BAB
I
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara demokratis yang terdiri dari
keanekaragaman suku bangsa, budaya dan norma juga adat istiadat di berbagai
wilayah kepulauan negara Indonesia adalah kekayaan bangsa yang tidak ternilai
harganya, namun dibalik keindahan pluralitas tersebut maka tersimpan kerawanan
konflik yang sarat melibatkan suku, agama dan ras. Beberapa kejadian penting
yang menggambarkan konflik hingga jatuh korban diantaranya tercantum dalam
coretan sejarah seperti era tanam paksa zaman kolonial Belanda dibawah pimpinan
Jendral Van den Bosch, era Westerling di Sulawesi Selatan, hingga tragedi 1965
sebagai ekses berkepanjangan dari “tragedi pemberontakan G-30-S/PKI” dimana
militer “membumi hanguskan” golongan yang dianggap sebagai antek-antek PKI.
Tragedi kerusuhan 1998 di Jakarta sebagai efek krisis moneter yang melanda yang
berujung tragis pada pengrusakan, pemerkosaan, pembantaian kepada etnis
keturunan Tionghoa yang dianggap sebagai penggerak perekonomian utama bangsa
Indonesia dan dituding untuk bertanggung jawab atas morat-maritnya kondisi
perekonomian negara kita pada saat itu. Hingga di awal tahun 2001 lahir
kerusuhan Sampit di Kalimantan Barat yang mana terjadi pertikaian suku yang
hebat antara Dayak melawan Madura yang mengakibatkan korban umat manusia
berjatuhan dalam jumlah besar.
Kasus –kasus tersebut dapat
digolongkan sebagai Genosida atau sebuah pembantaian besar-besaran secara
sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan
(membuat punah) bangsa tersebut[1].
Kasus genosida termasuk salah satu dari empat pelanggaran HAM berat selain
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan agresi dan kejahatan perang. Genosida
adalah kejahatan terhadap HAM yang masuk ke dalam yurisdiksi International
Criminal Court.
Berbicara tentang ICC yang merupakan
suatu lembaga independen berlevel internasional yang bertujuan untuk mengadili
pelaku kejahatan kemanusiaan maka tidak terlepas dari MOU bersama yang disahkan
oleh 120 negara di seluruh dunia untuk membentuk suatu pengadilan pidana internasional
demi memperjuangkan hak asasi manusia yang sejatinya telah mengalami tekanan
dalam berbagai bentuk baik verbal maupun lisan disertai kekerasan fisik yang
secara global sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia dalam
memperjuangkan haknya sehingga pada tanggal 17 Juli 1998 telah disepakati
lahirnya Statuta Roma. Dengan meratifikasi Statuta Roma maka secara otomatis
juga mengakui eksistensi dari ICC sehingga proses legislasi harus dilakukan
agar Statuta Roma menjadi hukum nasional. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah
perlu Indonesia meratifikasi Statuta Roma dan melakukan aksesi untuk
mengadopsinya guna dijadikan hukum nasional? Maka hal tersebut menjadi topik
pembahasan oleh penulis.
BAB
II
PEMBAHASAN
Statuta Roma adalah suatu kesepakatan bersama yang
dibentuk pada tahun 1998 oleh United Nations Diplomatics Conference of
Pleniopotentiaries on Establishment of an International Criminal Court untuk
membentuk pengadilan pidana internasional yang permanen dan independen khusus
untuk mengadili para penjahat perang, individu pelanggar hak asasi manusia dan
pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. ICC berkedudukan di negara Belanda tepatnya
di kota Den Haag. Melalui pengadilan ini, masyarakat dunia berharap bahwa pelanggar
HAM, pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan penjahat perang dapat diadili
dengan sepantasnya dan terhidar dari praktek impunitas atau suatu keadaan
dimana seseorang atau lembaga tidak dapat dipidana atau terbebas dari dakwaan
pelanggaran HAM yang dituduhkan kepadanya[2].
Indonesia sendiri hingga saat ini belum meratifikasi Statuta Roma kedalam hukum
nasional namun demikian Indonesia memiliki UU no 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dan UU no 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pengejawantahan dan eksistensi terhadap perlindungan HAM di Indonesia tentunya
sudah diupayakan oleh penyelenggara negara melalui kedua UU tersebut. Namun
demikian timbul pertanyaan dari pemerhati HAM kenapa hanya sampai disitu?
Apakah kedua UU yang telah dibentuk itu cukup dalam mengakomodir dan
menuntaskan berbagai permasalahan terkait pelanggaran HAM berat yang terjadi di
Indonesia? Hal inilah yang bagi sebagian besar aktivis dan pihak yang
berkecimpung di organisasi hak asasi manusia menjadi pendorong untuk mendesak
pemerintah segera meratifikasi statuta roma dan mengkodifikasikannya kedalam
hukum nasional. Melalui tulisan ini saya mencoba menyampaikan kepada pembaca
bahwasanya meski secara tersurat Indonesia bukan termasuk menjadi negara yang
meratifikasi statuta roma namun tersirat secara regulasi yang bersifat domestik
Indonesia secara tidak langsung telah mengadopsi beberapa ketentuan dalam
Statuta Roma. Hal yang perlu diperhatikan menurut saya adalah dampak positif
dan negatif dari meratifikasi Statuta Roma dilihat dari eksistensi kedaulatan
Negara Republik Indonesia di kancah Internasional. Jika ratifikasi dilakukan
maka dampak positif diantaranya Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi
hak asasi manusia semakin menonjolkan eksistensinya terhadap HAM tidak hanya di
lingkup dalam negeri melainkan juga di level internasional dan hal ini pastinya
akan mendapatkan pengakuan dari luar negeri. Dengan diratifikasinya Statuta Roma
maka implementasi penegakan hukum hak asasi manusia diharapkan akan terjamin
dan seiring dengan hal tersebut berbagai kasus kejahatan terhadap kemanusiaan
dapat diproses secara hukum yang prosedural, tanpa pandang bulu juga
mengedepankan asas-asas hukum dan kenegaraan. Namun apakah semudah itu dalam
mencapai kondisi ideal yang diharapkan ? perlu diingat kembali bahwa Statuta Roma
hanya efektif mengacu pada penindakan terhadap kasus kejahatan terhadap hak asasi manusia di negara anggotanya yang
dinilai “unwilling” dan ‘unable” yang lebih dikenal dengan “the principle of complementary” dimana
dikala suatu negara dinilai tidak mampu atau tidak mau menangani dengan serius
pelanggaran HAM yang terjadi di yurisdiksinya, maka ICC mengambil alih.
Pengadilan HAM
internasional/ ICC akan melakukan seluruh tahap yang diperlukan dari investigasi
hingga mengadili pelaku kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi Statuta Roma.
Berkaitan dengan
hal tersebut definisi “unwilling” dan
“unable” patut menjadi perhatian
karena kaitannya erat dengan kesanggupan dan kesediaan suatu negara mengadili pelaku
pelanggar HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Apabila predikat “unwilling” dan “unable” tersebut sudah melekat pada predikat suatu negara dan ICC
mengambil alih, maka kedaulatan negara tersebut menjadi dipertanyakan.
Indonesia sejatinya adalah negara berdaulat yang memiliki regulasi hukum yang
diatur dalam Undang Undang dan negara kita juga memiliki komisi yang bergerak
di bidang hak asasi manusia, kita juga memiliki system peradilan HAM yang
bersifat ad hoc. Sejarah kelam berbagai tragedi yang berkaitan dengan kasus
pelanggaran HAM selalu diproses secara hukum mesti pada kenyataan perkembangan
dinamika proses hukum banyak kasus pelanggaran HAM yang belum tertuntaskan,
yang saya tekankan disini adalah wadah regulasi hukum yang menangani pelanggaran
HAM sudah ada dan cukup baik mencakup semua tentang aturan hukum terhadap
pelanggaran HAM dan sistem peradilan, hanya yang perlu diatensi adalah proses
dari penegakan hukum itu sendiri dan sumber daya manusianya dari faktor
mentalitas dan efektivitas. Apakah Statuta Roma benar-benar menjadi suatu
urgensi untuk segera diratifikasi? Mengingat Indonesia bukan negara yang
menandatangani Statuta Roma dan apabila negara kita ingin meratifikasi maka tidak
hanya sampai disitu, pada saat pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri
telah dibentuk suatu Keputusan Presiden yang disinyalir sebagai lampu hijau
untuk Indonesia melakukan aksesi terhadap Statuta Roma namun hingga saat ini
belum ada realisasi dari usaha lanjut untuk meratifikasi Statuta Roma hal ini
lebih dikarenakan perlunya pengkajian lebih mendalam terhadap Statuta Roma oleh
Departemen Luar Negeri karena dinilai beberapa komponen isinya belum dapat
diterapkan di sistem hukum negara kita.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan
bahwa ratifikasi Statuta Roma hendaknya perlu ditinjau lebih lanjut tidak hanya
dari segi hubungan internasional, namun demikian juga dari segi politis di
level internasional. Indonesia memang bisa melakukan aksesi sebagai wujud dari
aksi formal sebagai pihak yang menyetujui terhadap suatu perjanjian
internasional karena Indonesia bukan termasuk penandatangan dalam Statuta Roma,
namun apakah aksesi perlu dilakukan mengingat proses kodifikasi dirasa hampir
tidak perlu karena Indonesia sudah memiliki dua aturan hukum berwujud
Undang-undang yakni UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU no 26 tahun
2000 tentang peradilan HAM sudah eksis dan berlaku di Indonesia. Hanya disini
diperlukan suatu tinjauan terhadap konsistensi para penegak hukum mengingat
regulasi sudah tersedia namun kepastian hukum dari berbagai kasus pelanggaran
HAM yang ada belum tertuntaskan. Hal ini bukanlah menjadi acuan bahwa dengan
masyarakat sanksi terhadap legalitas yang sudah ada di Republik Indonesia dalam
perlindungan Ham lalu kemudian kita merasa bahwa dengan meratifikasi statuta
roma adalah jawaban dari segala permasalahan yang ada di Indonesia tanpa
mempertimbangkan segi politis kedudukan negara kita di level internasional
dimana kapan saja kedaulatan negara bisa di intervensi akibat penilaian
masyarakat internasional yang tergabung dalam ICC terhadap “unwilling” atau “unable” dalam penanganan kasus pelanggaran Ham yang terjadi di
Indonesia. Seharusnya negara kita bisa menyelesaikan permasalahan domestik
dengan mandiri tanpa adanya intervensi berupa desakan dari negara internasional
karena hal tersebut merupakan wujud kedaulatan negara kita dan tidak seharusnya
kita membiarkan urusan rumah tangga dalam negeri kita dicampuri oleh negara
lain karena dapat mengganggu stabilitas
negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam tulisan ini
penulis berharap peninjauan lebih lanjut terhadap usaha untuk meratifikasi
Statuta Roma, dan apabila dilakukan perubahan atau amandemen terhadap peraturan
ataupun regulasi yang telah ada yang khusus mengatur tentang pelanggaran HAM
seperti UU no 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU no 26 tahun 2000 tentang
peradilan HAM maka itu lebih baik bila dibandingkan dengan melakukan ratifikasi
atau aksesi terhadap Statuta Roma.
DAFTAR ISI
1.
UU
no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
2.
UU
no 26 tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia.
3.
Wikipedia.
4.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia Online.
5.
http://www.bahasaindonesia.net/impunitas,
tanggal akses : 10 February, 2015.
[1] Wikipedia / Genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian
besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku
bangsa atau
kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali
digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis
Rule in Occupied Europeyang
diterbitkan di Amerika
Serikat
[2]
Impunitas : n keadaan tidak dapat dipidana, nirpidana. Arti, definisi, pengertian
impunitas, http://www.bahasaindonesia.net/impunitas, tanggal akses
: 10 February, 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar