Kasie Juntrad

Kasie Juntrad
I was a cadet

Senin, 28 Desember 2015

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DARI PERSPEKTIF APARAT PENEGAK HUKUM.


 
Judul diatas merupakan jawaban atau penjelasan lebih lanjut terhadap tulisan sebelumnya yang berjudul “Diskresi Keuangan dan Kerugian Negara dari Perspektif Undang-Undang Keuangan Negara dalam Penyelesaian Kasus Korupsi” dimana melihat tindak pidana korupsi dari perspektif Hukum Keuangan Negara. Diharapkan melalui tulisan berikut dapat memberikan pandangan yang berbeda dan memperkaya khasanah pembaca karena penulis mencoba mengajak pembaca untuk melihat dari segi penegak hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan negara. Adapun materi yang dituangkan penulis sepenuhnya merupakan bahan makalah yang dibagikan pada saat seminar mengenai hukum keuangan negara yang berjudul “ Perspektif Keuangan Negara Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi dan Kerugian Negara” yang diselenggarakan di Gedung Prijadi, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Jakarta Pusat pada tanggal 23 Desember 2015, dimana salah seorang narasumber dari aparat penegak hukum adalah Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Polisi Akhmad Wiyagus dan sumber tulisan berikut adalah terinspirasi dari pemikiran beliau, mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Menurut Lili Rasjidi, Lila Sonia Rasjidi, dalam bukunya dasar-dasar filsafat dan teori hukum, ( citra Aditya Bhakti, 1981 ) hal. 78-79, dalam terbentuknya sebuah hukum harus ada unsur-unsur yang mendukung tegaknya hukum itu sendiri antara lain :
·         Adanya keyakinan moral dari masyarakat
·         Persetujuan atau konsensus dari masyarakat
·         Adanya kepemimpinan yang mendapatkan legitimasi
·         Adanya kekuatan atau power untuk menegakkan hukum tersebut
·         Kombinasi dari hal-hal yang disebutkan diatas.
Sesuai dengan teori diatas dikaitkan dengan pembentukan hukum tindak pidana korupsi, pembentuk undang-undang, sudah mendefinisikan bahwa korupsi merupakan sebuah tindak pidana, dimana secara teori penegakkan hukum pidana memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan, pencegahan kejahatan dan pembalasan terhadap perilaku kriminalitas tersebut.[1]
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.[2]  Sesuai dengan pengertiannya bahwa korupsi adalah sesuatu yang busuk, dan rusak, kita harus melihat bahwa perbuatan sebagaimana telah dikriminalisasi dalam pasal 2 dan pasal 3 dari UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diperbaharui dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai sebuah perbuatan yang buruk dan merupakan sebuah kesatuan atau rangkaian perbuatan yang utuh dan tidak terpisah-pisah menjadi unsur-unsur pasal yang saling berdiri sendiri.[3]
Pelanggaran terhadap pasal 2[4] dan pasal 3[5] merupakan sebuah pelanggaran terhadap asas good governance dalam pengelolaan negara, yang dilakukan sengaja oleh orang perorang yang berada dalam kekuasaan maupun memiliki kewenangan tertentu.
Terkait penyalahgunaan wewenang harus ada tiga unsur yang harus terpenuhi yaitu :
1.    Met Opzet ( dengan sengaja )
2.    Mengalihkan tujuan wewenang
3.    Adanya conflict of interest yang bersifat negatif.[6]
Hal tersebut sejalan dengan konsep yang diutarakan oleh Hans G. Nilson yang menyatakan bahwa penggunaan wewenang maupun pengambilan keputusan publik akan memiliki sifat pidana apabila tindakan tersebut mengandung unsur :
1.    Adanya unsur kecurangan ( fraud )
2.    Adanya benturan kepentingan ( conflict of interest )
3.    Adanya perbuatan melawan hukum ( illegality )
4.    Dan mengandung kesalahan yang disengaja ( gross negligence ).

             Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa delik korupsi yang dimaksud dalam perumusan pasal 2 dan pasal 3 undang-undang tindak pidana korupsi, merupakan suatu perbuatan tercela, atau perbuatan yang melawan peraturan serta perundang-undangan, maupun perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat publik sehingga terjadi pembebanan terhadap keuangan negara atau lazimnya disebut dengan kerugian negara. 

             Pengelolaan keuangan negara merupakan suatu proses bisnis yang harus dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian dan dilandasi dengan itikad baik demi kemaslahatan bangsa dan negara, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh pejabat-pejabat negara yang memiliki fungsi sebagai administratuur dari pengelolaan tersebut.[7] 

             Oleh karenanya para pejabat pemerintah yang mengemban tugas dan tanggung jawab tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya melalui seperangkat peraturan perundang-undangan yang merupakan kontrol bagi para pejabat publik dalam mengelola keuangan negara. Kerugian negara adalah merupakan hasil dari perbuatan korupsi berupa penyalahgunaan wewenang, maupun perbuatan melawan hukum, khususnya terkait dengan pengelolaan keuangan negara, sehingga layak apabila aturan pengelolaan keuangan negara dibuat sedemikian detail, hal ini bertujuan agar setiap pejabat negara yang mengemban tugas dan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara selalu cermat dan teliti dalam melaksanakan tugasnya. 

             Diharapkan bahwa pengelola keuangan negara harus selalu memiliki itikad baik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan keuangan negara, serta mengedepankan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.[8]




[1] S.R Sianturi SH, Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya, ( alumni AHM-PHTM,1989 )60-63.
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi diakses pada tanggal 28 November 2015 pukul 16:39 Wib.
[3] Disajikan dalam seminar yang diselenggarakanoleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan di Gedung Prijadi, Jakarta tanggal 23 Desember 2015.
[4] Pasal 2 ayat (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 ( empat ) tahun dan paling lama 20 ( dua puluh ) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- ( dua ratus juta rupiah ) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- ( satu miliar rupiah ).
[5] Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 ( satu ) tahun dan paling lama 20 ( dua puluh ) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- ( lima puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- ( satu miliar rupiah ).
[6] Phillipus Hardjon et al, Hukum administrasi dan tindak pidana korupsi, ( Gajahmada University Press, 2011 ) 16-21
[7] Riawan,Tjandra. Hukum Keuangan Negara. Grasindo. 2014. Hal 24.
[8] Hand Out yang dibuat oleh Direktur Tipikor Bareskrim Polri dan dibagikan dalam Seminar yang diselenggarakanoleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan di Gedung Prijadi, Jakarta tanggal 23 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar