam hal sisi juridis memiliki efek
berkelanjutan terhadap proses hukum yang lain dengan kasus yang berbeda pula,
maka dari itu kita sebagai penegak hukum khususnya penyidik harus waspada dan
tidak bisa sembarangan dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka dari suatu
peristiwa pidana. Makalah ini membahas tentang upaya kita sebagai penyidik
untuk mencegah gugatan praperadilan terkait adanya putusan dari MK bahwa
penetapan tersangka merupakan obyek dari praperadilan dan apakah penetapan
status seseorang menjadi tersangka dapat dikategorikan ranah obyek
praperadilan.
B. PERMASALAHAN
1.
Apakah penetapan tersangka dapat dikategorikan masuk dalam ranah obyek
praperadilan?
2. Apa yang dapat dilakukan oleh penyidik dalam
mencegah upaya hukum berupa gugatan praperadilan sehubungan dengan adanya
putusan Mahkamah Konstitusi bahwa penetapan tersangka merupakan objek dari
praperadilan ?
C. PEMBAHASAN
Penetapan
tersangka secara limitative tidak termaktub dalam Pasal 77 UU no 8 tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana namun demikian esensi dari
adanya upaya hukum berupa praperadilan adalah sebagai wujud kontrol terhadap
proses penegakan hukum yang mana terkait sangat erat dengan Hak Asasi Manusia. Banyak
permasalahan yang ada baik sejak tahap pra ajudikasi dimana aparat hukum (
penyidik ) melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan sebelum upaya
dilanjutkan ke tahap pengadilan sementara praperadilan memiliki sifat post-factum yang berarti tahapan ini
hanya dilakukan apabila sudah terjadi penahanan. Padahal, penetapan seseorang
menjadi status tersangka adalah bagian dari tahap penyidikan yang prosesnya
rentan terdapat kesewenangan dari aparat hukum ( baca : penyidik ) yang erat
kaitannya terhadap perampasan Hak Asasi Manusia. Sehingga diharapkan dengan adanya
yurisprudensi dari putusan hakim Sarpin mengenai masuknya penetapan tersangka
sebagai obyek praperadilan diharapkan sesuai dengan asas hukum equlity before the law dimana tersangka
dalam kedudukannya sebagai manusia juga memiliki harkat, martabat dan kedudukan
yang sama dimuka hukum serta menjunjung tinggi perlindungan terhadap Hak Asasi
Manusia yang dimiliki setiap orang terlepas dari status hukumnya.
Adapun yang dapat kita
lakukan sebagai penyidik Polri dalam mencegah upaya hukum adalah selain
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam setiap langkah penyidikan dan kita juga
harus memahami aturan yang menjadi payung hukum bagi penyidik Polri diantaranya
Perkap no 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana yang
menerangkan bahwa hendaknya dalam melakukan rangkaian kegiatan penyidikan
hendaknya meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan
pengendalian sehingga hendaknya rangkaian tindakan penyidikan tersebut dilaksanakan
secara professional, transparan, dan akuntabel terhadap setiap perkara pidana
guna terwujudnya supremasi hukum yang mencerminkan rasa keadilan.
Sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 4 Perkap no 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak
pidana, maka dasar untuk dapat dilakukannya penyidikan adalah adanya Laporan
Polisi/ pengaduan, surat perintah tugas, Laporan Hasil Penyelidikan, surat
perintah penyidikan dan yang terakhir SPDP ( Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
) yang dilayangkan ke Kejaksaan. Untuk SPDP merupakan syarat mutlak yang harus
dilakukan penyidik sebelum melakukan upaya paksa sehingga setelah dikirimnya
SPDP ke kejaksaan maka penyidik mendapatkan nomor registrasi yang nantinya
dicantumkan dalam surat perintah sebagai dasar hukum dalam melakukan upaya
paksa seperti pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan
pemeriksaan surat. Kemudian secara rinci dijelaskan kembali dalam Pasal 16 hingga
Pasal 19 tentang rencana penyelidikan, rencana penyidikan dan kriteria perkara
yang terdiri dari mudah, sedang, sulit dan sangat sulit. Pengorganisasian
sebagaimana diatur dalam pasal 20 hingga pasal 23 lebih menekankan kepada
atasan penyidik untuk mengorganisir seluruh sumber daya yang tersedia untuk
membentuk tim penyelidik dan tim penyidik berikut dukungan anggaran dan
dukungan peralatan yang ditunjuk dengan surat perintah. Personil yang
dilibatkan dalam tahap pengorganisasian ini harus memiliki kompetensi,
integritas dan kapabilitas sesuai dengan perkara yang ditangani. Kemudian masuk
ke tahap berikutnya yakni pelaksanaan, dimana kegiatan lidik/ sidik diatur
dalam pasal 24 hingga pasal 77, penulis tidak akan membahas pasal demi pasal
namun hal yang perlu digaris bawahi adalah dalam tahap pelaksanaan ini terdapat
tahapan upaya paksa seperti pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan dan pemeriksaan surat ( pasal 26 Perkap no 14 tahun 2012 tentang
manajemen penyidikan tindak pidana ) yang rentan terjadi gesekan konflik antara
penyidik dengan tersangka/ keluarganya yang kemudian melahirkan upaya hukum
yang dilakukan oleh pihak tersangka berupa gugatan pra peradilan. Maka hendaknya
dalam melakukan upaya paksa pihak penyidik harus mengedepankan SOP yang berlaku
sebagaimana yang telah diatur dalam Perkap dan menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia serta selalu berpedoman bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh
tersangka sudah berdasarkan bukti permulaan yang cukup sehingga dapat dijadikan
dasar untuk melakukan penyidikan dan menetapkan status tersangka terhadap
seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana. Adapun bila dilihat
pada ketentuan KUHAP yang mengatur mengenai kewenangan penyelidikan dan/atau
kewenangan penyidikan dapat disimpulkan bahwa bukti permulaan yang cukup dapat
terdiri atas keterangan (dalam proses penyelidikan), keterangan saksi,
keterangan ahli [1](dalam
proses penyidikan), barang bukti ( bukan alat bukti dan dalam proses penyelidikan
dan penyidikan).
Dalam hal menentukan
status tersangka hendaknya penyidik melaksanakan gelar perkara pada awal proses
penyidikan yang membahas tentang tindak pidana yang sedang ditangani dan
selanjutnya seiring berjalannya penyidikan kasus tindak pidana maka penyidik
wajib melaksanakan kembali gelar perkara di pertengahan proses penyidikan dan gelar
perkara pada saat akhir proses penyidikan sebagaimana termaktub dalam pasal 69
Perkap no. 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana. Hal ini
juga merupakan wujud pengawasan dan pengendalian dari atasan penyidik terhadap
kasus tindak pidana yang tengah ditangani oleh penyidik. Maka apabila SOP yang
tercantum dalam UU no 8 tahun 1981 tentang KUHAP dan Perkap no. 14 tahun 2012
tentang manajemen penyidikan tindak pidana dapat dilaksanakan secara konsisten
dan professional diharapkan dapat meminimalisir adanya upaya hukum berupa
gugatan praperadilan yang bisa saja diajukan oleh tersangka/ keluarganya
ataupun melalui penasehat hukumnya kepada penyidik yang memeriksa suatu
perkara.
D. KESIMPULAN
Pada
prinsipnya praperadilan merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh
tersangka/ keluarganya ataupun melalui penasehat hukum yang ditunjuk terhadap
penyidik yang menangani suatu perkara pidana, namun demikian praperadilan
merupakan fasilitas yang diberikan oleh negara melalui lembaga pengadilan bagi
seseorang sebagai warga negara untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap hak
asasi yang melekat pada setiap insan manusia yang dianggap dilanggar sehingga
diperlukan sebuah mekanisme hukum untuk memulihkan harkat dan martabat dari
pemohon/ penggugat. Sehingga praperadilan bukanlah suatu proses yang harus
ditakuti atau dikhawatirkan oleh aparat penegak hukum ( baca : penyidik ) dalam
perjalanan proses penegakan hukum apabila penyidik sudah melakukan langkah-langkah
penyidikan sesuai prosedur.
Daftar Pustaka
1. UU no 8 tahun 1981 tentang KUHAP.
2. UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
3. UU no 28 tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
4. UU no 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasan Kehakiman.
5. Perkap no 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan
tindak pidana.
[1]
Dalam hal ini keterangan ahli bukan untuk menentukan apakah kasus yang sedang
diperiksa merupakan suatu tindak pidana atau bukan, melainkan keterangan saksi
ahli diambil hanya apabila ada petunjuk dari JPU berupa P-19 dan sebatas menerangkan segala sesuatu yang
termasuk dalam lingkup keahliannya yang berhubungan dengan perkara pidana yang
sedang diperiksa dan hanya bersifat subjektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar