BAB I
PENDAHULUAN
Dalam menyelenggarakan
suatu pemerintahan tidak dapat luput dari peran administrasi, hal ini penting
karena fungsi administrasi ( bersama dengan manajemen ) merupakan salah satu infrastruktur
yang memiliki fungsi bersifat fundamental dalam menyelenggarakan sebuah
organisasi yang mana hal tersebut kemudian dalam level organisasi pemerintahan
menjadi sebuah hal penting yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan
nasional. Demi tercapainya masyarakat yang tentram, sejahtera, adil dan makmur sesuai
dengan cita-cita negara Indonesia maka peranan penyelengaraan fungsi keamanan
haruslah menjadi pilar utama dalam mewujudkan bangsa yang madani. Maka dari itu
dalam menyelenggarakan keamanan diperlukan sebuah tempat khusus didalam ruang
administrasi kenegaraan agar hendaknya penyelenggaraan fungsi keamanan dapat
menjadi suatu perhatian yang serius dalam fungsi pemerintahan sebuah negara
sehingga masyarakat dapat merasakan rasa aman dan tentram dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara baik secara struktural dan moral.
Administrasi adalah usaha dan kegiatan yang berkenaan
dengan penyelenggaraan kebijaksanaan untuk mencapai tujuan. Administrasi dalam
arti sempit adalah kegiatan yang meliputi: catat-mencatat, surat-menyurat,
pembukuan ringan, ketik-mengetik, agenda, dan sebagainya yang bersifat teknis
ketatausahaan. Administrasi dalam arti luas adalah seluruh proses kerja sama
antara dua orang atau lebih dalam mencapai tujuan dengan memanfaatkan sarana
prasarana tertentu secara berdaya guna dan berhasil guna.[1]
Jadi administrasi secara garis besar tidak bisa dilepaskan dari fungsi
manajemen dalam mencapai tujuan dari suatu organisasi.
Adapun pengertian administrasi kenegaraan atau biasanya
disebut dengan administrasi publik menurut ahli diantaranya Siagian (1989),
Hoessein (1997), dan Frederickson (1997) adalah seluruh proses, organisasi dan
individu sebagai pejabat sehubungan dengan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh badan legislatif, eksekutif dan peradilan.
Administrasi negara dijalankan oleh pemerintah dan memiliki tujuan utama pencapaian hasil berupa
pelayanan pada sektor publik, oleh karena itu disebut juga dengan administrasi
publik, yaitu administrasi yang dijalankan oleh pemerintah untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat atau publik dengan tidak mencari laba.
Administrasi kepolisian dapat dijabarkan dengan luas namun
pada hakikatnya sangat bergantung dari perkembangan politik dan sistem
pemerintahan sebuah negara. Baik dilihat dari sistem ketatanegaraan, sistem
pemerintahan, sistem pembentukan yang dipengaruhi sejarah dan budaya masyarakat
suatu negara dan sistem peraturan yang mengiringi kelangsungan negara tersebut.
Hal tersebut yang memperlihatkan keterkaitan antara administrasi kenegaraan
dengan administrasi kepolisian. Khusus menyangkut kepolisian, administrasi
kepolisian menangani pelaksanaan tugas kepolisian dan pelaksanaan kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan tindak criminal dan mencakupi hukum tentang
pelarangan atas berbagai tindakan, prosedur yang berkaitan dengan pelanggaran
hukum , serta pendekatan umum terhadap masalah criminal yang berkaitan dengan
pencegahan, penanggulangan, dan rehabilitasi ( Gary W. Cordner dalam Bayley:
1998 ).[2]
Administrasi kepolisian itu sendiri memiliki ruang lingkup
tugas dan bidangnya sehingga petugas polisi harus memperhatikan berbagai faktor
yang mencakup tujuan, tugas, sumber daya, struktur, budaya, manajemen, dan
lingkungan yang dijelaskan dibawah ini ( lihat Hoover, 1992 ). Adapun tujuan
utama dari Departemen Kepolisian adalah melindungi jiwa, property, dan menjaga
ketertiban umum. Salah satu tugas dasar administrator kepolisian adalah
menjamin bahwa berbagai aktivitas diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Prinsip
yang harus ditanamkan dalam organisasi adalah semangat dan tujuan oleh semua
anggota kepolisian.[3]
a. Tugas (task),
administrator harus merancang tugas yang jelas untuk mencapai tujuan tersebut.
Secara tradisional, tiga kategori tugas polisi adalah operasi, administrasi dan
pelayanan.
b. Sumber Daya
(Resource), administrator polisi harus mampu sekaligus dapat menggunakan secara
bijaksana berbagai sumber daya yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas demi
tercapainya tujuan.
c. Struktur
(structure), dengan adanya karyawan yang ditempatkan untuk memberikan
kontribusi dalam pencapaian tujuan, organisasi kepolisian memerlukan struktur
untuk memandu pelaksanaan tugas itu, yg meliputi hierarki, distribusi
kewenangan, deskripsi tugas, kebijakan, prosedur, aturan dan peraturan.
Administrator harus menciptakan suatu kerangka kerja yg mengarahkan struktur
dan organisasi ke berbagai tugas yg harus dilakukan, baik polisi yg bertugas
dlm bidang pembinaan maupun operasional.
d. Budaya (culture)
administrator kepolisian harus dapat membentuk budaya organisasi yang
menumbuhkan perilaku yang patut sekaligus menghancurkan perilaku tak patut.
e. Manajemen (Management),
administrator polisi juga harus menyediakan suatu bentuk manajemen dalam kepolisian,
manajemen dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan, mengawasi karyawan, dan secara
umum untuk menjaga departemen pada garis haluannya.
f. Lingkungan
(Enviromental), tujuan departemen kepolisian sebagian ditentukan oleh komunitas
dan proses politik, anggaran ditentukan oleh proses politik, karyawan yang
direkrut berasal dan tinggal di dunia luar, pelaksanaan tugas polisi dilakukan
dalam masyarakat, dan lain-lain. Salah satu tugas administrator adalah mengatur
interaksi departemen kepolisian dengan lingkungan sekitarnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Era reformasi telah
menyebabkan berbagai dampak yang cukup signifikan dalam berbagai bidang
kehidupan termasuk penyelenggaraan pemerintahan yang kerap mendapat intervensi
publik melalui suara rakyat demi menuntut kehidupan berbangsa dan bernegara
yang lebih baik dibandingkan era pemerintahan sebelumnya. Suatu ciri khas dari
negara berkembang dimana fenomena akan hak asasi manusia, kebebasan
berpendapat, penegakan hukum, transparansi dan pemberantasan rezim KKN mewarnai
setiap langkah politik yang diterapkan oleh pemerintah kita. Termasuk Polri
sebagai lembaga penyelenggara keamanan yang dituntut untuk selalu sesuai dengan
keinginan masyarakat tanpa melepaskan kewajiban dan prosedur yang telah diikat
dalam bentuk Undang-undang yang pelaksanaannya kerap menjadi sorotan publik. Disatu
sisi rakyat ingin Polisi selalu disisi mereka, melindungi dan mengayomi sesuai
dengan tugas pokok dari Polri, namun disisi lain rakyat bisa berubah mnjadi
oposisi bagi lembaga yang menjaga mereka apabila kebijakan dalam supremasi
hukum yang diterapkan oleh pemerintah melalui Polri ( meski pada kenyataannya sesuai
dengan undang-undang dan hukum ) berlawanan dengan kehendak rakyat.
Salah satu contoh kasus yang menggambarkan keterkaitan erat antara administrasi kepolisian dengan
administrasi negara adalah dalam mekanisme pemilihan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia pasca kepemimpinan Jendral Polisi Sutarman. Dimana Polri memiliki
calon tunggal yang sudah melalui proses fit and proper test di tingkat DPR
yakni Kalemdikpol ( saat dicalonkan ) Komisaris Jendral Budi Gunawan. Hal ini
kemudian mendapat pertentangan dari masyarakat Indonesia terutama pemerhati
korupsi dimana secara tiba-tiba Komjen Budi Gunawan ditetapkan sebagai
tersangka oleh KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ) sehingga proses pencalonan
Komjen BG menjadi terhambat oleh penetapan tersangka oleh KPK tersebut.
Hal tersebut tentu saja menjadi polemik karena Komjen BG
adalah calon tunggal Presiden RI yang didukung Komisi III DPR setelah melalui fit
and proper test untuk menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
menggantikan Jendral Polisi Sutarman. Kemudian Komjen BG pada periode 2
Februari 2015 melakukan langkah hukum dengan menggugat penetapan tersangka oleh
KPK melalui proses pra peradilan yang belakangan tepatnya pada 16 Februari 2015
gugatan dimenangkan oleh Komjen BG karena ternyata menurut hakim yang memimpin sidang
tersebut bahwa penetapan BG sebagai tersangka tidak sah dan tidak bersifat
mengikat secara hukum.[4]
Namun demikian setelah melalui proses hukum yang panjang
dan melalui pertimbangan sosiologis dan yuridis akhirnya Komjen BG batal
dilantik menjadi Kapolri meski secara segi yuridis Komjen BG memenangkan
gugatan pra peradilan dan dinyatakan tidak bersalah sesuai dengan aturan hukum
yang berlaku. Akan tetapi pertimbangan sosiologis-lah yang membuat Komjen BG
batal maju ke tampuk pimpinan tertinggi Polri hal itu juga dilakukan atas
pertimbangan menjaga nama baik institusi kepolisian sebagai lembaga keamanan
negara. Sehingga kemudian Wakapolri Komjen Badrodin Haiti ditunjuk untuk
menjadi PLT Kapolri hingga ada Kapolri baru yang definitive. Mengapa perlu
pertimbangan sosiologis? Dan mengapa begitu besar peran DPR dalam menentukan
siapa yang layak untuk menjadi Kapolri? Hal tersebut sesuai dalam Tap MPR RI No.VI/MPR/2000 dan Tap
MPR RI No.VII/MPR/2000 yang kemudian diatur lebih lanjut dengan UU no. 2 tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dimana Polri merupakan alat
negara dengan tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat. Selain tugas pokok tersebut, Polri juga melaksanakan tugas bantuan.[5] Dukungan
administrasi pemerintahan terhadap Polri diberikan dalam hubungan berupa keterkaitan
berbagai unsur seperti suprastruktural, struktural, substruktural dan
infrastruktural. Sedangkan manajemen pemerintahan negara memberi dukungan dalam
bentuk proses implementasi kegiatan-kegiatan pada masing-masing struktur
terutama dalam lingkungan unsur struktural dan substruktural. Unsur
suprastruktural Polri ditampilkan dengan adanya lembaga-lembaga Polri dan
jabatan-jabatan dalam Polri yang semuanya memerlukan dukungan administrasi
pemerintahan negara atau dukungan administrasi negara dalam pengertian yang
sangat luas. Unsur infrastruktural Polri terdiri dari personil Polri yang duduk
dalam lembaga-lembaga negara dan jabatan-jabatan negara yang tentu saja
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan proses administrasi negara dalam
rangka penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan negara. Perumusan
dan penetapan kebijaksanaan pemerintahan dilaksanakan dalam hubungan antara
pemerintah dan pihak-pihak lain di luar pemerintah sesuai dengan kekuasaan,
kewenangan dan kewibawaan yang melekat pada pemerintah negara untuk mengatur
berbagai aspek kehidupan pihak-pihak lain yang memang perlu dan memang terdapat
kemampuan itu pada pemerintah untuk melakukannya. Dalam konteksnya pada UU No.2
tahun 2002, pada administrasi kepolisian diuraikan tentang diaturnya lembaga
kepolisian nasional yang tugasnya memberikan saran kepada Presiden tentang arah
kebijakan kepolisian dan pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian
Kapolri sesuai amanat Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000, selain terkandung pula
fungsi pengawasan fungsional terhadap kinerja Polri sehingga kemandirian dan
profesionalisme Polri dapat terjamin.
Hal diatas menggambarkan betapa erat kaitannya antara
hubungan administrasi kenegaraan dengan administrasi kepolisan sebagai contoh
kasus dalam mekanisme pemilihan calon Kapolri dimana Komjen BG sebagai calon
tunggal Kapolri meski merupakan calon tunggal Presiden Jokowi dan sudah melalui
mekanisme uji kelayakan di DPR, Komjen BG menerima dengan ikhlas untuk
keputusan dirinya batal dicalonkan sebagai calon Kapolri atas dasar
pertimbangan sosiologis. Hal ini menunjukkan bahwa peran rakyat melalui
wakilnya yang duduk di dewan ikut mempengaruhi proses mekanisme penunjukkan
seorang calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Akan tetapi patut
diketahui bersama bahwa hal ini tidak serta merta mempengaruhi seluruh
mekanisme administrasi kepolisian dalam hal mutasi jabatan pimpinan Polri,
hanya terbatas pada pemilihan Kapolri saja. Sebagai contoh, pemilihan calon
Wakapolri adalah hak prerogative Kapolri yang dilakukan melalui proses sidang
internal yang dikenal dengan Wanjakti, jadi siapapun calon yang dipilih oleh
Kapolri definitive untuk menjadi Wakapolri selaku pembantu Kapolri dalam
melaksanakan tugas pimpinan Polri adalah merupakan keputusan internal Polri yang
tidak dapat diganggu gugat atau di intervensi oleh pihak luar.
BAB III
KESIMPULAN
Administrasi negara umumnya diartikan sebagai keseluruhan
proses penyelenggaraan kegiatan pemerintahan negara menuju tercapainya apa yang
menjadi tujuan negara dan terlaksananya tugas-tugas bersama negara, pemerintah
dan seluruh masyarakat bagi terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang
adil dan makmur, maju dan sejahtera. Administrasi yang mengandung aspek-aspek
kelembagaan, kepegawaian, ketatalaksanaan dan sarana serta fasilitas kerja
berlaku juga untuk administrasi kepolisian negara republik Indonesia. Karena hal
tersebut saling berkaitan erat dimana administrasi kepolisian adalah bagian
dari administrasi negara dan system kepolisian suatu negara sangat terpengaruh
dan bergantung dari bagaimana system pemerintahan suatu negara itu sendiri berjalan.
Dalam menjalankan roda pemerintahan tidak lepas dari yang namanya manajemen dan
administrasi. Maka menjasi jelas dalam hal manajemen yang merupakan proses atau
kemampuan mencapai tujuan dengan memanfaatkan sumber-sumber daya manusia dan bukan
manusia dalam satu organisasi berlaku pula untuk manajemen Polri. Jadi semakin jelaslah
adanya hubungan antara administrasi pemerintahan dengan tugas pokok Polri
sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat serta aparatur pemerintah
dalam hal penegakan hukum dan pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Undang-Undang No.2 Tahun 2002, tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2. Djamin, Awaloedin. Mei 2011. Sistem Administrasi Kepolisian.
Jakarta : YPKIK ( Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian ).
3. http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi.
Tgl akses : 12 April 2015 pukul 19.00 WIB.
4. http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_bg_kpk.
Tgl akses: 12 April 2015 pukul 19.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar