Judul diatas merupakan
jawaban atau penjelasan lebih lanjut terhadap tulisan sebelumnya yang berjudul “Diskresi
Keuangan dan Kerugian Negara dari Perspektif Undang-Undang Keuangan Negara
dalam Penyelesaian Kasus Korupsi” dimana melihat tindak pidana korupsi dari
perspektif Hukum Keuangan Negara. Diharapkan melalui tulisan berikut dapat
memberikan pandangan yang berbeda dan memperkaya khasanah pembaca karena
penulis mencoba mengajak pembaca untuk melihat dari segi penegak hukum terhadap
tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan negara. Adapun materi yang
dituangkan penulis sepenuhnya merupakan bahan makalah yang dibagikan pada saat
seminar mengenai hukum keuangan negara yang berjudul “ Perspektif Keuangan
Negara Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi dan Kerugian Negara” yang
diselenggarakan di Gedung Prijadi, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Jakarta Pusat
pada tanggal 23 Desember 2015, dimana salah seorang narasumber dari aparat
penegak hukum adalah Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Brigadir
Jenderal Polisi Akhmad Wiyagus dan sumber tulisan berikut adalah terinspirasi
dari pemikiran beliau, mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Menurut Lili Rasjidi, Lila
Sonia Rasjidi, dalam bukunya dasar-dasar filsafat dan teori hukum, ( citra
Aditya Bhakti, 1981 ) hal. 78-79, dalam terbentuknya sebuah hukum harus ada
unsur-unsur yang mendukung tegaknya hukum itu sendiri antara lain :
·
Adanya
keyakinan moral dari masyarakat
·
Persetujuan
atau konsensus dari masyarakat
·
Adanya
kepemimpinan yang mendapatkan legitimasi
·
Adanya
kekuatan atau power untuk menegakkan hukum tersebut
·
Kombinasi
dari hal-hal yang disebutkan diatas.
Sesuai dengan teori diatas
dikaitkan dengan pembentukan hukum tindak pidana korupsi, pembentuk
undang-undang, sudah mendefinisikan bahwa korupsi merupakan sebuah tindak
pidana, dimana secara teori penegakkan hukum pidana memiliki tujuan untuk
memberikan perlindungan, pencegahan kejahatan dan pembalasan terhadap perilaku
kriminalitas tersebut.[1]
Korupsi atau rasuah
(bahasa Latin: corruptio dari kata
kerja corrumpere yang bermakna busuk,
rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik,
baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam
tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan
kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan
sepihak.[2] Sesuai dengan pengertiannya bahwa korupsi
adalah sesuatu yang busuk, dan rusak, kita harus melihat bahwa perbuatan
sebagaimana telah dikriminalisasi dalam pasal 2 dan pasal 3 dari UU No 31 Tahun
1999 sebagaimana diperbaharui dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagai sebuah perbuatan yang buruk dan merupakan sebuah
kesatuan atau rangkaian perbuatan yang utuh dan tidak terpisah-pisah menjadi unsur-unsur
pasal yang saling berdiri sendiri.[3]
Pelanggaran terhadap pasal
2[4] dan pasal 3[5] merupakan sebuah
pelanggaran terhadap asas good governance dalam pengelolaan negara, yang
dilakukan sengaja oleh orang perorang yang berada dalam kekuasaan maupun
memiliki kewenangan tertentu.
Terkait penyalahgunaan
wewenang harus ada tiga unsur yang harus terpenuhi yaitu :
1.
Met Opzet ( dengan sengaja )
2.
Mengalihkan
tujuan wewenang
3.
Adanya
conflict of interest yang bersifat
negatif.[6]
Hal tersebut sejalan
dengan konsep yang diutarakan oleh Hans G. Nilson yang menyatakan bahwa
penggunaan wewenang maupun pengambilan keputusan publik akan memiliki sifat
pidana apabila tindakan tersebut mengandung unsur :
1.
Adanya
unsur kecurangan ( fraud )
2.
Adanya
benturan kepentingan ( conflict of
interest )
3.
Adanya
perbuatan melawan hukum ( illegality
)
4.
Dan
mengandung kesalahan yang disengaja ( gross
negligence ).
Pengelolaan keuangan negara merupakan suatu proses bisnis yang harus dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian dan dilandasi dengan itikad baik demi kemaslahatan bangsa dan negara, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh pejabat-pejabat negara yang memiliki fungsi sebagai administratuur dari pengelolaan tersebut.[7]
Oleh karenanya para pejabat pemerintah yang mengemban tugas dan tanggung jawab tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya melalui seperangkat peraturan perundang-undangan yang merupakan kontrol bagi para pejabat publik dalam mengelola keuangan negara. Kerugian negara adalah merupakan hasil dari perbuatan korupsi berupa penyalahgunaan wewenang, maupun perbuatan melawan hukum, khususnya terkait dengan pengelolaan keuangan negara, sehingga layak apabila aturan pengelolaan keuangan negara dibuat sedemikian detail, hal ini bertujuan agar setiap pejabat negara yang mengemban tugas dan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara selalu cermat dan teliti dalam melaksanakan tugasnya.
Diharapkan bahwa pengelola keuangan negara harus selalu memiliki itikad baik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan keuangan negara, serta mengedepankan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.[8]
[1] S.R
Sianturi SH, Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya, ( alumni
AHM-PHTM,1989 )60-63.
[2]
https://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi
diakses pada tanggal 28 November 2015 pukul 16:39 Wib.
[3]
Disajikan dalam seminar yang diselenggarakanoleh Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Kementerian Keuangan di Gedung Prijadi, Jakarta tanggal 23
Desember 2015.
[4]
Pasal 2 ayat (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 ( empat ) tahun dan paling
lama 20 ( dua puluh ) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- ( dua
ratus juta rupiah ) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- ( satu miliar rupiah
).
[5]
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 ( satu ) tahun dan paling lama 20 ( dua puluh ) tahun
dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- ( lima puluh juta rupiah ) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,- ( satu miliar rupiah ).
[6]
Phillipus Hardjon et al, Hukum administrasi dan tindak pidana korupsi, (
Gajahmada University Press, 2011 ) 16-21
[7]
Riawan,Tjandra. Hukum Keuangan Negara. Grasindo. 2014. Hal 24.
[8]
Hand Out yang dibuat oleh Direktur Tipikor Bareskrim Polri dan dibagikan dalam
Seminar yang diselenggarakanoleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian
Keuangan di Gedung Prijadi, Jakarta tanggal 23 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar