Kasie Juntrad

Kasie Juntrad
I was a cadet

Selasa, 17 Februari 2015

Analisa Perspektif Tentang Usaha Ratifikasi Statuta Roma di Indonesia


BAB I

PENDAHULUAN

            Indonesia sebagai negara demokratis yang terdiri dari keanekaragaman suku bangsa, budaya dan norma juga adat istiadat di berbagai wilayah kepulauan negara Indonesia adalah kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya, namun dibalik keindahan pluralitas tersebut maka tersimpan kerawanan konflik yang sarat melibatkan suku, agama dan ras. Beberapa kejadian penting yang menggambarkan konflik hingga jatuh korban diantaranya tercantum dalam coretan sejarah seperti era tanam paksa zaman kolonial Belanda dibawah pimpinan Jendral Van den Bosch, era Westerling di Sulawesi Selatan, hingga tragedi 1965 sebagai ekses berkepanjangan dari “tragedi pemberontakan G-30-S/PKI” dimana militer “membumi hanguskan” golongan yang dianggap sebagai antek-antek PKI. Tragedi kerusuhan 1998 di Jakarta sebagai efek krisis moneter yang melanda yang berujung tragis pada pengrusakan, pemerkosaan, pembantaian kepada etnis keturunan Tionghoa yang dianggap sebagai penggerak perekonomian utama bangsa Indonesia dan dituding untuk bertanggung jawab atas morat-maritnya kondisi perekonomian negara kita pada saat itu. Hingga di awal tahun 2001 lahir kerusuhan Sampit di Kalimantan Barat yang mana terjadi pertikaian suku yang hebat antara Dayak melawan Madura yang mengakibatkan korban umat manusia berjatuhan dalam jumlah besar.
            Kasus –kasus tersebut dapat digolongkan sebagai Genosida atau sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut[1]. Kasus genosida termasuk salah satu dari empat pelanggaran HAM berat selain kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan agresi dan kejahatan perang. Genosida adalah kejahatan terhadap HAM yang masuk ke dalam yurisdiksi International Criminal Court.
            Berbicara tentang ICC yang merupakan suatu lembaga independen berlevel internasional yang bertujuan untuk mengadili pelaku kejahatan kemanusiaan maka tidak terlepas dari MOU bersama yang disahkan oleh 120 negara di seluruh dunia untuk membentuk suatu pengadilan pidana internasional demi memperjuangkan hak asasi manusia yang sejatinya telah mengalami tekanan dalam berbagai bentuk baik verbal maupun lisan disertai kekerasan fisik yang secara global sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia dalam memperjuangkan haknya sehingga pada tanggal 17 Juli 1998 telah disepakati lahirnya Statuta Roma. Dengan meratifikasi Statuta Roma maka secara otomatis juga mengakui eksistensi dari ICC sehingga proses legislasi harus dilakukan agar Statuta Roma menjadi hukum nasional. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah perlu Indonesia meratifikasi Statuta Roma dan melakukan aksesi untuk mengadopsinya guna dijadikan hukum nasional? Maka hal tersebut menjadi topik pembahasan oleh penulis.

BAB II

PEMBAHASAN

            Statuta Roma adalah suatu kesepakatan bersama yang dibentuk pada tahun 1998 oleh United Nations Diplomatics Conference of Pleniopotentiaries on Establishment of an International Criminal Court untuk membentuk pengadilan pidana internasional yang permanen dan independen khusus untuk mengadili para penjahat perang, individu pelanggar hak asasi manusia dan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. ICC berkedudukan di negara Belanda tepatnya di kota Den Haag. Melalui pengadilan ini, masyarakat dunia berharap bahwa pelanggar HAM, pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan penjahat perang dapat diadili dengan sepantasnya dan terhidar dari praktek impunitas atau suatu keadaan dimana seseorang atau lembaga tidak dapat dipidana atau terbebas dari dakwaan pelanggaran HAM yang dituduhkan kepadanya[2]. Indonesia sendiri hingga saat ini belum meratifikasi Statuta Roma kedalam hukum nasional namun demikian Indonesia memiliki UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU no 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pengejawantahan dan eksistensi terhadap perlindungan HAM di Indonesia tentunya sudah diupayakan oleh penyelenggara negara melalui kedua UU tersebut. Namun demikian timbul pertanyaan dari pemerhati HAM kenapa hanya sampai disitu? Apakah kedua UU yang telah dibentuk itu cukup dalam mengakomodir dan menuntaskan berbagai permasalahan terkait pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia? Hal inilah yang bagi sebagian besar aktivis dan pihak yang berkecimpung di organisasi hak asasi manusia menjadi pendorong untuk mendesak pemerintah segera meratifikasi statuta roma dan mengkodifikasikannya kedalam hukum nasional. Melalui tulisan ini saya mencoba menyampaikan kepada pembaca bahwasanya meski secara tersurat Indonesia bukan termasuk menjadi negara yang meratifikasi statuta roma namun tersirat secara regulasi yang bersifat domestik Indonesia secara tidak langsung telah mengadopsi beberapa ketentuan dalam Statuta Roma. Hal yang perlu diperhatikan menurut saya adalah dampak positif dan negatif dari meratifikasi Statuta Roma dilihat dari eksistensi kedaulatan Negara Republik Indonesia di kancah Internasional. Jika ratifikasi dilakukan maka dampak positif diantaranya Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia semakin menonjolkan eksistensinya terhadap HAM tidak hanya di lingkup dalam negeri melainkan juga di level internasional dan hal ini pastinya akan mendapatkan pengakuan dari luar negeri. Dengan diratifikasinya Statuta Roma maka implementasi penegakan hukum hak asasi manusia diharapkan akan terjamin dan seiring dengan hal tersebut berbagai kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dapat diproses secara hukum yang prosedural, tanpa pandang bulu juga mengedepankan asas-asas hukum dan kenegaraan. Namun apakah semudah itu dalam mencapai kondisi ideal yang diharapkan ? perlu diingat kembali bahwa Statuta Roma hanya efektif mengacu pada penindakan terhadap kasus kejahatan terhadap  hak asasi manusia di negara anggotanya yang dinilai “unwilling” dan ‘unable” yang lebih dikenal dengan “the principle of complementary” dimana dikala suatu negara dinilai tidak mampu atau tidak mau menangani dengan serius pelanggaran HAM yang terjadi di yurisdiksinya, maka ICC mengambil alih.
Pengadilan HAM internasional/ ICC akan melakukan seluruh tahap yang diperlukan dari investigasi hingga mengadili pelaku kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi Statuta Roma.
Berkaitan dengan hal tersebut definisi “unwilling” dan “unable” patut menjadi perhatian karena kaitannya erat dengan kesanggupan dan kesediaan suatu negara mengadili pelaku pelanggar HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Apabila predikat “unwilling” dan “unable” tersebut sudah melekat pada predikat suatu negara dan ICC mengambil alih, maka kedaulatan negara tersebut menjadi dipertanyakan. Indonesia sejatinya adalah negara berdaulat yang memiliki regulasi hukum yang diatur dalam Undang Undang dan negara kita juga memiliki komisi yang bergerak di bidang hak asasi manusia, kita juga memiliki system peradilan HAM yang bersifat ad hoc. Sejarah kelam berbagai tragedi yang berkaitan dengan kasus pelanggaran HAM selalu diproses secara hukum mesti pada kenyataan perkembangan dinamika proses hukum banyak kasus pelanggaran HAM yang belum tertuntaskan, yang saya tekankan disini adalah wadah regulasi hukum yang menangani pelanggaran HAM sudah ada dan cukup baik mencakup semua tentang aturan hukum terhadap pelanggaran HAM dan sistem peradilan, hanya yang perlu diatensi adalah proses dari penegakan hukum itu sendiri dan sumber daya manusianya dari faktor mentalitas dan efektivitas. Apakah Statuta Roma benar-benar menjadi suatu urgensi untuk segera diratifikasi? Mengingat Indonesia bukan negara yang menandatangani Statuta Roma dan apabila negara kita ingin meratifikasi maka tidak hanya sampai disitu, pada saat pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri telah dibentuk suatu Keputusan Presiden yang disinyalir sebagai lampu hijau untuk Indonesia melakukan aksesi terhadap Statuta Roma namun hingga saat ini belum ada realisasi dari usaha lanjut untuk meratifikasi Statuta Roma hal ini lebih dikarenakan perlunya pengkajian lebih mendalam terhadap Statuta Roma oleh Departemen Luar Negeri karena dinilai beberapa komponen isinya belum dapat diterapkan di sistem hukum negara kita.
  
BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ratifikasi Statuta Roma hendaknya perlu ditinjau lebih lanjut tidak hanya dari segi hubungan internasional, namun demikian juga dari segi politis di level internasional. Indonesia memang bisa melakukan aksesi sebagai wujud dari aksi formal sebagai pihak yang menyetujui terhadap suatu perjanjian internasional karena Indonesia bukan termasuk penandatangan dalam Statuta Roma, namun apakah aksesi perlu dilakukan mengingat proses kodifikasi dirasa hampir tidak perlu karena Indonesia sudah memiliki dua aturan hukum berwujud Undang-undang yakni UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU no 26 tahun 2000 tentang peradilan HAM sudah eksis dan berlaku di Indonesia. Hanya disini diperlukan suatu tinjauan terhadap konsistensi para penegak hukum mengingat regulasi sudah tersedia namun kepastian hukum dari berbagai kasus pelanggaran HAM yang ada belum tertuntaskan. Hal ini bukanlah menjadi acuan bahwa dengan masyarakat sanksi terhadap legalitas yang sudah ada di Republik Indonesia dalam perlindungan Ham lalu kemudian kita merasa bahwa dengan meratifikasi statuta roma adalah jawaban dari segala permasalahan yang ada di Indonesia tanpa mempertimbangkan segi politis kedudukan negara kita di level internasional dimana kapan saja kedaulatan negara bisa di intervensi akibat penilaian masyarakat internasional yang tergabung dalam ICC terhadap “unwilling” atau “unable” dalam penanganan kasus pelanggaran Ham yang terjadi di Indonesia. Seharusnya negara kita bisa menyelesaikan permasalahan domestik dengan mandiri tanpa adanya intervensi berupa desakan dari negara internasional karena hal tersebut merupakan wujud kedaulatan negara kita dan tidak seharusnya kita membiarkan urusan rumah tangga dalam negeri kita dicampuri oleh negara lain karena dapat mengganggu stabilitas  negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam tulisan ini penulis berharap peninjauan lebih lanjut terhadap usaha untuk meratifikasi Statuta Roma, dan apabila dilakukan perubahan atau amandemen terhadap peraturan ataupun regulasi yang telah ada yang khusus mengatur tentang pelanggaran HAM seperti UU no 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU no 26 tahun 2000 tentang peradilan HAM maka itu lebih baik bila dibandingkan dengan melakukan ratifikasi atau aksesi terhadap Statuta Roma.


DAFTAR ISI
1.    UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
2.    UU no 26 tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia.
3.    Wikipedia.
4.    Kamus Besar Bahasa Indonesia Online.
5.    http://www.bahasaindonesia.net/impunitas, tanggal akses : 10 February, 2015.





[1] Wikipedia / Genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europeyang diterbitkan di Amerika Serikat
[2] Impunitas : n keadaan tidak dapat dipidana, nirpidana. Arti, definisi, pengertian impunitas, http://www.bahasaindonesia.net/impunitas, tanggal akses : 10 February, 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar