Kasie Juntrad

Kasie Juntrad
I was a cadet

Minggu, 22 Februari 2015

APLIKASI ILMU KEPOLISIAN DALAM PENGUNGKAPAN KASUS KEJAHATAN JALANAN DI POLSEK BATU AMPAR


            Tingkat kriminalitas yang terjadi di kota besar selalu mengalami intensitas yang cenderung naik tiap tahunnya hal ini tidak lepas dari beragamnya faktor yang saling terkait dan mempengaruhi seperti tingginya angka perpindahan penduduk yang bermigrasi dari pedesaan untuk masuk ke suatu wilayah perkotaan dengan harapan untuk mendapatkan hidup yang lebih layak sehingga mengakibatkan peledakan populasi diluar angka kelahiran yang sudah sangat besar dan sayangnya tidak ditunjang dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai sehingga mengakibatkan tingginya jumlah pengangguran yang diikuti dengan naiknya angka kemiskinan hal ini ironis dan berbanding terbalik dengan harapan para pendatang yang ingin mengadu nasib di kota besar demi strata kehidupan ekonomi yang lebih layak, generasi muda kita juga tidak luput dengan rendahnya perhatian pemerintah di bidang pendidikan sehinga sumber daya manusia yang ada masih jauh dari yang diharapkan bahkan untuk memenuhi standar kompetensi penerimaan tenaga kerja di suatu perusahaan meskipun untuk kualifikasi setingkat tenaga helper atau buruh pabrik . Perihal awal inilah yang perlu kita pahami bersama yang dapat mengakibatkan efek domino sehingga berujung pada meningkatnya pengangguran yang berujung pada naiknya angka kriminalitas terutama kejahatan jalanan di perkotaan.
            Batam adalah sebuah kota besar di daerah Provinsi Kepulauan Riau, tempat dimana penulis pernah berdinas selama kurang lebih enam tahun sepanjang karirnya menjadi perwira polisi. Batam adalah kota yang memiliki beragam budaya dan multi etnis hal ini disebabkan tingginya angka pendatang yang datang ke Kota Batam untuk merantau guna mencari lahan pekerjaan demi kehidupan yang lebih baik. Sayangnya terkadang tidak semua pendatang memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan oleh pemilik lapangan pekerjaan yang ada sehingga berujung pada meningkatnya angka pengangguran yang ada di Kota Batam. Sesuai teori kebutuhan dari Abraham Maslow[1] bahwa manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhannya antara lain kebutuhan fisiologis seperti makan, minum, kebutuhan memperoleh keturunan, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial, penghargaan dan terakhir kebutuhan akan aktualisasi diri. Berangkat dari kebutuhan tersebut maka kebutuhan sandang, pangan dan papan juga harus dipenuhi sementara hal ini terbentur dengan kenyataan hidup dimana lapangan pekerjaan terbatas dan sumber daya manusia tidak memenuhi syarat minimal yang dibutuhkan oleh perusahaan sehingga mengakibatkan para pencari kerja menjadi terlantar, bekerja serabutan hingga akhirnya karena alasan terhimpit kebutuhan ekonomi, menjadi pelaku kejahatan. Kejahatan jalanan sengaja penulis pilih bukannya kejahatan kerah putih atau “white collar crime” karena kejahatan jalanan adalah suatu dinamika prilaku masyarakat yang cenderung merasa kurang diterima oleh lingkungannya sehingga individu atau kelompok tersebut menjadi abmoral[2] dan cenderung melanggar norma dan aturan yang ada untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Kejahatan jenis ini dirasakan langsung oleh warga masyarakat, bisa dilihat dan dampak negatifnya berupa rasa takut akibat keadaan mencekam yang ditimbulkan memiliki efek yang cukup signifikan di lingkungan masyarakat yang menjadi tempat kejadian perkara. Contohnya apabila terjadi suatu tindak pidana pencurian dengan kekerasan atau pencurian dengan pemberatan di suatu wilayah seperti perampokan, penjambretan, pembegalan seperti yang sedang marak belakangan ini yang dilakukan oleh geng motor, maka selain korban yang mengalami kerugian secara material maupun immaterial maka lingkungan sekitar juga pasti dicekam rasa takut akibat kejadian tersebut yang pasti akan berimbas kepada melemahnya mentalitas dan potensi yang ada di dalam masyarakat tersebut.
Polsek Batu Ampar sebagai satuan terkecil di jajaran Polresta Barelang tempat penulis pernah bertugas sebagai Kanit Reskrim sudah melakukan berbagai upaya menekan angka kriminalitas utamanya kejahatan jalanan melalui kegiatan kring serse, patroli malam rutin, dan giat razia antisipasi curas dan curanmor yang dilaksanakan tiap akhir pekan. Hal ini tidak lepas dari pengejawantahan kemampuan manajerial dari ilmu kepolisian yang penulis coba aplikasikan di lapangan pekerjaan. Adapun menurut penulis, ilmu kepolisian seyogyanya merupakan multi disiplin ilmu yang mempelajari fenomena yang ada dan berkembang di masyarakat dalam hubungan antar persona berikut akibatnya dan permasalahan yang terjadi setelahnya dari segi hukum, norma dan nilai yang berlaku yang dituangkan dalam standar oprasional prosedur kepolisian sebagai metode pencegahan dan penanggulangan kejahatan yang terjadi untuk menjaga stabilitas keamanan masyarakat, bangsa dan negara. Hasil dari giat kepolisian tersebut ternyata cukup signifikan, meski angka kriminalitas cenderung stabil dan presentase kejadian perkara tidak mengalami penurunan yang drastis, namun angka pengungkapan perkara mengalami peningkatan. Hal ini tidak lepas dari penerapan ilmu kepolisian yang penulis pernah pelajari selama di Akademi Kepolisian khususnya ilmu fungsi teknis reserse dimana penulis belajar tentang penyelidikan dan penyidikan juga fungsi teknis binmas yang sangat memberikan manfaat bagi penulis saat melakukan pendekatan dengan tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda sehingga penulis sering mendapatkan informasi berharga yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi di wilayah hukum Polsek Batu Ampar tempat penulis berdinas.
Ilmu kepolisian memiliki manfaat yang beragam yang tidak hanya bisa dirasakan oleh anggota Polri, melainkan juga masyarakat luas, dengan memahami esensi dari ilmu kepolisian dan memahami proses aplikasi atau penerapan dari ilmu kepolisian ini maka kita sebagai warga negara dan sebagai bagian dari komunitas masyarakat yang melek hukum telah mempelajari suatu dinamika sosial dan melihat suatu persoalan di masyarakat dari segi penegak hukum. Memang banyak kontroversi yang terjadi dimana dalam ditegakkannya hukum untuk mencapai keadilan bagi khalayak ramai pasti akan ada yang merasa “dikorbankan” dan tidak lain mereka adalah pelaku kejahatan dan mereka yang memang bertentangan dengan nilai dan norma. Maka kemudian di tahapan ini akan muncul isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan lain sebagainya. Namun itulah resiko yang harus ditempuh dan dihadapi oleh seorang penegak hukum yang tergabung dalam criminal justice system. Dengan mempelajari ilmu kepolisian yang berisi tentang berbagai interdisiplin ilmu maka kita tidak akan merasa canggung dan bimbang dengan keputusan atau diskresi yang kita buat dalam rangka penegakan hukum dan kita seharusnya paham sudah menjadi resiko pekerjaan kita bahwa pelanggar hukum tidak akan pernah seirama dengan aparat penegak hukum dan mereka akan selalu mencari celah untuk lolos dari jeratan hukum dan sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kita untuk mengatasi permasalahan dengan melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap setiap tindak kejahatan yang terjadi. Sesuai teori dari Robert K. Cohen dengan “routine activities theory”-nya yang menyatakan bahwa kejahatan terdiri dari rangkaian elemen yakni adanya motivated offender ( pelaku kejahatan yang memiliki motivasi ), a suitable target ( calon korban potensial yang dijadikan target oleh pelaku kejahatan ) dan absence of capable guardian ( tidak adanya pihak ketiga yang berperan sebagai penjaga atau penghalang dalam pelaku beraksi ) maka apabila salah satu dari elemen ini tidak ada maka suatu tindak pidana akan sulit terjadi. Dalam ilmu kepolisian maka aparat penegak hukum adalah merupakan guardian atau penjaga, makna dari guardian dalam teori ini sebenarnya tidak hanya mengacu pada polisi melainkan pada setiap individu yang memiliki potensi dan mampu berpredikat debagai pengagal atau pencegah kejahatan. Kembali kepada ilmu kepolisian maka atensi sebagai penjaga sudah melekat pada petugas baik yang berseragam maupun non seragam di lokasi yang rawan kejahatan. Giat patroli rutin merupakan salah satu pengaplikasian dari teori ini secara nyata.
Ilmu kepolisian tidak hanya bersifat teoritis namun juga aplikatif dan bermanfaat dalam dinas bagi petugas kepolisian, dengan mempelajari ilmu kepolisan dan berbagai interdisiplin ilmu yang ada didalamnya akan membuat petugas polisi semakin memahami tugas dan tanggung jawabnya serta menerapkan berbagai metode yang efisien dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya yakni melindungi, mengayomi dan melayani mayarakat juga sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.





[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Motivasi/ Teori motivasi yang paling terkenal adalah hierarki teori kebutuhan milik Abraham Maslow.[3] Ia membuat hipotesis bahwa dalam setiap diri manusia terdapat hierarki dari lima kebutuhan, yaitu fisiologis (rasa lapar, haus, seksual, dan kebutuhan fisik lainnya), rasa aman (rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan emosional), sosial (rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan), penghargaan (faktor penghargaan internal dan eksternal), dan aktualisasi diri (pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri).
[2] http://ms.wikipedia.org/wiki/Abnormal/ Abnormal behavior violates the standardization community. When a person fails to comply with the rules of morality and society, this behavior is considered abnormal. However, the extent of these violations and how often it is violated by others should be taken into account.

Selasa, 17 Februari 2015

Analisa Perspektif Tentang Usaha Ratifikasi Statuta Roma di Indonesia


BAB I

PENDAHULUAN

            Indonesia sebagai negara demokratis yang terdiri dari keanekaragaman suku bangsa, budaya dan norma juga adat istiadat di berbagai wilayah kepulauan negara Indonesia adalah kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya, namun dibalik keindahan pluralitas tersebut maka tersimpan kerawanan konflik yang sarat melibatkan suku, agama dan ras. Beberapa kejadian penting yang menggambarkan konflik hingga jatuh korban diantaranya tercantum dalam coretan sejarah seperti era tanam paksa zaman kolonial Belanda dibawah pimpinan Jendral Van den Bosch, era Westerling di Sulawesi Selatan, hingga tragedi 1965 sebagai ekses berkepanjangan dari “tragedi pemberontakan G-30-S/PKI” dimana militer “membumi hanguskan” golongan yang dianggap sebagai antek-antek PKI. Tragedi kerusuhan 1998 di Jakarta sebagai efek krisis moneter yang melanda yang berujung tragis pada pengrusakan, pemerkosaan, pembantaian kepada etnis keturunan Tionghoa yang dianggap sebagai penggerak perekonomian utama bangsa Indonesia dan dituding untuk bertanggung jawab atas morat-maritnya kondisi perekonomian negara kita pada saat itu. Hingga di awal tahun 2001 lahir kerusuhan Sampit di Kalimantan Barat yang mana terjadi pertikaian suku yang hebat antara Dayak melawan Madura yang mengakibatkan korban umat manusia berjatuhan dalam jumlah besar.
            Kasus –kasus tersebut dapat digolongkan sebagai Genosida atau sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut[1]. Kasus genosida termasuk salah satu dari empat pelanggaran HAM berat selain kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan agresi dan kejahatan perang. Genosida adalah kejahatan terhadap HAM yang masuk ke dalam yurisdiksi International Criminal Court.
            Berbicara tentang ICC yang merupakan suatu lembaga independen berlevel internasional yang bertujuan untuk mengadili pelaku kejahatan kemanusiaan maka tidak terlepas dari MOU bersama yang disahkan oleh 120 negara di seluruh dunia untuk membentuk suatu pengadilan pidana internasional demi memperjuangkan hak asasi manusia yang sejatinya telah mengalami tekanan dalam berbagai bentuk baik verbal maupun lisan disertai kekerasan fisik yang secara global sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia dalam memperjuangkan haknya sehingga pada tanggal 17 Juli 1998 telah disepakati lahirnya Statuta Roma. Dengan meratifikasi Statuta Roma maka secara otomatis juga mengakui eksistensi dari ICC sehingga proses legislasi harus dilakukan agar Statuta Roma menjadi hukum nasional. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah perlu Indonesia meratifikasi Statuta Roma dan melakukan aksesi untuk mengadopsinya guna dijadikan hukum nasional? Maka hal tersebut menjadi topik pembahasan oleh penulis.

BAB II

PEMBAHASAN

            Statuta Roma adalah suatu kesepakatan bersama yang dibentuk pada tahun 1998 oleh United Nations Diplomatics Conference of Pleniopotentiaries on Establishment of an International Criminal Court untuk membentuk pengadilan pidana internasional yang permanen dan independen khusus untuk mengadili para penjahat perang, individu pelanggar hak asasi manusia dan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. ICC berkedudukan di negara Belanda tepatnya di kota Den Haag. Melalui pengadilan ini, masyarakat dunia berharap bahwa pelanggar HAM, pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan penjahat perang dapat diadili dengan sepantasnya dan terhidar dari praktek impunitas atau suatu keadaan dimana seseorang atau lembaga tidak dapat dipidana atau terbebas dari dakwaan pelanggaran HAM yang dituduhkan kepadanya[2]. Indonesia sendiri hingga saat ini belum meratifikasi Statuta Roma kedalam hukum nasional namun demikian Indonesia memiliki UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU no 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pengejawantahan dan eksistensi terhadap perlindungan HAM di Indonesia tentunya sudah diupayakan oleh penyelenggara negara melalui kedua UU tersebut. Namun demikian timbul pertanyaan dari pemerhati HAM kenapa hanya sampai disitu? Apakah kedua UU yang telah dibentuk itu cukup dalam mengakomodir dan menuntaskan berbagai permasalahan terkait pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia? Hal inilah yang bagi sebagian besar aktivis dan pihak yang berkecimpung di organisasi hak asasi manusia menjadi pendorong untuk mendesak pemerintah segera meratifikasi statuta roma dan mengkodifikasikannya kedalam hukum nasional. Melalui tulisan ini saya mencoba menyampaikan kepada pembaca bahwasanya meski secara tersurat Indonesia bukan termasuk menjadi negara yang meratifikasi statuta roma namun tersirat secara regulasi yang bersifat domestik Indonesia secara tidak langsung telah mengadopsi beberapa ketentuan dalam Statuta Roma. Hal yang perlu diperhatikan menurut saya adalah dampak positif dan negatif dari meratifikasi Statuta Roma dilihat dari eksistensi kedaulatan Negara Republik Indonesia di kancah Internasional. Jika ratifikasi dilakukan maka dampak positif diantaranya Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia semakin menonjolkan eksistensinya terhadap HAM tidak hanya di lingkup dalam negeri melainkan juga di level internasional dan hal ini pastinya akan mendapatkan pengakuan dari luar negeri. Dengan diratifikasinya Statuta Roma maka implementasi penegakan hukum hak asasi manusia diharapkan akan terjamin dan seiring dengan hal tersebut berbagai kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dapat diproses secara hukum yang prosedural, tanpa pandang bulu juga mengedepankan asas-asas hukum dan kenegaraan. Namun apakah semudah itu dalam mencapai kondisi ideal yang diharapkan ? perlu diingat kembali bahwa Statuta Roma hanya efektif mengacu pada penindakan terhadap kasus kejahatan terhadap  hak asasi manusia di negara anggotanya yang dinilai “unwilling” dan ‘unable” yang lebih dikenal dengan “the principle of complementary” dimana dikala suatu negara dinilai tidak mampu atau tidak mau menangani dengan serius pelanggaran HAM yang terjadi di yurisdiksinya, maka ICC mengambil alih.
Pengadilan HAM internasional/ ICC akan melakukan seluruh tahap yang diperlukan dari investigasi hingga mengadili pelaku kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi Statuta Roma.
Berkaitan dengan hal tersebut definisi “unwilling” dan “unable” patut menjadi perhatian karena kaitannya erat dengan kesanggupan dan kesediaan suatu negara mengadili pelaku pelanggar HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Apabila predikat “unwilling” dan “unable” tersebut sudah melekat pada predikat suatu negara dan ICC mengambil alih, maka kedaulatan negara tersebut menjadi dipertanyakan. Indonesia sejatinya adalah negara berdaulat yang memiliki regulasi hukum yang diatur dalam Undang Undang dan negara kita juga memiliki komisi yang bergerak di bidang hak asasi manusia, kita juga memiliki system peradilan HAM yang bersifat ad hoc. Sejarah kelam berbagai tragedi yang berkaitan dengan kasus pelanggaran HAM selalu diproses secara hukum mesti pada kenyataan perkembangan dinamika proses hukum banyak kasus pelanggaran HAM yang belum tertuntaskan, yang saya tekankan disini adalah wadah regulasi hukum yang menangani pelanggaran HAM sudah ada dan cukup baik mencakup semua tentang aturan hukum terhadap pelanggaran HAM dan sistem peradilan, hanya yang perlu diatensi adalah proses dari penegakan hukum itu sendiri dan sumber daya manusianya dari faktor mentalitas dan efektivitas. Apakah Statuta Roma benar-benar menjadi suatu urgensi untuk segera diratifikasi? Mengingat Indonesia bukan negara yang menandatangani Statuta Roma dan apabila negara kita ingin meratifikasi maka tidak hanya sampai disitu, pada saat pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri telah dibentuk suatu Keputusan Presiden yang disinyalir sebagai lampu hijau untuk Indonesia melakukan aksesi terhadap Statuta Roma namun hingga saat ini belum ada realisasi dari usaha lanjut untuk meratifikasi Statuta Roma hal ini lebih dikarenakan perlunya pengkajian lebih mendalam terhadap Statuta Roma oleh Departemen Luar Negeri karena dinilai beberapa komponen isinya belum dapat diterapkan di sistem hukum negara kita.
  
BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ratifikasi Statuta Roma hendaknya perlu ditinjau lebih lanjut tidak hanya dari segi hubungan internasional, namun demikian juga dari segi politis di level internasional. Indonesia memang bisa melakukan aksesi sebagai wujud dari aksi formal sebagai pihak yang menyetujui terhadap suatu perjanjian internasional karena Indonesia bukan termasuk penandatangan dalam Statuta Roma, namun apakah aksesi perlu dilakukan mengingat proses kodifikasi dirasa hampir tidak perlu karena Indonesia sudah memiliki dua aturan hukum berwujud Undang-undang yakni UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU no 26 tahun 2000 tentang peradilan HAM sudah eksis dan berlaku di Indonesia. Hanya disini diperlukan suatu tinjauan terhadap konsistensi para penegak hukum mengingat regulasi sudah tersedia namun kepastian hukum dari berbagai kasus pelanggaran HAM yang ada belum tertuntaskan. Hal ini bukanlah menjadi acuan bahwa dengan masyarakat sanksi terhadap legalitas yang sudah ada di Republik Indonesia dalam perlindungan Ham lalu kemudian kita merasa bahwa dengan meratifikasi statuta roma adalah jawaban dari segala permasalahan yang ada di Indonesia tanpa mempertimbangkan segi politis kedudukan negara kita di level internasional dimana kapan saja kedaulatan negara bisa di intervensi akibat penilaian masyarakat internasional yang tergabung dalam ICC terhadap “unwilling” atau “unable” dalam penanganan kasus pelanggaran Ham yang terjadi di Indonesia. Seharusnya negara kita bisa menyelesaikan permasalahan domestik dengan mandiri tanpa adanya intervensi berupa desakan dari negara internasional karena hal tersebut merupakan wujud kedaulatan negara kita dan tidak seharusnya kita membiarkan urusan rumah tangga dalam negeri kita dicampuri oleh negara lain karena dapat mengganggu stabilitas  negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam tulisan ini penulis berharap peninjauan lebih lanjut terhadap usaha untuk meratifikasi Statuta Roma, dan apabila dilakukan perubahan atau amandemen terhadap peraturan ataupun regulasi yang telah ada yang khusus mengatur tentang pelanggaran HAM seperti UU no 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU no 26 tahun 2000 tentang peradilan HAM maka itu lebih baik bila dibandingkan dengan melakukan ratifikasi atau aksesi terhadap Statuta Roma.


DAFTAR ISI
1.    UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
2.    UU no 26 tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia.
3.    Wikipedia.
4.    Kamus Besar Bahasa Indonesia Online.
5.    http://www.bahasaindonesia.net/impunitas, tanggal akses : 10 February, 2015.





[1] Wikipedia / Genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europeyang diterbitkan di Amerika Serikat
[2] Impunitas : n keadaan tidak dapat dipidana, nirpidana. Arti, definisi, pengertian impunitas, http://www.bahasaindonesia.net/impunitas, tanggal akses : 10 February, 2015.

Minggu, 08 Februari 2015

ANALISA IMPLEMENTASI POLMAS MELALUI FKPM DI KELURAHAN TANJUNG UMA KOTA BATAM



BAB I
PENDAHULUAN

Kepolisian di negara-negara maju dewasa ini mengusung suatu paradigma baru yakni suatu sistem community policing yang di Indonesia kita kenal dengan perpolisian masyarakat atau Polmas. Gaya pemolisian ini diharapkan lebih efektif dalam mengatasi permasalahan yang ada di dalam suatu komunitas masyarakat. Polmas ada karena masyarakat, berkembang di masyarakat dan untuk membantu masyarakat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapinya. Kapasitas Polri hanya sebagai “booster” atau katalisator, pendorong masyarakat agar aktif berpartisipasi dalam sistem pemolisian ini. Dalam hal ini tentunya didorong dengan bekal personil Polri yang mumpuni, berpengalaman dan tahu tugas dan tanggung jawabnya serta paham penerapan Polmas yang seharusnya, pola pemolisian ini harus terus menerus diberikan dengan integritas sebagai wujud dukungan pemerintah kepada masyarakat agar bisa lebih mandiri dalam memahami Polmas dan nantinya juga akan sangat membantu tugas dari kepolisian itu sendiri dalam mengurangi angka kejahatan dan mencegah terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban yang berpotensi timbul. Polmas merupakan suatu teroboson yang menempatkan polisi sebagai penegak hukum yang diberikan wewenang khusus oleh negara menjadi partner atau mitra sejajar dengan warga yang dilayaninya dalam melakukan pencegahan kejahatan.
Pemolisian masyarakat mengutamakan pendekatan humanis sebagai implementasi nyata dari paradigma polisi non militeristik, polisi sipil yang bermitra dengan masyarakat dalam upaya memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat Indonesia.


BAB II

PEMBAHASAN
A.    FOKUS ANALISA PERMASALAHAN
Adapun makalah polmas yang ditulis oleh penulis fokus kepada respon masyarakat kelurahan Tanjung Uma terhadap Implementasi Polmas melalui Forum Kemitraan Polri dan masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Bagaimana masyarakat wilayah kelurahan Tanjung Uma merespon program Polmas ini? Dan sejauh mana keefektivitasan implementasi Polmas yang ada di wilayah tersebut? Apakah kegiatan polmas sudah berjalan sebagaimana yang seharusnya? Dan sejauh mana dampaknya untuk menekan angka kriminalitas serta mampu menjadi problem solving bagi masyarakat? hal ini yang akan dibahas oleh penulis berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan. 
B.    HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan oleh penulis dengan melakukan survey dan wawancara serta melakukan forum sosialisasi disertai sesi tanya jawab dengan tokoh masyarakat, tokoh agama dan pengurus FKPM kelurahan Tanjung Uma yang bertempat di lapangan parkir masjid yang terletak di wilayah Kelurahan Tanjung Uma Kecamatan Lubuk Baja Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Adapun kunjungan dilakukan penulis terhadap warga kelurahan Tanjung Uma pada hari Senin tanggal 2 Februari 2015 sekira pukul 19.30 Wib s/d 22.00 Wib dengan materi pembahasan adalah sosialisasi Polmas dan efektif atau tidaknya Forum Kemitraan yang ada di tengah masyarakat Tanjung Uma.
Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwasanya FKPM di wilayah Tanjung Uma sudah terbentuk dan sudah memiliki anggaran dasar dimana struktur organisasi dari FKPM Tanjung Uma terdiri dari satu orang Ketua atas nama bapak Slamet Rahardjo, satu sekretaris atas nama bapak Syahril, satu orang bendahara atas nama bapak Latif dan dua orang anggota atas nama bapak Dedi Zulkarnain dan bapak Hasyim. Setiap RT di wilayah kelurahan Tanjung Uma dilibatkan satu orang untuk berpartisipasi dalam seluruh giat FKPM.
Untuk kegiatan polmas itu sendiri belum dirasakan manfaatnya secara holisitik dan komprehensif oleh warga Tanjung Uma dikarenakan terbatasnya infrastuktur seperti belum adanya wadah BKPM dan anggaran yang sifatnya masih swadaya. Meskipun minat warga untuk dapat berpartisipasi secara aktif cukup tinggi namun mereka masih terbatas pengetahuan mengenai makna polmas dan belum mengetahui tugas dan tanggung jawab dalam lingkup FKPM sebagai wujud nyata implementasi Polmas sehingga perlu dilakukannya asistensi dan sosialisasi terkait mekanisme Polmas dan implementasinya sesuai yang dimaksud dalam Surat Keputusan Kapolri No 737/2005 dan Peraturan Kapolri No 7/2008.
    
BAB III

KONSEP POLMAS/PISAU ANALISIS
            Dalam pembahasan ini penulis tidak akan panjang lebar dan fokus kepada respon masyarakat kelurahan Tanjung Uma terhadap implementasi Polmas yang berwujud FKPM sebagai wahana komunikasi antara Polri dan warga yang dilaksanakan atas dasar kesepakatan bersama dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Pisau analisis yang akan dibahas berkaitan dengan respon masyarakat terhadap implementasi Polmas adalah teori motivasi dari Abraham Maslow dan konsep Polmas yang penulis ambil dari Perkap 07 tahun 2008 tentang Pedoman dasar strategi dan implementasi Polmas dalam penyelenggaraan tugas Polri dalam bentuk safari kamtibmas.
            Teori motivasi dari Abaraham Maslow mengatakan bahwa setiap orang memiliki hasrat atau kebutuhan akan rasa aman, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri seperti halnya pengakuan di dalam masyarakatnya ( tentunya disamping kebutuhan fisiologis seperti makan, minum, memperoleh keturunan ). Rasa aman, bersosialisasi, kemudian meningkatkan potensi diri melalui aktualisasi diri ditengah-tengah masyarakat adalah sesuatu yang wajar dialami oelh setiap insan manusia saat berinteraksi dengan sesamanya. Itulah yang kemudian kita sebut dengan istilah bermasyarakat. Dengan bermasyarakat maka komunitas sosial bisa memahami dan mengatasi permasalahan yang ada dan berkembang didalamnya, tentu permasalahan itu ada untuk kemudian dipecahkan bersama demi kehidupan masyarakat yang lebih baik.
            Permasalahan yang ada cukup banyak, mulai dari pertikaian rumah tangga, hingga yang berujung pada tindak kriminal mulai dari penganiayaan domestik atau KDRT, perkelahian anak-anak, sampai mencuri “kecil-kecilan” seperti di warung rokok atau mencuri sandal di masjid. Perkara-perkara  ringan seperti ini pada hakikatnya apabila dapat diselesaikan dengan itikad baik antara pihak yang terkait dan didukung oleh warga sekitar maka tidak perlu sampai ke kantor polisi dan proses peradilan yang tentunya akan menghabiskan waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk mencapai penyeselesaian pertikaian apabila dilakukan sesuai koridor hukum yang ada dan bersifat procedural. Atas dasar inilah masyarakat yang sadar akan pentingnya mencari pemecahan masalah yang timbul di komunitasnya karena rasa aman sudah menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi maka akan termotivasi mengambil partisipasi aktif dalam Polmas karena konsep Polmas tidak hanya sebatas pencegahan kejahatan, akan tetapi melibatkan masyarakat secara aktif di level komunitas dalam setiap pemecahan masalah yang timbul. Hal ini diharapkan dapat berjalan dengan diiringi itikad baik dari pihak yang bertikai  tanpa harus membawa perkara yang sifatnya ringan keranah hukum dan berlanjut hingga sidang di pengadilan yang tentunya menghabiskan waktu, tenaga dan biaya dan berujung pada kebencian atau dendam disalah satu pihak yang merasa “kalah” karena namanya sudah tecemar di komunitasnya sebagai “terpidana”.
            Safari kamtibmas lebih mengacu kepada kegiatan pembinaan masyarakat oleh petugas Polri berupa kunjungan ke tempat-tempat seperti balai desa, rumah tokoh masyarakat, lokasi umum atau kelurahan secara random dalam kurun waktu tertentu guna menyebarkan pesan-pesan kamtibmas. Kegiatan penerangan Kamtibmas berupa pencerahan dan penyuluhan kepada masyarakat agar masyarakat dapat dan bersedia berpartisipasi secara aktif untuk ikut serta mencipatakan suasana yang kondusif di wilayahnya. Dengan diadakannya safari kamtibmas diharapkan lebih efektif untuk menyebarkan informasi terkait kamtibmas kepada masyarakat luas dan mempererat hubungan antara masyarakat dengan Polri sehingga terwujud hubungan yang humanis dan bermitra antara Polri dan masyarakat dalam memelihara keamanan dan ketertiban.
Model safari kamtibmas bertujuan membangun komunikasi yang efektif antara Polri dengan pranata sosial yang ada di dalam suatu komunitas masyarakat. Maka diharapkan masyarakat sebagai mitra sejajar Polri mampu menyampaikan apa yang menjadi keluhan dan permasalahan yang sedang terjadi di wilayahnya, dan tentunya permasalahan ini bisa didengar langsung oleh pihak kepolisian untuk kemudian diambil langkah selanjutnya dengan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan, pemecahan masalah dan evaluasi. Apabila masalah yang terjadi tidak mampu diselesaikan oleh forum kemitraan polisi dan masyarakat maka dilimpahkan ke kantor polisi untuk diproses secara procedural sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku.

BAB IV

ANALISA

            Masyarakat tanjung uma adalah masyarakat yang sudah digolongkan maju dan warganya banyak yang sudah berpendidikan. Hal ini terlihat dari respon positif masyarakatnya terhadap kehadiran Polisi ditengah-tengah mereka dan keinginan warganya utuk dapat berpartisipasi aktif dalam Polmas yang diimplementasikan dalam wujud Foru Kemitraan Polisi dan Masyarakat. Namun demikian terbatasnya kegiatan FKPM masyarakat Tanjung Uma tidak bisa dipungkiri salah satu faktornya adalah infrastuktur. Sinergitas antara Polri dengan Pemernitah Daerah dalam berpartisipasi untuk membangun sarana infrastuktur dalam rangka implementasi Polmas belum bisa dirasakan  langsung oleh warga Tanjung Uma. Masih terbatasnya pengetahuan mengenai payung hukum implementasi Polmas juga masih memprihatinkan, sehingga warga masyarakat belum paham benar apa arti dari kehadiran bagi Polmas itu sendiri ditengah-tengah mereka. Ironis bahwa mereka hanya paham bahwa Polmas ada untuk sekedar memberikan informasi terkait tindak pidana yang ada di wilayah mereka. Padahal polmas lebih dari sekedar tukar menukar informasi, polmas merupakan suatu wahana bagi masyarakat untuk bermitra dengan Polri dalam menyikapi segala bentuk permasalahan yang ada dan tumbuh berkembang di masyarakat tersebut. Mulai dari giat patrol door to door, sambang kampung, hingga penyelesaian pertikaian antar warga ataupun perkara-perkara yang sifatnya ringan dan bisa diselesaikan dengan itikad baik antar warga yang bertikai dan disaksikan oleh pranata sosial yang ada di dalam komunitas tersebut. Tentunya wahana ini harus disertai oleh pembentukan wadah maupun infrastruktur seperti BKPM ( Balai Kemitraan Polisi dan Masyarakat ) dan hal inilah yang harus menjadi atensi dari Polri dan Pemda setempat. BKPM tidak harus membebaskan lahan baru dan gedung baru melainkan dapat juga dengan menghibahkan atau memanfaatkan bangunan yang mungkin sudah tidak terpakai atau layak dialih fungsikan sebagai balai kemitraan polisi dan masyarakat. Hal inilah, selain dukungan anggaran dari Polri maupun Pemda setempat yang harus menjadi perhatian. Alangkah sayangnya apabila animo yang tinggi dan respon positif dari masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam program pemerintah menjadi seolah-olah seperti bertepuk sebelah tangan.
  

BAB V

KESIMPULAN
            Dari makalah diatas maka diambil kesimpulan oleh penulis sebagai berikut :
1.    Perlu dilakukannya sosialisasi polmas dan arti FKPM secara holistic dan komprehensif terhadap warga masyarakat Kelurahan Tanjung Uma.
2.    Perlu dibuat anggaran dasar FKPM dan diajukan permohonan bantuan berupa dukungan dana dan infrastruktur baik dari Polresta Barelang atau Polda Kepri yang bersinergi dengan Pemerintah Kota Batam/ Pemprov Kepri.
3.    Perlu dilakukannya anev dalam kurun waktu tertentu untuk  monitoring keefektivitasan implementasi polmas pada FKPM tersebut.
4.    Animo luas dan respon pada umumnya baik, namun masyarakat masih bingung mengenai pembatasan tugas dan tanggung jawab serta hak/kewajiban selama mengemban/ berpartisipasi menjadi bagian dari implementasi Polmas dalam wujud FKPM
5.    Adanya ketakutan terhadap keselamatan diri dari warga apabila memberikan informasi kepada polri mengenai suatu tindak pidana/ bahaya laten yang ada di wilayahnya.
Semoga tulisan ini bermanfaat tidak hanya bagi masyarakat sebagai mitra Polri dalam mengemban fungsi Polmas namun juga sebagai masukan kepada institusi kepolisian untuk lebih berperan aktif menggandeng pemerintah daerah setempat sebagai mitra bersama dalam mensukseskan implementasi dari Polmas dalam rangka mengedepankan terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat luas. Karena Polmas bukanlah semata-mata program dari kepolisian saja, melainkan sudah merupakan program pemerintah untuk mewujudkan cita-cita bangsa seperti yang tertulis dalam UUD 1945.

DAFTAR PUSTAKA

1.    Perkap 07 tahun 2008 tentang Implementasi Polmas.
2.    UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Sabtu, 07 Februari 2015

Manfaat Mempelajari Sejarah Bagi Personil Polri

     Dalam lingkup kedinasan Polri sebagai pelayan dan pelindung masyarakat juga penegak hukum, adakalanya kita selaku petugas Polri selain memahami situasi dan kondisi di wilayah kita berdinas kita juga harus memahami nilai sejarah  yang ada dan mengakar hingga berpengaruh kepada karakteristik budaya setempat. Begitu juga halnya dengan sejarah dari organisasi kita sendiri, semakin kita mengerti dan memahami esensi dari perjuangan pendahulu kita sebagai pelopor Polri maka semakin sempit bagi kita untuk melakukan penyimpangan dalam tugas dan menjadi suatu keharusan dalam menjaga harkat dan martabat Polri. Meski sejarah bukan faktor utama namun hal ini penting untuk dipedomani setiap petugas penegak hukum agar tercapai tujuan utama dari rantai organisasi kita yakni terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat.
     
     Adapun manfaat lain mempelajari sejarah kepolisian saat berdinas adalah:

1.     Memiliki pengetahuan tentang tugas kepolisian.
Manfaat mempelajari sejarah kepolisian yang pertama adalah sebagai pengetahuan kita dalam melakukan kegiatan kepolisian. Pengetahuan tidak hanya serta merta kita dapatkan dari teori modern atau panduan tugas yang dituangkan dalam sebuah buku, namun juga dari sisi sejarah dan pengalaman berdinas rekan sejawat. Hal ini penting karena Indonesia memiliki kemajemukan budaya dengan kearifan lokal yang beragam. Jadi sejarah kepolisian sangat penting untuk diketahui terkait dengan budaya lokal tempat kita berdinas untuk mendukung pencapaian keberhasilan tugas kepolisian.

2.     Sebagai inspirator dalam berdinas.
Manfaat selanjutnya adalah sebagai inspirasi kita dalam melaksanakan tugas. Karena seiring banyaknya permasalahan yang kita hadapi di lapangan maka selain keyakinan kepercayaan kita membutuhkan insiprasi untuk mendorong inovasi dan kreatifitas dalam menyikapi dan menghadapi berbagai polemic yang ada. Kisah suri tauladan dari para senior di jawatan kepolisian dapat menjadikan hal yang bisa menggugah mental kita untuk menjadi insan pelayan masyarakat yang selalu berbenah diri kearah yang lebih baik.

3.     Sebagai sarana menanamkan nilai moral dan rasa bangga.

Sejarah selain menjadi pedoman prilaku keseharian yang kita ambil dari pengalaman masa lampau untuk diterapkan di masa kini dalam menyikapi permasalahan yang ada, juga dapat menjadi sebagai suatu sarana untuk refreshing atau mengenang hal yang indah yang pernah terjadi di lingkungan organisasi kita khususnya kepolisian. Dan sejarah sangat bermanfaat untuk menanamkan nilai moral dan rasa bangga kepada generasi penerus dengan harapan generasi berikutnya akan lebih mampu membawa institusi Polri kearah yang lebih baik. Museum Polri adalah salah satu wujud nyata sarana untuk menanamkan nilai kepolisian kepada keluarga dan generasi penerus bangsa.

Diharapkan dengan memahami dan mampu menghargai arti dan makna sejarah maka akan tumbuh keyakinan dalam sanubari kita sebagai tulang punggung masyarakat dalam melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat sekaligus memelihara keamanan dan ketertiban demi terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera dan madani.

Wasdal Unit Dalmas Direktorat Sabhara Polda Kepri

PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
DI UNIT DALMAS DIREKTORAT SABHARA POLDA KEPULAUAN RIAU

BAB I
PENDAHULUAN
1.         Latar Belakang
            Fungsi pengawasan dan pengendalian (wasdal) merupakan salah satu fungsi manajemen yang memiliki peranan penting bagi pencapaian tujuan organisasi sebab fungsi wasdal yang berorientasi pada proses dan hasil (pencapaian tujuan) bersifat korektif apakah proses dan output yang dicapai sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Sejalan dengan kebijakan Kapolri yang mengedepankan tugas pokok Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, serta sebagai aparat penegak hukum yang profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan menghormati HAM, maka fungsi wasdal berperan vital guna mencegah terjadinya berbagai penyimpangan baik yang dilakukan Polri secara individu maupun secara institusi.
            Namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang berpendapat bahwa Polri belum dapat melaksanakan tugas pokoknya secara profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan mencegah terjadinya ancaman keamanan yang meresahkan. Fenomena tersebut menjadi menarik bagi penulis untuk dikaji lebih lanjut dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan tugas pokok Polri.  Pengkajian pelaksanaan fungsi wasdal tersebut didasarkan pada pengalaman penulis ketika bertugas sebagai Danton Dalmas Polda Kepulauan Riau.
2.            Permasalahan
            Pembahasan makalah ini difokuskan pada permasalahan bagaimana mekanisme fungsi wasdal oleh penulis selaku Komandan Peleton dalam pelaksanaan tugas unit Dalmas Polda Kepri.
            Dari permasalahan tersebut penulis membagi menjadi beberapa pokok persoalan yang akan dibahas lebih lanjut yaitu :
a.    Siapakah subyek pelaksana fungsi wasdal di unit Dalmas Polda Kepulauan Riau ?
b.    Apa sajakah yang menjadi obyek wasdal di unit Dalmas Polda Kepulauan Riau ?
c.    Bagaimanakah mekanisme pelaksanaan fungsi wasdal tersebut ?
d.    Bagaimanakah jika terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh anggota unit Dalmas?

BAB II
PEMBAHASAN

1.         Situasi          
Pada makalah ini penulis akan menguraikan secara umum keadaan situasi dan kondisi unit Dalmas polda Kepulauan Riau dengan maksud memberikan gambaran kepada pembaca tentang situasi faktual dari unit Dalmas.
Unit Dalmas Polda Kepulauan Riau beranggotakan 30 orang anggota sabhara berpangkat Bripda hingga Bripka yang dipimpin oleh seorang Komandan Peleton (Perwira berpangkat Ipda) terbagi menjadi 2 (dua) Peleton masing 15 (lima belas) personil.
Data giat unras di wilayah Kepulauan Riau
            Diantara wilayah hukum jajaran Polda Kepri adalah Polresta Barelang yang paling sering meminta bantuan kekuatan personil Dalmas dari Direktorat Sabhara Polda Kepulauan Riau.
Subditdalmas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 huruf d perkap no 22 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja di Lingkup Polda diantaranya  bertugas menyiapkan personel dan perlengkapan untuk pengamanan unjuk rasa dan Pengendalian Massa (Dalmas), unit satwa K9 serta melaksanakan negosiasi.
2.         Pelaksanaan Fungsi Wasdal di Unit Dalmas Polda Kepulauan Riau
            Fungsi wasdal seiring dengan pelaksanaan fungsi perencanaan , pengorganisasian dan penggerakkan (fungsi manajement menurut George R Terry – POAC). Salah satu definisi pengawasan adalah mendeterminasi apa yang telah dilaksanakan, maksudnya adalah mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu, menerapkan tindakan tindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana-rencana. Controlling atau pengawasan dapat dianggap sebagai aktivitas untuk menemukan, mengoreksi penyimpangan penyimpangan penting dalam hasil yang dicapai dalam aktivitas akitivitas yang direncanakan.
Dengan demikian fungsi wasdal ditujukan untuk memastikan agar output dari pelaksanaan tugas unit dalmas Polda Kepri tetap fokus pada rencana yang ditetapkan semula yaitu memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat dalam wujud menjaga kamtibmas dan memberikan bantuan penguatan personil kepada jajaran Polres yang membutuhkan  di wilayah hukum Polda Kepulauan Riau.
Selain itu salah satu konsep pengawasan dan pengendalian adalah merupakan usaha sistemik untuk
(1) menetapkan standard pelaksanaan sesuai dengan tujuan perencanaan,
(2) merancang sistem informasi umpan balik,
(3) membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya,
(4) menentukan dan mengukur penyimpangan penyimpangan serta
(5) mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa sumberdaya organisasi dipergunakan dengan cara yang paling efektif dan efisien dalam mencapai tujuan organisasi.

Dikaitkan dengan konsep tersebut maka didasarkan pada pengalaman penulis ketika menjadi Danton Dalmas, fungsi wasdal di unit dalmas Polda Kepulauan Riau adalah tanggung jawab Danton Dalmas dalam unit dalmas dilaksanakan  oleh Danton Dalmas. Sedangkan yang menjadi obyek wasdal meliputi renorglak kegiatan unit Dalmas seperti pelaksanaan pengamanan objek vital, pam unjuk rasa, piket pam mako Polda Kepri.
Mekanisme fungsi wasdal yang dilaksanakan oleh penulis yaitu melalui penyusunan rengiat masing-masing sub unit / peleton dalmas yang dibuat  menjelang selesainya hari kerja yang dievaluasi pada akhir minggu apakah telah terlaksana ataukah belum serta apa kendala yang dihadapi bila belum terlaksana. Sebelum pelaksanaan tugas, salah satu wujud fungsi wasdal yang dilaksanakan oleh penulis adalah dengan memberikan briefing/arahan tentang tugas/perintah yang akan dilaksanakan oleh anggota.
Di samping itu, penulis juga kerap kali terlibat bersama anggota melaksanakan wasdal secara langsung dalam pelaksanaan tugas unit dalmas agar anggota tetap fokus pada sasaran yang akan dicapai, seperti giat TURJAWALI, Pengamanan unjuk rasa di kantor Walikota saat terjadi demo besar-besaran menolak kenaikan BBM, pengendalian massa, unit satwa ( K9 ), penulis juga kerap bersama anggota mengontrol pelaksanaan pam objek vital seperti penjagaan Bank Indonesia dan pegadaian hingga pengamanan jasa pengiriman uang dengan prioritas pencegahan terjadinya tindak pidana. Hal ini ditujukan agar di samping menambah spirit anggota juga untuk mengendalikan anggota agar terpusat pada tugas/perintah yang diberikan.
Sedangkan terhadap anggota yang melakukan penyimpangan sedapat mungkin dilakukan pembinaan dengan memberi peringatan sejauh penyimpangan yang dilakukan tidak bertentangan dengan hukum, kemudian secara berjenjang diberi hukuman disiplin oleh Kasat Dalmas dan bila tidak bisa ditolerir lagi penyimpangan  yang dilakukan tersebut maka terhadap anggota tersebut diambil kebijakan  oleh Direktur Sabhara berdasarkan usul Kasat dalmas untuk dimutasikan dari unit Dalmas dan diusut oleh Paminal Polda Kepulauan Riau bila menyangkut pelanggaran hukum.
Namun demikian karena berbagai keterbatasan sarana dan personil yang ada disadari bahwa kinerja Unit Dalmas Direktorat Sabhara Polda Kepulauan Riau belumlah optimal, mengingat belum sesuai dengan jumlah DSP dan sumber daya manusia ( anggota dalmas ) masih banyak yang belum mengikuti kejuruan atau pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan individu personil Dalmas dalam bertugas.

BAB III
KESIMPULAN

            Berdasarkan pada pembahasan di atas dan menyadari berbagai keterbatasan yang dimiliki unit dalmas Direktorat Sabhara Polda Kepri khususnya dukungan sumber daya yang belum memadai dihadapkan dengan beban tugas yang cukup berat, maka pada pelaksanaan tugas unit dalmas terkadang masih terdapat beberapa kekurangan.
            Namun demikian penyimpangan tersebut tidak menyebabkan distorsi pada pelaksanaan tugas unit dalmas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan berusaha untuk menekan potensi angka kejahatan yang dapat terjadi ( Police Hazard dan Ancaman Faktual ). Sebab pemberdayaan fungsi pengawasan dan pengendalian yang cukup mantap baik dari satuan atas (Polda Kepri), maupun pengendalian secara internal melalui Kasat Dalmas dan Danton Dalmas Direktorat Sabhara Polda Kepri.
            Pelaksanaan fungsi wasdal di unit Dalmas Polda Kepri diarahkan sebagai suatu usaha sistemik yang meliputi  :
(1) menetapkan standard pelaksanaan tugas unit dalmas sesuai dengan tujuan perencanaan kegiatan yang ditetapkan,
(2) merancang sistem informasi umpan balik / mekanisme feedback,
(3) membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya merujuk kepada juklak dan juknis TURJAWALI serta aturan normatif yang berlaku,
(4) menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan serta
(5) mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa sumberdaya unit dalmas yang terbatas secara kuantitas personil dapat dipergunakan dengan cara yang paling efektif dan efisien dalam mencapai tujuan Direktorat Sabhara Polda Kepri dan tujuan Polri pada umumnya.


Implementasi Wasdal Dalam Upaya Pencegahan Bentrok Antara Personil TNI-Polri di Kepri

IMPLEMENTASI PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN DALAM UPAYA
PENCEGAHAN BENTROK ANTARA PERSONIL TNI-POLRI DI KEPULAUAN RIAU

BAB I
PENDAHULUAN

            Setelah reformasi perseteruan antara personil TNI dengan personil Polri sering terjadi, Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, sejak 2005 hingga kini, setidaknya terjadi 27 peristiwa bentrokan terbuka antara anggota dua korps tersebut di berbagai daerah. Dari seluruh peristiwa tersebut, tercatat tujuh anggota polisi tewas. Sementara itu, ada empat yang tewas dari TNI. Tidak cuma itu, bentrokan demi bentrokan telah melukai 32 personel polisi dan 15 orang tentara. Setiap bentrokan yang terjadi apapun latar belakang permasalahannya selalu menjadi atensi pimpinan dari kedua belah pihak. Baik pimpinan TNI maupun Polri menunjukkan keakraban dan kebersamaan pasca bentrokan namun hal ini tidak terjadi pada level prajurit meskipun sudah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan keakraban baik itu melalui acara panggung hiburan hingga olahraga bersama namun demikian sedikit saja terjadi permasalahan yang dipicu oleh hal kecil langsung serta merta menjadi peristiwa yang bisa berujung ke bentrokan berdarah yang sanggup memakan korban jiwa.
            Seperti kita ketahui bersama peristiwa bentrokan antara TNI/Polri yang terjadi di wilayah Propinsi Kepulauan Riau yaitu antara personil satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Kepulauan Riau dengan aparat anggota batalyon Yonif 134/ TS. Peristiwa tersebut berawal dari penegakan hukum yang dilakukan oleh Direktorat Kriminal Khusus Polda Kepri yang meminta bantuan penguatan personil dari Sat Brimobda Polda Kepri karena dalam upaya penegakan hukum di lapangan menemui hambatan berupa resistensi dari oknum aparat anggota Batalyon yang mengawal gudang penimbunan minyak solar illegal. Dampak dari penegakan hukum ini menimbulkan bentrok berkepanjangan dari kedua satuan tersebut. Pimpinan dari kedua belah pihak sudah melakukan berbagai upaya perdamaian seperti olahraga bersama hingga panggung hiburan namun demikian beberapa waktu berselang terjadi lagi bentrok di lapangan antara aparat anggota Batalyon 134 / TS dengan oknum aparat Sat Brimobda Polri yang dipicu oleh salah paham akibat “saling lirik” antar oknum tersebut di jalan yang berujung bentrok bersenjata antara pihak Batalyon dengan Sat Brimobda Polda Kepri yang menimbulkan korban luka tembak dan rusaknya sarana dan prasarana di Mako Brimob Tembesi daerah Kepulauan Riau. Peristiwa ini menggambarkan kurang optimalnya penerapan wasdal oleh level pimpinan kedua satuan. Hal ini dapat dilihat dari bobolnya gudang senjata beserta amunisi sehingga jatuh korban jiwa dari pihak TNI.
   
BAB II
PEMBAHASAN

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya bentrok adalah sebagai berikut :
1.    Faktor Kesejahteraan
Pertama adalah masalah ekonomi. Kesenjangan ekonomi antara Polisi dan Polri, serta terjadi perebutan lahan rejeki di lapangan, menjadi pemicu masalah. Tentara dan Polisi berlomba memberikan pelayanan keamanan ke masyarakat dengan tujuan mendapatkan upeti. Akhirnya sering terjadi gesekan-gesakan yang memicu dendam dan bentrokan.
2.    Kedua adalah masalah kelembagaan. Pemisahan tugas antara TNI- Polri pasca reformasi belum tuntas. Militer yang bertugas menegakan kedaulatan Negara dan Polisi menegakan kedaulatan rakyat masih sering tumpang tindih. Militer seharusnya berada di garda depan perbatasan dan tempat vital Indonesia untuk menjaga kedaulatan, namun sekarang Militer masih ada di tengah kota yang dipenuhi masyarakat sipil, seperti adanya korem, kodim, kodam di pusat kota.
3.    Ketiga adalah pendidikan fungsi, tugas dan tanggung jawab masing-masing. Kurikulum pengajaran di akademi militer dan kepolisian harus sesuai porsi masing-masing, yaitu menjaga Negara dan rakyat. Polisi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat harus menggunakan prinsip kekuatan minimal dalam menyelesaikan masalah. Itu penting ditanamkan saat menjalani pendidikan yaitu tidak seperti militer.
Dengan mengacu pada kasus bentrokan yang terjadi antara prajurit TNI dan Polri di Kepulauan Riau, dapat diperinci penyebabnya diantaranya :
a. Masih muncul pandangan dikalangan prajurit TNI bahwa kedudukan TNI dianggap lebih tinggi dibandingkan prajurit Polri;
b. Pada saat TNI dan Polri tidak lagi berada di bawah satu komando, masing-masing anggota merasa tidak perlu saling menghormati;
c. Kesenjangan penerimaan fasilitas saat melaksanakan tugas;
d. Gaya hidup anggota Polri terkesan lebih “makmur;” dibandingkan anggota TNI sehingga memunculkan kecemburuan;
e. Rasa setia kawan yang berlebihan di antara masing-masing prajurit sehingga mereka wajib saling membela ketika ada  rekannya yang “terancam”;
g. Besarnya akses Polri ke sumber-sumber ekonomi dibandingkan TNI;
h. Ketidakjelasan pengaturan  pembagian wilayah kerja antara TNI sebagai kekuatan pertahanan negara dan Polri sebagai kekuatan keamanan Negara;
i. Sikap pimpinan seringkali tidak peka akan persoalan-persoalan prajurit di tingkat bawah;
j. Pimpinan (institusi) seringkali melindungi anggota yang terlibat, bahkan dalam beberapa kasus enggan menjatuhkan sanksi tegas;
j. Penyelesaian konflik tidak sampai keakar masalahnya sehingga potensial memunculkan konflik susulan.
Tindakan pengawasan dan Pengendalian yang seharusnya dilakukan oleh Polri.
Agar potensi terjadinya konflik di antara anggota di kedua institusi dapat diminimalisir tentunya perlu segera ditetapkan upaya antisipasi yang dapat dilakukan melalui cara-cara:
a. Memperbaiki tingkat kesejahteraan anggota Polri dengan mengoptimalisasi tunjangan kinerja anggota sesuai bidang kerja dan prestasi.
b. Menjadwalkan adanya giat latihan oprasi bersama dengan satuan TNI untuk menambah wawasan kebangsaan dan meningkatkan rasa kebersamaan.
c. Adanya koordinasi  dalam hal pengendalian dan pengawasan antar Kepala Satuan di daerah untuk melakukan pertemuan secara berkala, termasuk olahraga bersama, kegiatan keagamaan bersama atau kegiatan saling mengunjungi guna memelihara keharmonisan/silaturahmi;
d. Tindakan tegas terhadap pimpinan yang lalai dalam melaksanakan tanggung jawab pembinaan guna menimbulkan efek jera, agar tanggung jawab komando betul-betul dilaksanakan;
e. Tindakan tegas kepada anggota yang terlibat dalam bentrokan guna menghindarkan munculnya anggapan adanya upaya melindungi anggota;
f. Pembenahan sistem perundang-undangan yang mengatur lingkup tugas masing-masing institusi sehingga tidak memunculkan tarik menarik kewenangan.

BAB III
KESIMPULAN

Bahwa setiap bagian dan fungsi di Kepolisian memiliki tanggung jawab dalam pengawasan dan pengendalian secara struktural, moral maupun fungsional. Pengawasan itu sendiri tidak serta merta hanya dari internal Polri melainkan juga dari pihak luar, seperti Kompolnas. Dengan pengawasan yang benar dan berkesinambungan diharapkan dapat meminimalisir konflik yang berpotensi timbul di masa yang akan  datang.