BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Indonesia adalah suatu negara hukum yang besar dan apabila kita
ibaratkan sebagai sebuah organisasi maka negara kita memiliki suatu sistem dalam
menjalankan pemerintahan yang mana tentunya juga memiliki apa yang disebut
sebagai sub-system sehingga dapat terciptanya suatu ketersinambungan dalam
menjalankan rantai organisasi untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Yang diibaratkan
penulis disini sebagai bagian dari system organisasi adalah lembaga kenegaraan
yang dalam pembahasan ini salah satunya
merupakan sub-system yang khusus bergerak
dibidang hukum dan perundang-undangan untuk menjaga tatanan nilai dan norma
yang hidup dalam masyarakat dan sub system itu adalah aparat pemerintah yang
terdiri dari polisi, jaksa dan hakim dan ketiganya merupakan penegak hukum yang
ditunjuk dan memiliki kewenangan dalam menegakkan hukum untuk menciptakan
keadilan dan rasa aman ditengah-tengah masyarakat tentunya dengan prosedur yang
telah diatur sesuai dalam undang-undang yang berlaku yang selanjutnya kita
ketahui bersama tergabung dalam mekanisme Criminal Justice System.
Polisi dalam peranannya memelihara keamanan dan ketertiban
memiliki dimensi yang luas dan tidak dapat diukur karena tugas Polisi begitu
kompleks mengikuti perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Seiring
berkembangnya zaman maka permasalahan yang muncul dan modus operandi kejahatan selalu
berubah dan selangkah lebih maju dibandingkan dengan regulasi hukum yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Maka dari itu, seorang individu Polri diharapkan
memiliki profesionalisme dan mental yang baik dan sesuai dengan apa yang telah
dituangkan dalam pedoman Polri yakni Tri Brata dan Catur Prasetya untuk dapat
mengantisipasi dan menghadapi tantangan tindak criminal dan beragam tugas
kepolisian lainnya yang berkaitan dengan harkamtibmas. Ironisnya, petugas
polisi meski sudah melalui beragam proses seleksi mulai dari tahap pengadaan (
rekruitmen dan seleksi ), tahapan pendidikan hingga saat sampai ke tahap
penggunaan maka akan muncul masalah baru yang berkaitan dengan public trust dan
abuse of power. Hal inilah yang seharusnya ditelaah lebih lanjut apakah ada
hubungannya dengan tahapan selanjutnya dalam proses SDM yakni tahap perawatan
dan tahap pemisahan. Karena hakekatnya tahapan tersebut tidak dapat dipisahkan
dan berkaitan satu dengan yang lainnya.
Bila dibandingkan dengan KPK sebagai lembaga ad hoc yang
mendapat dukungan people power atas kontribusinya dalam memerangi kejahatan
korupsi seharusnya Polri juga mendapatkan kesempatan yang sama berupa dukungan
kepercayaan publik dalam memerangi kasus korupsi. Cermin polisi yang bagi
sebagian besar masyarakat Indonesia masih dinilai jauh dari harapan masyarakat
seharusnya mendapat koreksi berupa dukungan terhadap intitusi penegak hukum
khususnya Polri dari golongan cendekiawan dan pemerhati hukum karena
Indonesia adalah negara hukum yang
dimana masyarakat dan pemerintahnya harus bisa saling menghormati dan
menghargai. Alangkah tidak bijaksana bila kita membanding-bandingkan antara KPK
dengan Polri karena pada hakikatnya kedua lembaga ini bersama dengan intitusi
kejaksaan adalah lembaga penegak hukum yang sama-sama memberantas rasuah.
Diharapkan melalui tulisan ini Polri sebagai etalase terdepan
dalam dinamika penegakan hukum dan pemelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat mampu menjadi institusi yang kembali mendapatkan kepercayaan penuh
masyarakatnya. Dengan menyongsong Grand Strategy Polri dan pembenahan internal
melalui sumber daya manusia dilihat dari pembenahan kesejahteraan, mentalitas
aparat dan peningkatan kualitas pendidikan maka diharapkan Polri kedepannya
semakin professional dan sesuai dengan harapan masyarakat.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Dari uraian
pendahuluan diatas maka rumusan masalah yang penulis gunakan adalah:
1.
Bagaimana seharusnya Polri yang professional ?
2.
Apa yang menjadi ukuran mentalitas aparat penegak
hukum yang diharapkan oleh masyarakat ?
3.
Seperti apa sumber daya personil Polri yang
dibutuhkan oleh organisasi dalam menghadapi tantangan di masa depan yang sesuai
dengan pedoman Polri yakni Tri Brata ?
4.
Apa strategi yang seharusnya dilakukan oleh Polri
untuk mencapai dukungan publik dalam menyelenggarakan penegakan hukum dan
harkamtibmas?
BAB II
LANDASAN
TEORI
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara
organisme dengan lingkungannya sebagai objek kajian. Ekologi itu sendiri
berasal dari Bahasa Yunani yaitu Oikos (
habitat ) dan Logos ( ilmu ). Ekologi
adalah ilmu yang mempelajari baik interaksi antar mahkluk hidup maupun
interaksi antara mahkluk hidup dengan lingkungannya ( Ernst Haeckel 1834-1914 )[1].
Ekologi pada awalnya hanya mempelajari berbagai proses alamiah yang ada di
dunia mulai dari rangkaian proses regenerasi mahkluk hidup hingga akhirnya
berkembang menjadi ilmu yang mempelajari berbagai dinamika kehidupan sosial
masyarakat yang disesuaikan dengan tingkatan akal dan budaya manusia[2].
Hal ini erat kaitannya dengan apa yang akan dibahas oleh menulis dimana
pengaruh interaksi antara aparat penegak hukum ( polisi, jaksa dan hakim ) dan
interaksi antara penegak hukum dengan lingkungannya ( masyarakat ) sangat
berpengaruh dalam kelangsungan ekosistemnya, dalam hal ini maka ekosistem bisa
diartikan sebagai lingkungan organisasi lembaga penegak hukum khusunya Polri
yang memiliki tujuan dari organisasi yaitu pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat dan penegakan hukum dalam upaya menciptakan keadilan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
George R. Terry dalam bukunya Principle of Management
menyebutkan sebuah teori bahwa enam sumber daya yang harus dimiliki dalam memanage
sebuah organisasi yaitu:
1. Man ( sumber daya manusia )
Dalam
mendukung organisasi Polri maka Biro SDM memiliki andil yang besar mulai dari
system perekrutan anggota Polri dangan standar yang sesuai dengan perkembangan
jaman dan kebutuhan publik hingga tahap perawatan dengan tunjangan dan gaji
yang baik sampai tahap pengakhiran dinas personil Polri. Hal ini memiliki
pengaruh paling esensial dalam mencerminkan kualitas personil Polri yang
dimiliki. Semakin tinggi standar sumber daya manusia maka rangkaian sikklus SDM
setelah tahap pengadaan sampai yang terakhir tahap pengakhiran harus memiliki
standar baku yang jelas dan terukur.
2. Materials ( logistic )
Logistic
memegang peranan penting dalam organisasi Polri. Tanpa adanya dukungan logistic
yang memadai maka kinerja anggota Polri di lapangan akan mengalami kesulitan.
Logistic juga harus mencerminkan kesiapan dan ketangguhan institusi Polri dalam
memerangi kejahatan dan penjaga kedamaian di tengah-tengah masyarakat. maka
dari itu logistik[3]
hendaknya melambangkan jati diri Polri dan mampu merebut simpati rakyat dengan
penyediaan logistic yang cukup dan bermanfaat bagi anggota Polri di lapangan
sehingga masyarakat merasakan keberadaan Polri yang ditunjang dengan pencitraan
Polri yang baik.
3. Machines ( mesin, sarana pra sarana )
Sarana
dan pra sarana adalah syarat mutlak bagi personil Polri dalam melaksanakan
tugas baik itu sebagai personil di lapangan maupun personil staff. Kinerja akan
efektif bila didukung dengan teknologi yang baik dan sesuai akan kebutuhan
kerja.
4. Method
Metode
dalam pelaksanaan tugas di lapangan sangat dibutuhkan oleh organisasi dalam
mencapai tujuan dengan efektif. Demikian hal nya dengan Polri, dalam mencapai
tujuan Polri telah mencanangkan Grand Stategi Polri yang berisi rencana jangka
pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
5. Money dan
Uang
tidak pernah bisa lepas dari kebutuhan dalam menjalankan organisasi. Semua hal
bersifat rasional selalu memiliki parameter nilai ekonomis. Pentingnya
perencanaan penganggaran dalam institusi Polri merupakan wujud dari konsekuensi
Polri dalam upaya melayani masyarakat dan memelihara kamtibmas.
6. Market
Dalam aspek
market, Polri memiliki tujuannya sendiri yakni harkamtibmas dan penegakkan
hukum. Karena masyarakat adalah objek utama Polri dalam melaksanakan tugasnya.
Ketika polisi berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik, maka disitu nilai
jual Polri meningkat dengan wujud apresiasi dan penghargaan dari masyarakatnya.
Polisi ada karena masyarakat, dan untuk itu polisi mengabdi kepada masyarakat.
BAB III
PEMBAHASAN
Profesional
dalam lingkup budaya polri tidak lepas dari sejarah bagaimana Kepolisian Negara
Republik Indonesia bisa menjadi besar seperti sekarang ini. Apabila kita
mengupas sejarah maka Polri dahulunya merupakah satu wadah dengan TNI yang
kemudian dikenal dengan sebutan ABRI. Seiring berjalannya waktu, Polri lalu
memisahkan diri dari TNI karena Polri berusaha menjadi pelayan masyarakat yang
“membumi” , non militeristik sesuai dengan fungsi tugasnya yang diemban yakni
pemelihara kamtibmas dan penegakkan hukum dimana dalam pelaksanaan tugasnya Polri
sangat erat dengan masyarakat, berbeda dengan TNI yang fungsi tugasnya lebih
bersifat militer dan merupakan pertahanan negara dalam menjaga kedaulatannya
dari serangan negara lain. Disinilah titik tolak polisi professional yang
sesuai dengan kehendak rakyat, dimana Polisi diharapkan lebih “sipil” dan lebih
mambaur dengan masyarakatnya sehingga masyarakat merasa tenang, aman dan merasa
memiliki polisinya yang hadir ditengah mereka. Namun demikian merubah kultur
yang sudah melekat bertahun-tahun lamanya tidaklah semudah dan secepat yang
diharapkan. Watak dan karakter militeristik yang melekat kuat dengan institusi
Polri melalui personilnya masih sangat kuat. Sifat hirarkhi yang militeristik
meski sudah ada upaya “pensipilan” hirarkhi melalui perubahan sebutan pada
pangkat namun tidak juga merubah watak yang sudah terlanjur melekat. Pengaruh
ini biasanya diperoleh dalam masa pembentukan dari masyarakat umum dibentuk
menjadi sosok petugas Polri yang memiliki tingkat disiplin yang sesuai dengan
kebutuhan organisasi, namun pada prakteknya hal tersebut sering disalahartikan
dan kurang dipahami oleh para instruktur sehingga bisa mengakibatkan pengasuhan
yang condong ke militeristik daripada membentuk karakter kepribadian polisi
yang sipil.
Dalam KBBI kata profesionalisme[4]
berasal dari kata dasar profesi[5]
yang artinya pekerjaan dengan dilandasi pendidikan atau keahlian tertentu
dengan sistim imbalan yang terukur. Maka jika ditarik benang merahnya profesi
polisi harus dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki keahlian dan kemampuan
khusus dibidang kepolisian sehingga keahliannya dapat dirasakan oleh khalayak
ramai. Oleh karena itu profesionalisme perlu ditunjang dengan mentalitas
kepribadian yang baik sesuai dengan yang terkandung dalam pedoman Polri yakni
Tri Brata dan Catur Prasetya demi menciptakan personil Polri yang tahu betul
akan tanggung jawabnya dan tugas utamanya dalam melayani masyarakat.
Mentalitas
aparat Polri adalah dasar utama dalam keberhasilan tugas Polri, karena tanpa
didukung adanya sikap dan sifat mental yang baik dari individu Polri maka
penyalahgunaan kewenangan akan sering dilakukan oleh petugas Polri. Seperti
kita ketahui bersama bahwa Polri memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam
UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan diatur juga
dalam KUHAP no 8 tahun 1981. Parameter mentalitas personil Polri yang baik
sudah ditanamkan sejak pembentukan pertama menjadi anggota Polri dan dari
sejarah melekat kuat pada citra mantan Kapolri kita Jenderal Polisi Purn. Hoegeng,
namun demikian pengaruh lingkungan sesuai teori ekologi yang dibahas penulis
diatas bahwa komunitas atau lingkungan atau yang disebut dalam teori sebagai
bagian dari ekosistem sangat berpengaruh pada perubahan mental petugas Polri. Disinilah
peran dari perwira, atasan dan keluarga yang memiliki pengaruh sangat besar
dalam mempertahankan mental anggota kepolisian agar tidak melenceng dari apa
yang seharusnya untuk dapat mencegah terjadinya penyelahgunaan kewenangan.
Pengawasan melekat oleh atasan dan pembinaan rohani menjadi bagian dari program
pimpinan untuk tetap menjaga mental bawahannya agar tetap terjaga dan terhindar
dari penyalahgunaan kewenangan atau tindakan indisipliner lainnya. Dengan
wasdal melekat oleh pimpinan dan keharmonisan rumah tangga personil Polri maka
akan sangat berpengaruh terhadap kinerja personil tersebut di lapangan,
demikian juga sebaliknya.
Terdapat
berbagai kiat agar kepribadian Tri Brata sebagai pedoman hidup Polri dapat
bersinergi dengan sumber daya manusia yang dimiliki Polri, hal ini diharapkan
dapat meningkatkan profesionalitas personil Polri dan meningkatkan mutu SDM
yang ada sehingga etos kerja dan budaya organisasi dapat menjadi hal yang
berkulitas dan memberi pengaruh positif pada hasil yang akan dicapai oleh
organisasi Polri melalui berbagai macam program yang telah dicanangkan oleh
pimpinan Polri. Adapun hal dimaksud adalah sebagai berikut :
1. System pembinaan personil di biro SDM baik
itu Binkar, Dalpers, Watpers harus mampu bersinergi sebagai satu kesatuan yang
utuh dibawah payung biro SDM. Tidak meononjolkan egosentrisme internal di
sector pekerjaan melainkan mengedepankan rasa kebersamaan dapat menjadi formula
yang ampuh untuk melakukan pembinaan personil polri yang ada di wilayah.
Apabila biro SDM berjalan dengan baik maka akan sangat berpengaruh terhadap
organisasi Polri di tingkat kewilayahan dan hal ini juga memiliki efek domino
apabila berlaku sebaliknya, jika tatanan dan kinerja biro SDM banyak
mendapatkan sorotan dari pimpinan Polri dan memiliki hambatan yang plural tanpa
ada solusi maka akan berpengaruh pula ke organisasi jajaran yang ada di
wilayah.
2. Perlu digarisbawahi bahwa pengejawantahan
makna dari pedoman Polri yakni Tri Brata dan Catur Prasetya harus menjadi
parameter moral bagi insan Polri di pusat hingga wilayah. Komitmen moral adalah
salah satu wujud nyata dari jargon revolusi mental yang belakangan ini diusung
oleh Polri, hal ini memiliki trend positif dikalangan kepolisian baik secara
internal maupun hubungan eksternal dengan lembaga seperi kompolnas, LPSK dan
lainnya.
3. Peningkatan kompetensi para personil Polri
sesuai bidang fungsi tugasnya adalah suatu keharusan karena Polisi sebagai
profesi, harus diperankan oleh tenaga professional yang memiliki standar baku
mutu ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan bidang pekerjaannya. Polisi
modern yang terpelajar dan menguasai bidang tugasnya akan sangat membantu
organisasi dan masyarakat. Peningkatan kompetensi dapat dilakukan dengan
mengadakan dan mengikutkan personil Polri yang dipilih untuk menjadi peserta
pendidikan dan pelatihan seperti sekolah kejuruan pengembangan spesialisasi
fungsi tertentu, kursus fungsi kepolisian sebagai wujud kerjasama dengan
pemerintah negara asing seperi JCLEC, ILEA dan sebagainya, sekolah pengembangan
karir seperti secapa, selapa, sespima, sespimen hingga sespati.
4. Punish dan reward selalu dapat menjadi
parameter keberhasilan petugas kepolisian dalam berdinas melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya. Bentuk reward dapat menjadi motivasi dan self esteem bagi
penerima reward, anggota merasa kerja kerasnya diperhatikan oleh pimpinan dan
merupakan kebanggaan untuk bisa berhasil dibidang pekerjaan yang digelutinya.
Demikian halnya dengan punishment, dari sudut pandang positif adalah merupakan
suatu bentuk motivasi yang berupa teguran baik lisan maupun tertulis yang
diberikan pimpinan kepada anggotanya untuk mendorong anggota yang bekerja
dibawah standart dan tidak memberikan kontribusi yang cukup kepada organisasi
Polri untuk dapat membenahi kinerjanya agar personil tersebut menjadi bermanfaat
bagi organisasi Polri dan masyarakat. Hal inilah yang menjadi jurang pemisah
antara Good Cop yang bekerja dengan etos kerja tinggi dan motivasi yang baik
dengan menganut konsep Tri Brata dalam setiap pelaksanaan tugasnya dengan Bad
Cop yang tidak memiliki visi dalam bekerja, unconsistent, dan tidak memiliki
standart kinerja yang pantas, biasanya polisi tipe ini juga tidak memberikan
kontribusi yang positif kepada masyarakat dan kedepannya malah memiliki potensi
negatif yang dapat merugikan organisasi Polri.
Sesuai
makna yang tergantung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya maka setiap anggota
Polri dalam melaksanakan tugasnya harus memiliki[6]:
1. Attitude yang baik, tercermin dalam sikap
perilaku, integritas moral, disiplin, semangat dan dedikasi yang tinggi dalam
pelaksanaan tugasnya.
2. Knowledge, memiliki wawasan pengetahuan
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan memiliki kemampuan untuk
menguasai teknologi sejalan dengan perkembangannya yang sesuai dan bermanfaat
untuk mendukung pelaksanaan tugasnya.
3. Inter Personal Skill, merupakan kemampuan dan
ketrampilan dasar yang harus dimiliki oleh setiap insan Polri, dalam
berkomunikasi dan berinteraksi (human
relation) baik dalam rangka pelaksanaan tugasnya maupun dalam kehidupan
sehari-hari.
4. Technical Skill, mencakup kemampuan,
kemahiran dan keahlian baik teknik, taktik, strategi, maupun manajemen yang
didukung dengan pertanggung jawaban administrasi sesuai dengan jenis bentuk dan
tatarannya.
Keempat aspek
diatas saling berkaitan erat satu sama lain yang secara simultan harus ditumbuh
kembangkan oleh setiap insan Polri sebagai aparat penegak hukum yang
profesional yang dilandasi dengan nilai-nilai luhur dalam Tribrata, integritas
moral, etika profesi dan berpegang teguh pada komitmen yang telah disepakati
dalam pelaksanaan tugasnya.
Beberapa tahun
belakangan ini kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Polri mulai pudar
bersamaan dengan beberapa kejadian yang membuat publik bertanya-tanya akan
integritas personil Polri mulai dari beberapa kasus seperti Polri VS KPK, Cicak
lawan Buaya, rekening gendut, kasus Simulator SIM, dan lain sebagainya membuat
Polri semakin berbenah baik secara internal maupun eksternal. Berbagai kasus
tersebut tidak lepas karena Polri sebagai etalase terdepan pelayan publik di bidang
hukum dan pemelihara kamtibmas yang mana dalam setiap tindak tanduknya selalu
bersentuhan dengan masyarakat, maka berbagai kritik dan opini yang berkembang
di masyarakat seharusnya bukan menjadi
faktor yang melemahkan mental personil Polri melainkan sebagai motivasi untuk
menjadi lebih baik dari yang sebelumnya dan bertransformasi menjadi polisi
sipil yang dikehendaki oleh masyarakat Indonesia. Hal ini membuat Polri
mencanangkan program jangka panjang Reformasi Birokrasi Polri yang didalamnya
ada Grand Strategi Polri yang mana merupakan garis besar rencana kerja Polri
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan rasa aman dan tertib yang terbagi
dalam tiga tahapan yakni :
a. Periode 2005 – 2010 Trust Building.
Fokus di periode ini adalah
peningkatan pelayanan masyarakat untuk membangun kepercayaan publik terhadap
Polri.
b. Periode 2010 – 2015 Tahap Partnership
Berangkat dari periode trust
building, maka sekanjutnya masuk ke tahapan partnership dimana Polisi adalah
mitra masyarakat. Polisi ada karena masyarakat dan hadir untuk masyarakat,
demikian halnya masyarakat juga dapat membantu tugas kepolisian dalam lingkup
tertentu karena pada dasarnya masyarakat kita adalah masyarakat yang taat hukum
dan mengerti akan aturan perundang-undangan. Maka dengan partisipasi masyarakat
dalam upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban merupakan suatu langkah
progresif yang harus sudah dicapai di era tahapan partnesship ini. Adapun yang
dikedepankan oleh organisasi polri adalah unsur polmas dengan babinkamtibmas
sebagai garda terdepan dalam membina hubungan dengan masyarakat melalui suatu
program FKPM yang memiliki wadah BKPM untuk menampung aspirasi masyarakat
terhadap berbagai gejolak permasalahan yang timbul di masyarakat sehingga
diharapkan deteksi dini dan penyelesaian perkara ringan dapat sampai ditingkat
ini. Karena sesuai aturan dan sikap profesionalitas permasalahan yang sudah
sampai di kantor polisi dan dibuatkan LP sudah seharusnya berjalan prosedur dan
sesuai atruan yang berlaku sehingga tidak mengenal ADR atau pencabutan laporan
sementara kasus tersebut bukan delik aduan atau yang lebih fatal lagi yang
biasa disebut delapan enam perkara. Hal seperti demikian harus sudah dapat
dihindari untuk menuju tahapan polisi masa depan yang professional, transparan
dan akuntabel.
c. Periode 2016 – 2025 Tahap Strive for
Excellence
Tahapan ini diharapkan Polri
dapat mempertahankan profesionalitas dan mentalitas yang baik seperti yang
dikehendaki publik dan selalu berjuang untuk kesempurnaan karena pada
hakikatnya kita sudah di jaman globalisasi dan era kejahatan yang semakin
canggih juga tidak mengenal batas. Maka Polri
harus dapat mengembangkan dirinya agar selalu selangkah lebih maju bila
dibandingkan dengan permasalahan yang ada dan semakin berkembang di masyarakat.
Perbaikan infrastruktur, good governance dan kompensasi pada personil POlri
dari pangkat terendah sampai pangkat tertinggi adalah suatu kewajaran mengingat
Polri sudah sampai di level yang mana menjunjung tinggi profesionalitas yang
digaungkan masyarakatnya, transparan dalam pelayanan dan akuntabel dalam
pelaksanaan tugas.
Diharapkan
dengan strategi diatas maka Polri dapat menjadi pelindung, pengayom dan pelayan
masyarakat juga penegak hukum yang professional, transparan dan akuntabel
sehingga publik merasa terbantu dan keberadaan Polri sungguh sangat dirasakan.
BAB IV
PENUTUP
4.I
KESIMPULAN
Masyarakat
Indonesia sekarang ini menyoroti kinerja kepolisian, mereka membutuhkan polisi
yang professional dan memiliki mentalitas serta integritas yang baik. Polri
sendiri telah memiliki pedoman kode etik dan pranatanya sendiri untuk
menetapkan standar professional dan mentalitas bhayangkara sebagai Abdi utama
masyarakat. Namun demikian adalah bukan suatu hal yang mudah bila kita
menghendaki polisi yang notabenenya memiliki sejarah militer dan hingga saat
ini pada sebagian oknum mental aparatnya masih ada yang cenderung bermental
priyayi, namun hal tersebut merupakan dinamika dimana Polri dengan kritikan
publik maka akan selalu akan belajar dan berbenah untuk membangun dirinya (
baca: institusi ) untuk menjadi lebih baik. Parameter professional dan mental yang
baik itu sendiri dapat tercermin dari kemampuan aparat Polri dalam melaksanakan
Tupoksinya yang utama yakni to protect dan to serve, apabila masyarakat sudah
merasa ter-protect dan terlayani dengan baik, maka publik akan menilai Polri
sudah professional. Jadi kata professional itu bukan lahir atas penilaian
aparat Polri itu sendiri, melainkan lahir secara tulus dari hati masyarakat
yang merasa terbantu, terlindungi, dan terlayani melalui hadirnya Polri.
4.2
SARAN
Adapun
untuk menjadi Polisi yang professional kita harus berbenah secara holistic dan
hal tersebut dimulai dari revolusi mental terhadap diri sendiri. Berpedoman
pada Catur Prasetya dan Tri Brata serta memegang teguh Kode Etik Profesi Polri
adalah tolak ukur untuk menjadi polisi professional yang bermental humanis,
akuntabel dan sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat luas.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Hutagalung
RA. 2010. Ekologi Dasar. Jakarta. Hlm: 20-27
2. Prof.Sudarsono,
Teguh. 2014. Bunga Rampai. Jakarta
5.
Prof. Reksodipuro, Mardjono.“Ilmu Kepolisian dan
Profesionalisme Polri” dalam rangka sewindu Kajian Ilmu Kepolisian Universitas
Indonesia (KIK-UI).
6. Kunarto,
Etika kepolisian, Cipta Manunggal, 1997.
7.
Kelik Pramudya,SH. Dan Ananto Widiatmoko, SH.,
Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum, cetakan pertama 2010.
[1] Hutagalung
RA. 2010. Ekologi Dasar. Jakarta. Hlm: 20-27
[2]
Prof.Sudarsono, Teguh. 2014. Bunga Rampai.
Jakarta.
[3]
Yang dimaksud penulis disini logistik dalam artian luas, termasuk seragam dinas
mulai dari tutup kepala hingga sepatu yang dikenakan petugas di lapangan, semua
harus dalam keadaan baik dan rapih sehingga masyarakat yang melihat sosok Polri
bisa merasa bangga memiliki petugas Polri di wilayahnya, bukan sebaliknya
polisi terlihat tidak rapih.
[4] http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php.
Maret, 2, 2015 pukul 13:08 wib. pro·fe·si·o·nal·is·me /profésionalisme/ n mutu, kualitas, dan tindak tanduk yg
merupakan ciri suatu profesi atau orang yg profesional: -- perusahaan kecil perlu
ditingkatkan dl waktu belakangan ini
[5] pro·fe·si /profési/ n bidang pekerjaan yg dilandasi
pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dsb) tertentu;
ber·pro·fe·si v mempunyai profesi.
ber·pro·fe·si v mempunyai profesi.
[6] https://krisnaptik.wordpress.com/tag/jati-diri-polri/.
Maret 2, 2015 pukul 13.30 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar