Kasie Juntrad

Kasie Juntrad
I was a cadet

Senin, 28 Desember 2015

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DARI PERSPEKTIF APARAT PENEGAK HUKUM.


 
Judul diatas merupakan jawaban atau penjelasan lebih lanjut terhadap tulisan sebelumnya yang berjudul “Diskresi Keuangan dan Kerugian Negara dari Perspektif Undang-Undang Keuangan Negara dalam Penyelesaian Kasus Korupsi” dimana melihat tindak pidana korupsi dari perspektif Hukum Keuangan Negara. Diharapkan melalui tulisan berikut dapat memberikan pandangan yang berbeda dan memperkaya khasanah pembaca karena penulis mencoba mengajak pembaca untuk melihat dari segi penegak hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan negara. Adapun materi yang dituangkan penulis sepenuhnya merupakan bahan makalah yang dibagikan pada saat seminar mengenai hukum keuangan negara yang berjudul “ Perspektif Keuangan Negara Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi dan Kerugian Negara” yang diselenggarakan di Gedung Prijadi, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Jakarta Pusat pada tanggal 23 Desember 2015, dimana salah seorang narasumber dari aparat penegak hukum adalah Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Polisi Akhmad Wiyagus dan sumber tulisan berikut adalah terinspirasi dari pemikiran beliau, mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Menurut Lili Rasjidi, Lila Sonia Rasjidi, dalam bukunya dasar-dasar filsafat dan teori hukum, ( citra Aditya Bhakti, 1981 ) hal. 78-79, dalam terbentuknya sebuah hukum harus ada unsur-unsur yang mendukung tegaknya hukum itu sendiri antara lain :
·         Adanya keyakinan moral dari masyarakat
·         Persetujuan atau konsensus dari masyarakat
·         Adanya kepemimpinan yang mendapatkan legitimasi
·         Adanya kekuatan atau power untuk menegakkan hukum tersebut
·         Kombinasi dari hal-hal yang disebutkan diatas.
Sesuai dengan teori diatas dikaitkan dengan pembentukan hukum tindak pidana korupsi, pembentuk undang-undang, sudah mendefinisikan bahwa korupsi merupakan sebuah tindak pidana, dimana secara teori penegakkan hukum pidana memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan, pencegahan kejahatan dan pembalasan terhadap perilaku kriminalitas tersebut.[1]
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.[2]  Sesuai dengan pengertiannya bahwa korupsi adalah sesuatu yang busuk, dan rusak, kita harus melihat bahwa perbuatan sebagaimana telah dikriminalisasi dalam pasal 2 dan pasal 3 dari UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diperbaharui dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai sebuah perbuatan yang buruk dan merupakan sebuah kesatuan atau rangkaian perbuatan yang utuh dan tidak terpisah-pisah menjadi unsur-unsur pasal yang saling berdiri sendiri.[3]
Pelanggaran terhadap pasal 2[4] dan pasal 3[5] merupakan sebuah pelanggaran terhadap asas good governance dalam pengelolaan negara, yang dilakukan sengaja oleh orang perorang yang berada dalam kekuasaan maupun memiliki kewenangan tertentu.
Terkait penyalahgunaan wewenang harus ada tiga unsur yang harus terpenuhi yaitu :
1.    Met Opzet ( dengan sengaja )
2.    Mengalihkan tujuan wewenang
3.    Adanya conflict of interest yang bersifat negatif.[6]
Hal tersebut sejalan dengan konsep yang diutarakan oleh Hans G. Nilson yang menyatakan bahwa penggunaan wewenang maupun pengambilan keputusan publik akan memiliki sifat pidana apabila tindakan tersebut mengandung unsur :
1.    Adanya unsur kecurangan ( fraud )
2.    Adanya benturan kepentingan ( conflict of interest )
3.    Adanya perbuatan melawan hukum ( illegality )
4.    Dan mengandung kesalahan yang disengaja ( gross negligence ).

             Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa delik korupsi yang dimaksud dalam perumusan pasal 2 dan pasal 3 undang-undang tindak pidana korupsi, merupakan suatu perbuatan tercela, atau perbuatan yang melawan peraturan serta perundang-undangan, maupun perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat publik sehingga terjadi pembebanan terhadap keuangan negara atau lazimnya disebut dengan kerugian negara. 

             Pengelolaan keuangan negara merupakan suatu proses bisnis yang harus dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian dan dilandasi dengan itikad baik demi kemaslahatan bangsa dan negara, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh pejabat-pejabat negara yang memiliki fungsi sebagai administratuur dari pengelolaan tersebut.[7] 

             Oleh karenanya para pejabat pemerintah yang mengemban tugas dan tanggung jawab tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya melalui seperangkat peraturan perundang-undangan yang merupakan kontrol bagi para pejabat publik dalam mengelola keuangan negara. Kerugian negara adalah merupakan hasil dari perbuatan korupsi berupa penyalahgunaan wewenang, maupun perbuatan melawan hukum, khususnya terkait dengan pengelolaan keuangan negara, sehingga layak apabila aturan pengelolaan keuangan negara dibuat sedemikian detail, hal ini bertujuan agar setiap pejabat negara yang mengemban tugas dan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara selalu cermat dan teliti dalam melaksanakan tugasnya. 

             Diharapkan bahwa pengelola keuangan negara harus selalu memiliki itikad baik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan keuangan negara, serta mengedepankan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.[8]




[1] S.R Sianturi SH, Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya, ( alumni AHM-PHTM,1989 )60-63.
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi diakses pada tanggal 28 November 2015 pukul 16:39 Wib.
[3] Disajikan dalam seminar yang diselenggarakanoleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan di Gedung Prijadi, Jakarta tanggal 23 Desember 2015.
[4] Pasal 2 ayat (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 ( empat ) tahun dan paling lama 20 ( dua puluh ) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- ( dua ratus juta rupiah ) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- ( satu miliar rupiah ).
[5] Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 ( satu ) tahun dan paling lama 20 ( dua puluh ) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- ( lima puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- ( satu miliar rupiah ).
[6] Phillipus Hardjon et al, Hukum administrasi dan tindak pidana korupsi, ( Gajahmada University Press, 2011 ) 16-21
[7] Riawan,Tjandra. Hukum Keuangan Negara. Grasindo. 2014. Hal 24.
[8] Hand Out yang dibuat oleh Direktur Tipikor Bareskrim Polri dan dibagikan dalam Seminar yang diselenggarakanoleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan di Gedung Prijadi, Jakarta tanggal 23 Desember 2015

Minggu, 27 Desember 2015

Diskresi Keuangan dan Kerugian Negara dari Perspektif Undang-Undang Keuangan Negara dalam Penyelesaian Kasus Korupsi.[1]


Diskresi, pada hakekatnya, adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap kaidah baku yang berlaku secara umum. Oleh karena itu, dalam pengelolaan keuangan negara tindakan yang didasarkan pada diskresi hampir tidak pernah dapat dibenarkan. Hal ini disebabkan karena tindakan dalam pelaksanaan anggaran, pada prinsipnya, bukanlah tindakan yang berdiri sendiri.[2] Anggaran dalam konsep hukum keuangan negara khususnya dalam hal pelaksanaan merupakan rangkaian proses panjang diawali dengan proses politik yang mana dalam hal pengambilan keputusan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara tentunya melalui tahapan politis yang melibatkan antar lembaga negara dimana lembaga eksekutif memiliki kewajiban dalam mematuhi keputusan yang telah dituangkan dalam APBN, dan di sisi lain lembaga legislatif memberikan kewenangan sepenuhnya ( termasuk pendanaan ) agar kegiatan yang tertuang di dalam APBN dapat terlaksana. Hal ini yang kemudian dikenal dengan istilah authorization parlementaire.
Tentunya hal tersebut juga memiliki konsekuensi logis dimana lembaga legislatif otomatis memiliki hak untuk melakukan pengawasan dalam hal terwujudnya seluruh rencana kegiatan dalam APBN dengan baik dan benar termasuk hak untuk meminta pertanggungjawaban terhadap realisasi dari keputusan yang telah disepakati bersama. Disisi lain, lembaga eksekutif selain mengutamakan kewajiban untuk merealisasikan program kerja sesuai dengan apa yang tertuang dalam APBN dan membuat serta menyampaikan pertanggungjawaban baik dari segi kinerja maupun keuangan kepada legislatif.[3] Semua pola dan mekanisme yang berkembang diantara dua lembaga politik dalam hal penyusunan anggaran juga melahirkan berbagai prinsip dasar yang kemudian kita kenal sebagai Golden Principles of Budget Execution[4] yang terdiri dari prealable, annualitas, unitas, spesialitas dan universalitas.
Prinsip anteoritas atau prinsip prealable menegaskan bahwa anggaran negara harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari lembaga legislatif sebelum dilaksanakan sehingga prinsip ini secara tidak langsung telah menempatkan lembaga legislatif dalam posisi yang lebih dominan dibandingkan lembaga eksekutif. Prakteknya, hal ini diwujudkan dengan lahirnya berbagai ketentuan dalam perundang-undangan terkait dengan pengelolaan anggaran dan belanja negara yang melarang untuk dilakukannya perikatan bila tidak tersedia dana dalam anggaran yang telah ditetapkan. Kemudian prinsip anualitas atau prinsip periodisitas yang menyatakan bahwa anggaran negara harus dilaksanakan dalam suatu periode tertentu yang ditandai dengan titik awal dimulainya anggaran pada suatu tanggal tertentu dan diakhiri pada suatu tanggal tertentu misalnya, satu tahun. Konsekuensi yang menyertai dari prinsip ini adalah bahwa seluruh pengeluaran yang dilaksanakan oleh lembaga eksekutif sebagai pelaksana APBN diluar periode yang telah ditetapkan merupakan pengeluaran yang tidak sah. Prinsip unitas menyatakan bahwa APBN yang telah disetujui sebagai kesepakatan bersama harus dilaksanakan oleh lembaga eksekutif dan dituangkan dalam satu dokumen tidak sebaliknya terpisah-pisah dalam berbagai dokumen. Hal ini bertujuan lembaga legislatif dapat mengendalikan dengan mudah anggaran yang telah disepakati dan ditetapkan sehingga menghindari adanya penyimpangan ( fraud ) dalam pengelolaan keuangan negara. Kemudian selanjutnya prinsip spesialitas yang pada hakekatnya menjaga agar anggaran digunakan khusus untuk kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan ini pada prinsipnya memudahkan lembaga legislatif dalam mendeteksi apakah program-program yang telah diputuskan dan disepakati bersama dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan tidak bergeser dalam pelaksanaannya hanya sesuai dengan kehendak lembaga eksekutif semata. Prinsip ini menekankan fungsi-fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yakni fungsi pemerintahan negara, fungsi keamanan, fungsi kesejahteraan rakyat dan sebagainya. Kemudian dalam penyusunan anggaran negara ditambahkan unsur organisasi sebagai pelaksana yang merupakan penanggung jawab kegiatan. Terkait dengan itu, dalam prakteknya kemudian dikenal pengeluaran untuk fungsi tertentu yang dilaksanakan oleh kementerian atau satuan kerja tertentu. Yang terakhir, prinsip universalitas merupakan prinsip yang menekankan bahwa alokasi dana anggaran harus spesifik atau terinci berdasarkan fungsi, organisasi hingga ke jenis pengeluaran/ belanja. Prinsip ini mewajibkan adanya kas tunggal dalam pengelolaan keuangan negara, kemudian mengharuskan agar semua penerimaan di setor ke kas negara demikian hal nya seluruh pengeluaran juga dilakukan melalui kas negara. Tujuan dari diterapkannya prinsip ini adalah dalam pengelolaan keuangan negara dapat terhindar dari pemborosan atau penyimpangan lain yang dapat terjadi.
Siswo Sujanto[5] dalam seminarnya di Menkeu[6], menjelaskan bahwa perlu disadari bersama bahwa diskresi, menurut para ahli hukum, lahir karena adanya sebuah kekosongan aturan ( regulation ). Kekosongan aturan itu sendiri dipicu oleh adanya suatu keadaan yang memaksa ( force majeur ). Atau, dalam alur logika yang sangat sederhana yang mudah dipahami oleh masyarakat awam adalah, bahwa lahirnya sebuah diskresi disebabkan karena keadaan yang sedang dihadapi bersifat sangat khusus, sehingga berbagai ketentuan yang ada tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul. Dengan kata lain, bahwa diskresi akan menyebabkan terjadinya penyimpangan atau pelanggaran terhadap ketentuan yang ada. Hal yang demikian adalah logis, mengingat ketentuan yang ada, pada hakekatnya hanya mengatur keadaan yang biasa. Hal ini  bukan karena alasan bahwa secara formal  APBN merupakan sebuah undang-undang, melainkan karena APBN, pada hakekatnya, adalah sebuah kesepakatan antara rakyat dan pemerintah. Diskresi di tingkat ini merupakan diskresi  terkait dengan keputusan yang dapat mengakibatkan terjadinya pengeluaran negara. Diskresi semacam ini dapat dinamakan diskresi substansial.
Kemudian untuk diskresi yang bentuknya formal, dari sisi pelaksanaan anggaran hendaknya dilakukan dengan mengacu pada paradigma yang menyatakan bahwa pelaksanaan anggaran adalah merupakan operasionalisasi sebuah keputusan politik. Terkait dengan itu, diskresi yang mungkin dilakukan hanyalah mencakup bagaimana operasi pelaksanaan kegiatan penerimaan dan pengeluaran negara dapat tetap dilaksanakan ketika terjadi situasi yang tidak seperti biasanya. Prinsip kehati-hatian harus tetap dipedomani untuk menghindarkan dari timbulnya kerugian negara. Diskresi di tingkat ini merupakan diskresi formal atau operasional. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam sistem pembayaran pada akhir tahun.
Kemudian kita masuk kedalam pembahasan tentang kerugian negara, menurut UU no 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara sebagaimana lebih lanjut diatur dalam Bab I tentang Pengertian dalam Pasal 1 butir ke 22, yang dimaksud dengan kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Bila dicermati, kerugian negara yang dimaksud adalah merupakan akibat dari suatu perbuatan melawan hukum. Unsur dari kerugian negara itu sendiri utamanya adalah kekurangan aset negara dan adanya perbuatan melawan hukum. Sementara itu perbuatan melawan hukum itu sendiri dapat terjadi di ranah administratif ataupun di ranah non administratif. Perbedaan antara keduanya, selain dari sifat perbuatannya juga didasarkan pada pola penyelesaian kerugian negara itu sendiri. Kerugian negara yang terjadi di ranah administratif diselesaikan secara administratif dalam sebuah peradilan administratif, sedangkan kerugian negara yang terjadi di ranah non administratif diselesaikan di peradilan umum, baik menurut hukum perdata maupun hukum pidana.[7]
Kedepannya aparat penegak hukum dalam menangani perkara korupsi hendaknya tidak menjadi ragu untuk mengambil langkah hukum karena diskresi dalam bentuk substansial, secara prinsip hanya dapat dilakukan bila terjadi force majeur dan apabila ternyata tidak mengindahkan prinsip yang berlaku terutama prudential principe maka hal tersebut merupakan ranah non administratif dan diselesaikan di peradilan umum.



[1] Disajikan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan – Kementerian Keuangan di Gedung Prijadi, Jakarta tanggal 23 Desember 2015.
[2] Makalah tentang Diskresi Keuangan Ditinjau Dari Perspektif Undang-Undang Bidang Keuangan Negara Dan Penyelesaian Kasus Korupsi oleh Drs. Siswo Sujanto, DEA.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Alumnus Universitas Paris 2, Pantheon, Jurusan Hukum Keuangan Negara dan Perpajakan,
Direktur Pusat Pengkajian Keuangan Negara danDaerah, Universitas Patria Artha, Makassar,
( Mantan ) Ketua Tim Kecil Penyusunan Paket RUU Bidang Keuangan Negara.
[6] Seminar Diskresi Keuangan di Gedung Prijadi, Kementerian Keuangan, Jakarta tanggal 23 Desember 2015 dalam makalah yang berjudul “Ditinjau Dari Perspektif Undang-Undang Bidang Keuangan Negara dan Penyelesaian Kasus Korupsi”.
[7] Ibid.

Senin, 01 Juni 2015



Functionalism Theory by : EMILE DURKHEIM, DENTLER, ERICSON, dan lain-lain.

Teori ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yang terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim. ( sumber : wikipedia )


  1. ALAT KOHESI SOSIAL.
Alat kohesi sosial artinya sebagai alat pemersatu. Contohnya adalah : apabila kita sebagai sesama anggota Polri yang dinas di suatu Polres, ada informasi bahwa ada salah satu Polsek jajaran kita diserang oleh massa anarkhis, maka meski lain kesatuan wilayah namun karena satu institusi maka kita akan ikut membantu meski diluar SOP tentang permohonan bantuan perkuatan personil.
Contoh lain : adanya kerawanan situasi terjadinya tindak pidana di suatu lingkungan sehingga warga membuat sistem keamanan lingkungan yang aktif di lingkungan masyarakatnya sehingga demi menjaga keamanan diri dan lingkungannya maka warga setempat bersatu dalam suatu wadah kegiatan yang disebut siskamling.

  1. MEMPUNYAI FUNGSI PENGENDALIAN SOSIAL.
Contoh kejahatan sebagai fungsi pengendali sosial adalah seorang pelaku jambret yang baru dijebloskan kedalam sel tidak akan berani berperilaku arogan apabila dia sadar bahwa berada satu sel dengan narapidana pelaku pembunuhan, bos narkoba dan bos suatu kelompok organisasi tertentu yang berkecimpung di dunia kejahatan.

  1. SEBAGAI ALAT KESEIMBANGAN.
Judi di Batam sempat menjadi trending topic di era tahun 90 hingga 2000an awal dimana perjudian hampir ada diseluruh pelosok batam dari tempat kasino di hotel-hotel hingga nomor SDSB atau yang sekarang kita sebut siji marak beredar di warung kedai rokok, saat itu kejahatan jalanan sangat rendah karena dengan judi semua merasakan mudahnya mencari uang mulai dari tukang ojek, wanita penghibur, pekerja kasino hingga pemilik penginapan di kota Batam karena banyaknya pemasukan dari tamu lokal maupun internasional yang datang untuk berjudi di Batam. Sekarang perjudian sejak tahun 2005 sudah diberantas habis dan kejahatan jalanan di Batam meningkat pesat karena sulitnya mencari nafkah bagi sebagian orang. Disinilah teori fungsi kejahatan sebagai penyeimbang.

  1. SEBAGAI GARIS BATAS.
Fungsi kejahatan sebagai pemisah antara mana yang baik dan mana yang jahat, disini orang yang terlibat perkara hukum sehingga diproses dan diadili hingga divonis mendapatkan stigma narapidana/ penjahat dan apa yang dilakukannya sehingga mendapatkan vonis tersebut adalah sebagai kejahatan, namun demikian sebaliknya, mereka yang tidak terlibat proses hukum dan taat aturan adalah tidak melakukan kejahatan karena tidak ada nilai dan norma yang dilanggar.

  1. DALAM HAL TERTENTU SARANA MEMPEROLEH REWARD/PENGHARGAAN.
Contohnya dikepolisian adalah apabila kita mengungkap kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat daerah maka dengan kejahatan korupsi yang berhasil kita ungkap kita selaku penyidik mendapatkan reward dari atasan kita.



Rabu, 27 Mei 2015

STRATEGI PENCEGAHAN DALAM STUDI KASUS PENYERANGAN MAKO POLSEK LIMUN DI PROVINSI JAMBI

BAB I

PENDAHULUAN

Penyerangan mako Polsek Limun di wilayah hukum Polres Sarolangun, Provinsi Jambi sempat menghebohkan masyarakat Indonesia terkait pemberitaan di media massa apalagi hal tersebut disinyalir akibat kelalaian aparat saat melakukan penyelidikan terkait kasus narkoba yang mengakibatkan seorang pemuda tewas tertembak, sehingga memicu konflik berkepanjangan yang berujung pada dibakarnya mako Polsek Limun oleh sekelompok warga yang merasa tidak puas dan kecewa atas tindakan aparat Polsek Limun yang dinilai tidak bertanggung jawab atas tewasnya pemuda dari kampung mereka. Maka dari itu penulis mencoba membuat makalah singkat mengenai kasus tersebut ditinjau dari segi pencegahan khususnya strategi yang digunakan, langkah-langkah yang harus dilakukan ketika terjadi hal demikian dan yang terakhir adalah strategi apa yang digunakan apabila kejadian tersebut terulang kembali.

 Adapun yang menjadi dasar dari penulis dalam menulis langkah dan strategi sesuai yang tercantum dalam aturan yang ada di kepolisian khususnya Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 6 tahun 2005 tentang Pedoman Tindakan Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Penggunaan Kekuatan Kepolisian dan Juklap Kapolri nomor : Juklap/ 13/ III/ 1997 tanggal 26 Maret 1997 tentang Penanggulangan Serangan Fisik Terhadap Markas Kepolisian Negara Republik Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

  Deteksi dini adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh pengemban fungsi kepolisian di tingkat Polsek dan Polres, fungsi intelijen sebagai pelaksana early warning system memiliki kinerja yang sifatnya continue dan actual untuk menyajikan informasi sesuai fakta di lapangan mengenai apa yang terjadi di wilayah hukumnya. Informasi inilah yang nantinya akan diolah untuk disajikan sebagai laporan informasi kepada pimpinan terkait situasi keamanan dan ketertiban dalam masyarakatnya. Under estimate terhadap suatu peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat apalagi terkait dengan dampak dari suatu kegiatan kepolisian baik itu sebelum ataupun sesudah merupakan kesalahan fatal yang harus dihindari. Apabila deteksi dini/ early warning berjalan sebagaimana mestinya maka pimpinan di tingkat Polsek atau Polres diharapkan dapat membuat keputusan yang sifatnya menguntungkan bagi organisasi dalam hal ini kepolisian, apabila keputusan salah atau terlambat dibuat, maka akan berdampak fatal seperti kasus ini, pembakaran terhadap markas komando Polsek Limun oleh sekelompok massa yang tidak puas akan tindakan aparat di lapangan.

Deteksi dini yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya pengrusakan mako akibat dari ekses tindakan kepolisian yang rawan konflik seperti kasus Polsek Limun dapat dimulai dari langkah :
1. Memahami tipikal warga setempat dan memahami kejadian sejarah konflik yang pernah terjadi antara warga setempat dengan aparat hukum serta bagaimana langkah antisipasinya.
2. Membuat mapping konflik yang pernah terjadi dan bagaimana tahapan proses penyelesaiannya.
3. Memahami intel dasar dan melakukan penggalangan dengan tokoh agama, tokoh masyarakat dan perangkat desa setempat.
4. Ditingkat Polres hendaknya membuat SOP tentang langkah kontijensi yang dilakukan oleh personil beserta jajaran Polsek apabila menghadapi konflik dengan massa setempat dan membuat TR ke jajaran untuk melatihkan situasi kontijensi dengan membuat laporan hasil pelaksanaan kepada pimpinan.

Adapun bila konflik sudah terjadi antara petugas kepolisan dengan massa maka :
1. Laporan mengenai informasi actual yang disajikan kepada pimpinan harus apa adanya dan tidak boleh under estimate serta harus berjalan secara continue.
2. Segera meminta kompi bantuan dari jajaran Polres dan Brimob Polda setempat termasuk permintaan ambulance.
3. Berkoordinasi dengan instansi samping seperti pemda/pemko setempat, termasuk pemadam kebakaran dan juga TNI dalam hal bantuan perkuatan
4. Menggalang potmas seperti tomas dan toga serta organisasi pemuda setempat terutama pihak yang berkonflik langsung dengan pihak kepolisian.

Hal tersebut diatas apabila dijalankan sesuai dengan aturan UU dan perkap yang ada diantaranya :
a.            Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
b.            Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 6 tahun 2005 tentang Pedoman Tindakan Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Penggunaan Kekuatan Kepolisian
c.            Juklap Kapolri nomor : Juklap/ 13/ III/ 1997 tanggal 26 Maret 1997 tentang Penanggulangan Serangan Fisik Terhadap Markas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
d.            Rencana Kerja masing-masing Kepolisian Daerah Republik Indonesia tentang pengembangan strategi keamanan dan ketertiban.

Maka diharapkan situasi konflik yang terjadi antara massa dengan aparat kepolisian dapat dihindari sehingga meminimalisir kerugian yang timbul bagi negara baik secara materiil maupun moril.


BAB III
KESIMPULAN

                        Konflik yang terjadi antara warga dengan aparat Polri sebagai ekses dalam pelaksanaan tugas kepolisian kerap terjadi di berbagai wilayah nusantara, namun hal ini bukannya tidak dapat dihindari apabila terdapat sistem yang bekerja dengan baik di lingkup kepolisian setempat dimulai dari deteksi dini, laporan informasi aktual hingga penanggulangan dari peristiwa konflik yang dituangkan dalam aturan atau prosedur tetap tentang sistem pengamanan markas komando tiap-tiap Polsek/Polres/Polda di wilayah Republik Indonesia. Tidak hanya berhenti disitu, aturan atau protap yang ada hendaknya dilatihkan dalam situasi yang mendekati real dan dilaporkan hasil pelaksanaannya secara berjenjang sehingga meningkatkan kewaspadaan anggota apabila menghadapi situasi konflik yang sebenarnya.


DAFTAR PUSTAKA
                       
a.    Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
b.    Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 6 tahun 2005 tentang Pedoman Tindakan Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Penggunaan Kekuatan Kepolisian
c.    Juklap Kapolri nomor : Juklap/ 13/ III/ 1997 tanggal 26 Maret 1997 tentang Penanggulangan Serangan Fisik Terhadap Markas Kepolisian Negara Republik Indonesia.



Kamis, 21 Mei 2015

UPAYA PENYIDIK DALAM MENCEGAH TERJADINYA PRAPERADILAN SEHUBUNGAN DENGAN PENETAPAN TERSANGKA MENJADI OBJEK PRAPERADILAN

A. LATAR BELAKANG

Proses perkembangan dalam hal penegakan hukum dan perlindungan HAM di Indonesia khususnya di tingkat pengadilan telah mengalami suatu transformasi positif yang kemudian penulis ambil sebagai contoh kasus dimana perubahan positif tersebut dipelopori oleh putusan hakim Sarpin Rizaldi dalam peristiwa hukum dimana sidang gugatan praperadilan yang dilayangkan oleh Komjen Budi Gunawan dalam hal penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK, dimana kemudian akhirnya Hakim Sarpin selaku hakim tunggal sidang praperadilan yang memeriksa perkara dengan pemohon atas nama Komjen Budi Gunawan dan termohon atas nama KPK telah mengadili dan telah memutuskan bahwa penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan yang dilakukan oleh termohon KPK adalah tidak sah. Hasil putusan ini kemudian memiliki multi tafsir dari berbagai pengamat hukum sebagai hasil penjabaran pasal dalam KUHAP dimana penetapan tersangka tidak dibunyikan sebagai obyek dari praperadilan sehingga Hakim Sarpin membuat terobosan baru tentang segala tindakan penyidik di tingkat penyidikan adalah merupakan bentuk upaya paksa sehingga hak asasi manusia yang melekat pada tersangka dalam prakteknya sering tidak diindahkan. Selain itu mengenai pasal 2 UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam penjelasan angka 7 yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:
1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
4. Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Jaksa;
6. Penyidik;
7. Panitera Pengadilan; dan
8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.
Sementara Komjen Budi Gunawan pada saat menjabat sebagai Karobinkar adalah bukan termasuk pejabat Eselon I melainkan menjabat sebagai Eselon II dengan pangkat Komisaris Besar Polisi dan bukan sebagai penyidik. Dengan mengacu pada UU no 28 tahun 1999 ini maka bukan ranah KPK untuk menjerat Komjen Budi Gunawan dan menetapkannya sebagai tersangka. Belajar dari kasus tersebut maka penulis menganalisa bahwa praperadilan itu sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 77  UU no. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimana disebutkan bahwa praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Kembali kepada kasus praperadilan dengan pemohon Komjen Budi Gunawan, tindakan penyidik KPK dengan menetapkan Komjen BG sebagai tersangka bisa mencederai hukum apalagi tidak didahului oleh pemeriksaan sebagai saksi kepada Komjen BG malahan statusnya tiba-tiba menjadi tersangka tepat disaat Komjen BG dinyatakan lulus fit and proper test sebagai calon tunggal Kapolri,  karena itu penetapan tersangka ini tidak sesuai dengan aturan hukum dan di sisi lain dalam UU nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggara yang bersih dan bebas dari KKN maka Komjen Budi Gunawan tidak masuk dalam kategori tersebut karena pada saat itu masih menduduki jabatan eselon II bukan eselon I. Adapun alasan yuridis yang lain bahwa dalam Pasal 10 ayat 1 UU no 48 tahun 2009 tentang pokok-pokok kekuasan kehakiman bahwa hakim dilarang menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya untuk diperiksa, diadili, dan diputuskan dengan dalih bahwa hukum kurang jelas melainkan wajib menerima semua perkara yang diajukan kepadanya kemudian memeriksanya dan mengadilinya. Hal ini memiliki makna hakim memiliki kewenangan rechtvinding yaitu menemukan hukum jika suatu perbuatan tidak diatur dalam UU seperti dalam kasus ini, mengenai penetapan tersangka.
Tentunya hal diatas dalam hal sisi juridis memiliki efek berkelanjutan terhadap proses hukum yang lain dengan kasus yang berbeda pula, maka dari itu kita sebagai penegak hukum khususnya penyidik harus waspada dan tidak bisa sembarangan dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka dari suatu peristiwa pidana. Makalah ini membahas tentang upaya kita sebagai penyidik untuk mencegah gugatan praperadilan terkait adanya putusan dari MK bahwa penetapan tersangka merupakan obyek dari praperadilan dan apakah penetapan status seseorang menjadi tersangka dapat dikategorikan ranah obyek praperadilan.     

B. PERMASALAHAN
1. Apakah penetapan tersangka dapat dikategorikan masuk dalam ranah obyek praperadilan?
2.  Apa yang dapat dilakukan oleh penyidik dalam mencegah upaya hukum berupa gugatan praperadilan sehubungan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi bahwa penetapan tersangka merupakan objek dari praperadilan ?

C. PEMBAHASAN
Penetapan tersangka secara limitative tidak termaktub dalam Pasal 77 UU no 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana namun demikian esensi dari adanya upaya hukum berupa praperadilan adalah sebagai wujud kontrol terhadap proses penegakan hukum yang mana terkait sangat erat dengan Hak Asasi Manusia. Banyak permasalahan yang ada baik sejak tahap pra ajudikasi dimana aparat hukum ( penyidik ) melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan sebelum upaya dilanjutkan ke tahap pengadilan sementara praperadilan memiliki sifat post-factum yang berarti tahapan ini hanya dilakukan apabila sudah terjadi penahanan. Padahal, penetapan seseorang menjadi status tersangka adalah bagian dari tahap penyidikan yang prosesnya rentan terdapat kesewenangan dari aparat hukum ( baca : penyidik ) yang erat kaitannya terhadap perampasan Hak Asasi Manusia.  Sehingga diharapkan dengan adanya yurisprudensi dari putusan hakim Sarpin mengenai masuknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan diharapkan sesuai dengan asas hukum equlity before the law dimana tersangka dalam kedudukannya sebagai manusia juga memiliki harkat, martabat dan kedudukan yang sama dimuka hukum serta menjunjung tinggi perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia yang dimiliki setiap orang terlepas dari status hukumnya.
Adapun yang dapat kita lakukan sebagai penyidik Polri dalam mencegah upaya hukum adalah selain menerapkan prinsip kehati-hatian dalam setiap langkah penyidikan dan kita juga harus memahami aturan yang menjadi payung hukum bagi penyidik Polri diantaranya Perkap no 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana yang menerangkan bahwa hendaknya dalam melakukan rangkaian kegiatan penyidikan hendaknya meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian sehingga hendaknya rangkaian tindakan penyidikan tersebut dilaksanakan secara professional, transparan, dan akuntabel terhadap setiap perkara pidana guna terwujudnya supremasi hukum yang mencerminkan rasa keadilan.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Perkap no 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana, maka dasar untuk dapat dilakukannya penyidikan adalah adanya Laporan Polisi/ pengaduan, surat perintah tugas, Laporan Hasil Penyelidikan, surat perintah penyidikan dan yang terakhir SPDP ( Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan ) yang dilayangkan ke Kejaksaan. Untuk SPDP merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan penyidik sebelum melakukan upaya paksa sehingga setelah dikirimnya SPDP ke kejaksaan maka penyidik mendapatkan nomor registrasi yang nantinya dicantumkan dalam surat perintah sebagai dasar hukum dalam melakukan upaya paksa seperti pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Kemudian secara rinci dijelaskan kembali dalam Pasal 16 hingga Pasal 19 tentang rencana penyelidikan, rencana penyidikan dan kriteria perkara yang terdiri dari mudah, sedang, sulit dan sangat sulit. Pengorganisasian sebagaimana diatur dalam pasal 20 hingga pasal 23 lebih menekankan kepada atasan penyidik untuk mengorganisir seluruh sumber daya yang tersedia untuk membentuk tim penyelidik dan tim penyidik berikut dukungan anggaran dan dukungan peralatan yang ditunjuk dengan surat perintah. Personil yang dilibatkan dalam tahap pengorganisasian ini harus memiliki kompetensi, integritas dan kapabilitas sesuai dengan perkara yang ditangani. Kemudian masuk ke tahap berikutnya yakni pelaksanaan, dimana kegiatan lidik/ sidik diatur dalam pasal 24 hingga pasal 77, penulis tidak akan membahas pasal demi pasal namun hal yang perlu digaris bawahi adalah dalam tahap pelaksanaan ini terdapat tahapan upaya paksa seperti pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat ( pasal 26 Perkap no 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana ) yang rentan terjadi gesekan konflik antara penyidik dengan tersangka/ keluarganya yang kemudian melahirkan upaya hukum yang dilakukan oleh pihak tersangka berupa gugatan pra peradilan. Maka hendaknya dalam melakukan upaya paksa pihak penyidik harus mengedepankan SOP yang berlaku sebagaimana yang telah diatur dalam Perkap dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta selalu berpedoman bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka sudah berdasarkan bukti permulaan yang cukup sehingga dapat dijadikan dasar untuk melakukan penyidikan dan menetapkan status tersangka terhadap seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana. Adapun bila dilihat pada ketentuan KUHAP yang mengatur mengenai kewenangan penyelidikan dan/atau kewenangan penyidikan dapat disimpulkan bahwa bukti permulaan yang cukup dapat terdiri atas keterangan (dalam proses penyelidikan), keterangan saksi, keterangan ahli [1](dalam proses penyidikan), barang bukti ( bukan alat bukti dan dalam proses penyelidikan dan penyidikan).
Dalam hal menentukan status tersangka hendaknya penyidik melaksanakan gelar perkara pada awal proses penyidikan yang membahas tentang tindak pidana yang sedang ditangani dan selanjutnya seiring berjalannya penyidikan kasus tindak pidana maka penyidik wajib melaksanakan kembali gelar perkara di pertengahan proses penyidikan dan gelar perkara pada saat akhir proses penyidikan sebagaimana termaktub dalam pasal 69 Perkap no. 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana. Hal ini juga merupakan wujud pengawasan dan pengendalian dari atasan penyidik terhadap kasus tindak pidana yang tengah ditangani oleh penyidik. Maka apabila SOP yang tercantum dalam UU no 8 tahun 1981 tentang KUHAP dan Perkap no. 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana dapat dilaksanakan secara konsisten dan professional diharapkan dapat meminimalisir adanya upaya hukum berupa gugatan praperadilan yang bisa saja diajukan oleh tersangka/ keluarganya ataupun melalui penasehat hukumnya kepada penyidik yang memeriksa suatu perkara.

D. KESIMPULAN
            Pada prinsipnya praperadilan merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh tersangka/ keluarganya ataupun melalui penasehat hukum yang ditunjuk terhadap penyidik yang menangani suatu perkara pidana, namun demikian praperadilan merupakan fasilitas yang diberikan oleh negara melalui lembaga pengadilan bagi seseorang sebagai warga negara untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap hak asasi yang melekat pada setiap insan manusia yang dianggap dilanggar sehingga diperlukan sebuah mekanisme hukum untuk memulihkan harkat dan martabat dari pemohon/ penggugat. Sehingga praperadilan bukanlah suatu proses yang harus ditakuti atau dikhawatirkan oleh aparat penegak hukum ( baca : penyidik ) dalam perjalanan proses penegakan hukum apabila penyidik sudah melakukan langkah-langkah penyidikan sesuai prosedur.

Daftar Pustaka

1. UU no 8 tahun 1981 tentang KUHAP.
2. UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3. UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
4. UU no 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasan Kehakiman.
5. Perkap no 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana.





[1] Dalam hal ini keterangan ahli bukan untuk menentukan apakah kasus yang sedang diperiksa merupakan suatu tindak pidana atau bukan, melainkan keterangan saksi ahli diambil hanya apabila ada petunjuk dari JPU berupa P-19  dan sebatas menerangkan segala sesuatu yang termasuk dalam lingkup keahliannya yang berhubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa dan hanya bersifat subjektif.