Kasie Juntrad

Kasie Juntrad
I was a cadet

Rabu, 27 Mei 2015

STRATEGI PENCEGAHAN DALAM STUDI KASUS PENYERANGAN MAKO POLSEK LIMUN DI PROVINSI JAMBI

BAB I

PENDAHULUAN

Penyerangan mako Polsek Limun di wilayah hukum Polres Sarolangun, Provinsi Jambi sempat menghebohkan masyarakat Indonesia terkait pemberitaan di media massa apalagi hal tersebut disinyalir akibat kelalaian aparat saat melakukan penyelidikan terkait kasus narkoba yang mengakibatkan seorang pemuda tewas tertembak, sehingga memicu konflik berkepanjangan yang berujung pada dibakarnya mako Polsek Limun oleh sekelompok warga yang merasa tidak puas dan kecewa atas tindakan aparat Polsek Limun yang dinilai tidak bertanggung jawab atas tewasnya pemuda dari kampung mereka. Maka dari itu penulis mencoba membuat makalah singkat mengenai kasus tersebut ditinjau dari segi pencegahan khususnya strategi yang digunakan, langkah-langkah yang harus dilakukan ketika terjadi hal demikian dan yang terakhir adalah strategi apa yang digunakan apabila kejadian tersebut terulang kembali.

 Adapun yang menjadi dasar dari penulis dalam menulis langkah dan strategi sesuai yang tercantum dalam aturan yang ada di kepolisian khususnya Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 6 tahun 2005 tentang Pedoman Tindakan Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Penggunaan Kekuatan Kepolisian dan Juklap Kapolri nomor : Juklap/ 13/ III/ 1997 tanggal 26 Maret 1997 tentang Penanggulangan Serangan Fisik Terhadap Markas Kepolisian Negara Republik Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

  Deteksi dini adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh pengemban fungsi kepolisian di tingkat Polsek dan Polres, fungsi intelijen sebagai pelaksana early warning system memiliki kinerja yang sifatnya continue dan actual untuk menyajikan informasi sesuai fakta di lapangan mengenai apa yang terjadi di wilayah hukumnya. Informasi inilah yang nantinya akan diolah untuk disajikan sebagai laporan informasi kepada pimpinan terkait situasi keamanan dan ketertiban dalam masyarakatnya. Under estimate terhadap suatu peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat apalagi terkait dengan dampak dari suatu kegiatan kepolisian baik itu sebelum ataupun sesudah merupakan kesalahan fatal yang harus dihindari. Apabila deteksi dini/ early warning berjalan sebagaimana mestinya maka pimpinan di tingkat Polsek atau Polres diharapkan dapat membuat keputusan yang sifatnya menguntungkan bagi organisasi dalam hal ini kepolisian, apabila keputusan salah atau terlambat dibuat, maka akan berdampak fatal seperti kasus ini, pembakaran terhadap markas komando Polsek Limun oleh sekelompok massa yang tidak puas akan tindakan aparat di lapangan.

Deteksi dini yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya pengrusakan mako akibat dari ekses tindakan kepolisian yang rawan konflik seperti kasus Polsek Limun dapat dimulai dari langkah :
1. Memahami tipikal warga setempat dan memahami kejadian sejarah konflik yang pernah terjadi antara warga setempat dengan aparat hukum serta bagaimana langkah antisipasinya.
2. Membuat mapping konflik yang pernah terjadi dan bagaimana tahapan proses penyelesaiannya.
3. Memahami intel dasar dan melakukan penggalangan dengan tokoh agama, tokoh masyarakat dan perangkat desa setempat.
4. Ditingkat Polres hendaknya membuat SOP tentang langkah kontijensi yang dilakukan oleh personil beserta jajaran Polsek apabila menghadapi konflik dengan massa setempat dan membuat TR ke jajaran untuk melatihkan situasi kontijensi dengan membuat laporan hasil pelaksanaan kepada pimpinan.

Adapun bila konflik sudah terjadi antara petugas kepolisan dengan massa maka :
1. Laporan mengenai informasi actual yang disajikan kepada pimpinan harus apa adanya dan tidak boleh under estimate serta harus berjalan secara continue.
2. Segera meminta kompi bantuan dari jajaran Polres dan Brimob Polda setempat termasuk permintaan ambulance.
3. Berkoordinasi dengan instansi samping seperti pemda/pemko setempat, termasuk pemadam kebakaran dan juga TNI dalam hal bantuan perkuatan
4. Menggalang potmas seperti tomas dan toga serta organisasi pemuda setempat terutama pihak yang berkonflik langsung dengan pihak kepolisian.

Hal tersebut diatas apabila dijalankan sesuai dengan aturan UU dan perkap yang ada diantaranya :
a.            Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
b.            Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 6 tahun 2005 tentang Pedoman Tindakan Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Penggunaan Kekuatan Kepolisian
c.            Juklap Kapolri nomor : Juklap/ 13/ III/ 1997 tanggal 26 Maret 1997 tentang Penanggulangan Serangan Fisik Terhadap Markas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
d.            Rencana Kerja masing-masing Kepolisian Daerah Republik Indonesia tentang pengembangan strategi keamanan dan ketertiban.

Maka diharapkan situasi konflik yang terjadi antara massa dengan aparat kepolisian dapat dihindari sehingga meminimalisir kerugian yang timbul bagi negara baik secara materiil maupun moril.


BAB III
KESIMPULAN

                        Konflik yang terjadi antara warga dengan aparat Polri sebagai ekses dalam pelaksanaan tugas kepolisian kerap terjadi di berbagai wilayah nusantara, namun hal ini bukannya tidak dapat dihindari apabila terdapat sistem yang bekerja dengan baik di lingkup kepolisian setempat dimulai dari deteksi dini, laporan informasi aktual hingga penanggulangan dari peristiwa konflik yang dituangkan dalam aturan atau prosedur tetap tentang sistem pengamanan markas komando tiap-tiap Polsek/Polres/Polda di wilayah Republik Indonesia. Tidak hanya berhenti disitu, aturan atau protap yang ada hendaknya dilatihkan dalam situasi yang mendekati real dan dilaporkan hasil pelaksanaannya secara berjenjang sehingga meningkatkan kewaspadaan anggota apabila menghadapi situasi konflik yang sebenarnya.


DAFTAR PUSTAKA
                       
a.    Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
b.    Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 6 tahun 2005 tentang Pedoman Tindakan Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Penggunaan Kekuatan Kepolisian
c.    Juklap Kapolri nomor : Juklap/ 13/ III/ 1997 tanggal 26 Maret 1997 tentang Penanggulangan Serangan Fisik Terhadap Markas Kepolisian Negara Republik Indonesia.



Kamis, 21 Mei 2015

UPAYA PENYIDIK DALAM MENCEGAH TERJADINYA PRAPERADILAN SEHUBUNGAN DENGAN PENETAPAN TERSANGKA MENJADI OBJEK PRAPERADILAN

A. LATAR BELAKANG

Proses perkembangan dalam hal penegakan hukum dan perlindungan HAM di Indonesia khususnya di tingkat pengadilan telah mengalami suatu transformasi positif yang kemudian penulis ambil sebagai contoh kasus dimana perubahan positif tersebut dipelopori oleh putusan hakim Sarpin Rizaldi dalam peristiwa hukum dimana sidang gugatan praperadilan yang dilayangkan oleh Komjen Budi Gunawan dalam hal penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK, dimana kemudian akhirnya Hakim Sarpin selaku hakim tunggal sidang praperadilan yang memeriksa perkara dengan pemohon atas nama Komjen Budi Gunawan dan termohon atas nama KPK telah mengadili dan telah memutuskan bahwa penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan yang dilakukan oleh termohon KPK adalah tidak sah. Hasil putusan ini kemudian memiliki multi tafsir dari berbagai pengamat hukum sebagai hasil penjabaran pasal dalam KUHAP dimana penetapan tersangka tidak dibunyikan sebagai obyek dari praperadilan sehingga Hakim Sarpin membuat terobosan baru tentang segala tindakan penyidik di tingkat penyidikan adalah merupakan bentuk upaya paksa sehingga hak asasi manusia yang melekat pada tersangka dalam prakteknya sering tidak diindahkan. Selain itu mengenai pasal 2 UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam penjelasan angka 7 yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi:
1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
4. Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Jaksa;
6. Penyidik;
7. Panitera Pengadilan; dan
8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.
Sementara Komjen Budi Gunawan pada saat menjabat sebagai Karobinkar adalah bukan termasuk pejabat Eselon I melainkan menjabat sebagai Eselon II dengan pangkat Komisaris Besar Polisi dan bukan sebagai penyidik. Dengan mengacu pada UU no 28 tahun 1999 ini maka bukan ranah KPK untuk menjerat Komjen Budi Gunawan dan menetapkannya sebagai tersangka. Belajar dari kasus tersebut maka penulis menganalisa bahwa praperadilan itu sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 77  UU no. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimana disebutkan bahwa praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Kembali kepada kasus praperadilan dengan pemohon Komjen Budi Gunawan, tindakan penyidik KPK dengan menetapkan Komjen BG sebagai tersangka bisa mencederai hukum apalagi tidak didahului oleh pemeriksaan sebagai saksi kepada Komjen BG malahan statusnya tiba-tiba menjadi tersangka tepat disaat Komjen BG dinyatakan lulus fit and proper test sebagai calon tunggal Kapolri,  karena itu penetapan tersangka ini tidak sesuai dengan aturan hukum dan di sisi lain dalam UU nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggara yang bersih dan bebas dari KKN maka Komjen Budi Gunawan tidak masuk dalam kategori tersebut karena pada saat itu masih menduduki jabatan eselon II bukan eselon I. Adapun alasan yuridis yang lain bahwa dalam Pasal 10 ayat 1 UU no 48 tahun 2009 tentang pokok-pokok kekuasan kehakiman bahwa hakim dilarang menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya untuk diperiksa, diadili, dan diputuskan dengan dalih bahwa hukum kurang jelas melainkan wajib menerima semua perkara yang diajukan kepadanya kemudian memeriksanya dan mengadilinya. Hal ini memiliki makna hakim memiliki kewenangan rechtvinding yaitu menemukan hukum jika suatu perbuatan tidak diatur dalam UU seperti dalam kasus ini, mengenai penetapan tersangka.
Tentunya hal diatas dalam hal sisi juridis memiliki efek berkelanjutan terhadap proses hukum yang lain dengan kasus yang berbeda pula, maka dari itu kita sebagai penegak hukum khususnya penyidik harus waspada dan tidak bisa sembarangan dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka dari suatu peristiwa pidana. Makalah ini membahas tentang upaya kita sebagai penyidik untuk mencegah gugatan praperadilan terkait adanya putusan dari MK bahwa penetapan tersangka merupakan obyek dari praperadilan dan apakah penetapan status seseorang menjadi tersangka dapat dikategorikan ranah obyek praperadilan.     

B. PERMASALAHAN
1. Apakah penetapan tersangka dapat dikategorikan masuk dalam ranah obyek praperadilan?
2.  Apa yang dapat dilakukan oleh penyidik dalam mencegah upaya hukum berupa gugatan praperadilan sehubungan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi bahwa penetapan tersangka merupakan objek dari praperadilan ?

C. PEMBAHASAN
Penetapan tersangka secara limitative tidak termaktub dalam Pasal 77 UU no 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana namun demikian esensi dari adanya upaya hukum berupa praperadilan adalah sebagai wujud kontrol terhadap proses penegakan hukum yang mana terkait sangat erat dengan Hak Asasi Manusia. Banyak permasalahan yang ada baik sejak tahap pra ajudikasi dimana aparat hukum ( penyidik ) melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan sebelum upaya dilanjutkan ke tahap pengadilan sementara praperadilan memiliki sifat post-factum yang berarti tahapan ini hanya dilakukan apabila sudah terjadi penahanan. Padahal, penetapan seseorang menjadi status tersangka adalah bagian dari tahap penyidikan yang prosesnya rentan terdapat kesewenangan dari aparat hukum ( baca : penyidik ) yang erat kaitannya terhadap perampasan Hak Asasi Manusia.  Sehingga diharapkan dengan adanya yurisprudensi dari putusan hakim Sarpin mengenai masuknya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan diharapkan sesuai dengan asas hukum equlity before the law dimana tersangka dalam kedudukannya sebagai manusia juga memiliki harkat, martabat dan kedudukan yang sama dimuka hukum serta menjunjung tinggi perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia yang dimiliki setiap orang terlepas dari status hukumnya.
Adapun yang dapat kita lakukan sebagai penyidik Polri dalam mencegah upaya hukum adalah selain menerapkan prinsip kehati-hatian dalam setiap langkah penyidikan dan kita juga harus memahami aturan yang menjadi payung hukum bagi penyidik Polri diantaranya Perkap no 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana yang menerangkan bahwa hendaknya dalam melakukan rangkaian kegiatan penyidikan hendaknya meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian sehingga hendaknya rangkaian tindakan penyidikan tersebut dilaksanakan secara professional, transparan, dan akuntabel terhadap setiap perkara pidana guna terwujudnya supremasi hukum yang mencerminkan rasa keadilan.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Perkap no 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana, maka dasar untuk dapat dilakukannya penyidikan adalah adanya Laporan Polisi/ pengaduan, surat perintah tugas, Laporan Hasil Penyelidikan, surat perintah penyidikan dan yang terakhir SPDP ( Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan ) yang dilayangkan ke Kejaksaan. Untuk SPDP merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan penyidik sebelum melakukan upaya paksa sehingga setelah dikirimnya SPDP ke kejaksaan maka penyidik mendapatkan nomor registrasi yang nantinya dicantumkan dalam surat perintah sebagai dasar hukum dalam melakukan upaya paksa seperti pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Kemudian secara rinci dijelaskan kembali dalam Pasal 16 hingga Pasal 19 tentang rencana penyelidikan, rencana penyidikan dan kriteria perkara yang terdiri dari mudah, sedang, sulit dan sangat sulit. Pengorganisasian sebagaimana diatur dalam pasal 20 hingga pasal 23 lebih menekankan kepada atasan penyidik untuk mengorganisir seluruh sumber daya yang tersedia untuk membentuk tim penyelidik dan tim penyidik berikut dukungan anggaran dan dukungan peralatan yang ditunjuk dengan surat perintah. Personil yang dilibatkan dalam tahap pengorganisasian ini harus memiliki kompetensi, integritas dan kapabilitas sesuai dengan perkara yang ditangani. Kemudian masuk ke tahap berikutnya yakni pelaksanaan, dimana kegiatan lidik/ sidik diatur dalam pasal 24 hingga pasal 77, penulis tidak akan membahas pasal demi pasal namun hal yang perlu digaris bawahi adalah dalam tahap pelaksanaan ini terdapat tahapan upaya paksa seperti pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat ( pasal 26 Perkap no 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana ) yang rentan terjadi gesekan konflik antara penyidik dengan tersangka/ keluarganya yang kemudian melahirkan upaya hukum yang dilakukan oleh pihak tersangka berupa gugatan pra peradilan. Maka hendaknya dalam melakukan upaya paksa pihak penyidik harus mengedepankan SOP yang berlaku sebagaimana yang telah diatur dalam Perkap dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta selalu berpedoman bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka sudah berdasarkan bukti permulaan yang cukup sehingga dapat dijadikan dasar untuk melakukan penyidikan dan menetapkan status tersangka terhadap seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana. Adapun bila dilihat pada ketentuan KUHAP yang mengatur mengenai kewenangan penyelidikan dan/atau kewenangan penyidikan dapat disimpulkan bahwa bukti permulaan yang cukup dapat terdiri atas keterangan (dalam proses penyelidikan), keterangan saksi, keterangan ahli [1](dalam proses penyidikan), barang bukti ( bukan alat bukti dan dalam proses penyelidikan dan penyidikan).
Dalam hal menentukan status tersangka hendaknya penyidik melaksanakan gelar perkara pada awal proses penyidikan yang membahas tentang tindak pidana yang sedang ditangani dan selanjutnya seiring berjalannya penyidikan kasus tindak pidana maka penyidik wajib melaksanakan kembali gelar perkara di pertengahan proses penyidikan dan gelar perkara pada saat akhir proses penyidikan sebagaimana termaktub dalam pasal 69 Perkap no. 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana. Hal ini juga merupakan wujud pengawasan dan pengendalian dari atasan penyidik terhadap kasus tindak pidana yang tengah ditangani oleh penyidik. Maka apabila SOP yang tercantum dalam UU no 8 tahun 1981 tentang KUHAP dan Perkap no. 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana dapat dilaksanakan secara konsisten dan professional diharapkan dapat meminimalisir adanya upaya hukum berupa gugatan praperadilan yang bisa saja diajukan oleh tersangka/ keluarganya ataupun melalui penasehat hukumnya kepada penyidik yang memeriksa suatu perkara.

D. KESIMPULAN
            Pada prinsipnya praperadilan merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh tersangka/ keluarganya ataupun melalui penasehat hukum yang ditunjuk terhadap penyidik yang menangani suatu perkara pidana, namun demikian praperadilan merupakan fasilitas yang diberikan oleh negara melalui lembaga pengadilan bagi seseorang sebagai warga negara untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap hak asasi yang melekat pada setiap insan manusia yang dianggap dilanggar sehingga diperlukan sebuah mekanisme hukum untuk memulihkan harkat dan martabat dari pemohon/ penggugat. Sehingga praperadilan bukanlah suatu proses yang harus ditakuti atau dikhawatirkan oleh aparat penegak hukum ( baca : penyidik ) dalam perjalanan proses penegakan hukum apabila penyidik sudah melakukan langkah-langkah penyidikan sesuai prosedur.

Daftar Pustaka

1. UU no 8 tahun 1981 tentang KUHAP.
2. UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3. UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
4. UU no 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasan Kehakiman.
5. Perkap no 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana.





[1] Dalam hal ini keterangan ahli bukan untuk menentukan apakah kasus yang sedang diperiksa merupakan suatu tindak pidana atau bukan, melainkan keterangan saksi ahli diambil hanya apabila ada petunjuk dari JPU berupa P-19  dan sebatas menerangkan segala sesuatu yang termasuk dalam lingkup keahliannya yang berhubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa dan hanya bersifat subjektif.

Senin, 18 Mei 2015

DETEKSI DINI DALAM STUDI KASUS : PEMBAKARAN POLSEK LIMUN

BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang memiliki akulturasi budaya dimana kekayaan tidak hanya dari sumber daya alamnya namun juga terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama, ras dan adat istiadat. Keanekaragaman  ini haruslah dijaga sehingga diwujudkan suatu pedoman hidup yakni Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mampu menyatukan semua perbedaan yang ada. Akulturasi budaya ini juga menjadi faktor utama ( selain hubungan interaksi sosial antar manusia ) lahirnya suatu ekses yakni apa yang kemudian kita sebut dengan konflik. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Sedangkan menurut Robbins, konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993). Beberapa teori tentang konflik tersebut menjelaskan bahwa konflik merupakan hal yang wajar terjadi dalam kehidupan interaksi antar hubungan sosial manusia. Hal ini juga menjelaskan bahwa Indonesia dengan keberagaman kultur budayanya memiliki tingkat kerawanan konflik yang cukup tinggi, sehingga dalam menyikapi hal tersebut maka diperlukan bagi negara untuk membentuk suatu deteksi dini sehingga dengan adanya deteksi dini diharapkan mampu mengenali tingkat kerawanan dan potensi kejadian gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang dapat terjadi di masa mendatang untuk kemudian dihindari ataupun ditanggulangi sehingga tidak menimbulkan ekses yang bersifat destruktif atau merugikan negara dan warganya.
Fungsi deteksi dini atau yang kemudian juga banyak dikenal dengan nama early warning system, sebetulnya sudah dikenal sejak jaman dahulu di masa kerajaan masih berjaya dan digunakan oleh birokrat dalam konteks ketatanegaraan khususnya pertahanan dan keamanan. Fungsi ini diemban oleh intelijen dan memiliki pengaruh yang dominan bahkan selalu digunakan dalam setiap operasi militer untuk memetakan kekuatan musuh dan luas wilayah yang akan direbut. Hal ini menerangkan bahwa penggunaan deteksi dini oleh intelijen sebagai penyuplai informasi yang sifatnya strategis selalu digunakan dalam berbagai elemen kehidupan. Kegiatan umum dari Intelijen itu sendiri meliputi pengumpulan bahan keterangan, menganalisa informasi yang didapat, serta kemudian hasil analisa tersebut yang telah diolah menjadi suatu produk pelaporan diberikan kepada pimpinan atau pembuat kebijakan untuk membuat suatu keputusan dalam mencapai tujuan organisasi. Keterkaitan inilah yang menjelaskan mengapa fungsi intelijen yang mendapat amanah untuk melakukan deteksi dini.
Intelijen di kepolisian dalam hal operasional kegiatannya meliputi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan. Hal ini memiliki tujuan yang sama yakni untuk memperoleh informasi, mengamankan objek seta cipta kondisi yang membuat pelaksanaan tugas Polri lainnya menjadi kondusif. Kegiatan ini bisa dilaksanakan secara terbuka maupun tertutup.
Dalam tulisan ini penulis mencoba memaparkan apa fungsi dari deteksi dini bila dikaitkan dengan kasus pembakaran terhadap Polsek Limun di daerah Sarolangun Provinsi Jambi yang dilakukan oleh sekelompok massa yang tidak puas akibat salah satu warganya ada yang tertembak hingga tewas oleh aparat Polsek Limun.

BAB II
PEMBAHASAN

Kejadian pembakaran Polsek Limun di wilayah Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi pada hari Sabtu, tanggal 25 April 2015 menggemparkan khalayak ramai, gencarnya pemberitaan di media massa namun terkesan simpang siur dan mendiskreditkan aparat kepolisian membuat publik bertanya-tanya akan apa yang menjadi sebab utamanya sehingga dilakukan pembakaran terhadap kantor Polsek Limun oleh sekelompok warga. Hingga sampai akhirnya setelah dilakukan penyelidikan internal oleh Itwasda dan Bid Propam Polda Jambi maka informasi menjadi jelas bahwa warga membakar Polsek Limun karena adanya ketidakpuasan warga terhadap informasi yang diterima terkait meninggalnya salah seorang warganya setelah terlibat bentrok dalam upaya penangkapan kasus narkoba yang dilakukan oleh aparat kepolisian Polsek Limun pada malam sebelumnya yakni tanggal 24 April 2015 sekira pukul 20.00 wib dimana Kapolsek Limun AKP. Pujiarso, S.H. menerima informasi dari masyarakat Desa Mounti Kec. Limun tentang adanya transaksi narkoba sehingga kemudian ditindaklanjuti oleh aparat kepolisian Polsek Limun.
Kemudian menurut hasil investigasi Itwasda Polda Jambi yang dilaporkan ke Itwasum, pada malam tanggal 24 April 2015 setelah jam 20.00 wib saat dilakukan upaya penangkapan terhadap salah seorang pemuda yang diduga oleh aparat Polsek Limun sebagai bagian dari sindikat narkoba yang bernama Edwar, salah satu anggota Polsek Limun melakukan kelalaian sehingga menyebabkan senjata SS1 V2 nya meletus dan mengenai bagian dari kepala pemuda yang diduga tersangka pelaku kejahatan narkoba hingga pemuda an. Edwar tersebut terjatuh. Kemudian anggota Polsek Limun membawa pemuda yang terluka tersebut untuk mendapatkan penanganan medis di RSUD Sarolangun dan dilakukan perawatan dari pukul 22.00 wib, Kapolsek kemudian melaporkan Sitkamtibmas kepada jajaran pimpinan Polres Sarolangun dengan menyebutkan bahwa Polsek Limun telah menangkap tersangka narkoba dengan kondisi tertembak pada daerah bibir, kemudian perintah Kapolres agar segera membawa tersangka yang tertembak ke rumah sakit, antisipasi pihak keluarga dan kantor Polsek Limun.
Pada pukul 23.00 wib jajaran pimpinan Polres Sarolangun melakukan rapat di Polres untuk mengantisipasi kejadian tersebut tanpa ada mengecek keadaan korban maupun menemui keluarga korban tembak di rumah sakit. Hingga masuk pada tanggal 25 April 2015 sekira pukul 02.10 wib akhirnya pemuda tersebut dinyatakan meninggal dunia. Visum dari dokter yang menangani menerangkan bahwa pemuda tersebut dinyatakan tewas akibat pendarahan yang tidak bisa dihentikan di langit-langit mulut yang berasal dari luka di belakang telinga kiri tembus hingga ke pipi sebelah kanan hidung. Kapolres yang mendapat laporan dari Kapolsek Limun mengenai meninggalnya korban langsung memerintahkan untuk antisipasi keluarga korban dan memberikan santunan.
Kemudian pagi pukul 07.00 wib hampir seluruh pejabat utama Polda Jambi memberikan arahan kepada Kapolres Sarolangun melalui BBM untuk mewaspadai kejadian berulang dimana dahulu di tahun 2013 tepatnya di desa Mengkadai, wilayah hukum Polsek Limun ada seorang anggota Brimob yang tewas dan 1 unit mobil Patroli dibakar massa, oleh karenanya pengamanan Polsek Limun dan Polres Sarolangun harap dipertebal, waspadai dan antisipasi ekses pelaku meninggal dunia dan lakukan deteksi aksi, penggalangan terhadap keluarga korban serta masyarakat sekitarnya. Menindak lanjuti jukrah tersebut maka pukul 09.30 Kapolres Sarolangun memerintahkan Kabagops agar memback-up Kapolsek Limun dalam rangka antisipasi penyerangan oleh warga masyarakat terkait meninggalnya salah seorang warga. Dan pada pukul 09.45 pasukan bergeser, waktu tempuh dari Polres Sarolangun ke Polsek Limun sekitar 15 menit, namun pada pukul 10.00 wib ketika pasukan bantuan dari Polres Sarolangun tiba ternyata Polsek sudah habis terbakar.
 Ternyata sebelumnya pada pukul 09.50 wib sesuai laporan dari Kasat Intelkam, bahwa masyarakat yang berkumpul dirumah duka rencananya akan melakukan cek TKP penembakan, setelahnya warga datang berbondong-bondong ke Polsek Limun untuk meminta penjelasan kepada Kapolsek mengenai kronologis penembakan karena informasi yang diberikan Kapolsek kepada warga masyarakat adalah bahwa pelaku meninggal karena melarikan diri dan menabrak gorong-gorong. Namun faktanya Kapolsek tidak ada ditempat dan anggota yang berada di Polsek juga tidak mampu memberikan penjelasan maka masyarakat merusak fasilitas Polsek dan membakar Polsek Limun dengan menggunakan barang bukti solar yang ada di Polsek Limun.
Dari kronologis diatas maka dapat ditarik kesimpulan pentingnya deteksi dini terhadap sitkamtibmas yang ada terkait ekses dari kegiatan kepolisian yang mana dalam hal ini rentan konflik karena dipicu hilangnya nyawa seseorang setelah dilakukan giat kepolisian. Hal ini sebenarnya dapat diantisipasi apabila pembagian informasi dari hasil pulbaket dilapangan yang telah diolah dalam suatu produk laporan kepada pimpinan dapat disampaikan dengan fakta yang sebenar-benarnya dan tidak terkesan ditutupi sehingga pimpinan mampu mengambil keputusan yang tepat terkait tindakan kepolisian yang telah dilakukan.
Menurut Karwita dan Saronto (2001: 126-127), tugas pokok Intelkam dapat dirumuskan dalam empat kegiatan sebagai berikut:
(1) Melakukan deteksi terhadap segala perubahan kehidupan sosial dalam masyarakat serta perkembangannya di bidang ideologi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan untuk dapat menandai kemungkinan adanya aspek-aspek kriminogen, selanjutnya mangadakan identifikasi hakikat ancaman terhadap Kamtibmas;
(2) Menyelenggarakan fungsi intelijen yang diarahkan ke dalam tubuh Polri sendiri dengan sasaran pengamanan material, personil dan bahan keterangan serta kegiatan badan/kesatuan, terhadap kemungkinan adanya tantangan yang bersumber dari luar maupun dari dalam tubuh Polri agar Polri tidak terhalang atau terganggu dalam melaksanakan tugas pokoknya;
(3)  Melakukan penggalangan dalam rangka menciptakan kondisi tertentu dalam masyarakat yang menguntungkan bagi pelaksanaan tugas pokok Polri;
(4)  Melakukan pengamanan terhadap sasasaran-sasaran tertentu dalam rangka mencegah kemungkinan adanya pihak-pihak tertentu memperoleh peluang dan dapat memenfaatkan kelemahan-kelemahan dalam bidang Ipleksosbud Hankam, sebagi sarana ekploitasi untuk menciptakan suasana pertentangan pasif menjadi aktif, sehingga menimbulkan ancaman atau gangguan di bidang Kamtibmas.

Menurut Kunarto (1999: 48), penyelidikan merupakan upaya mencari dan mengumpulkan bahan informasi; pengamanan merupakan upaya mengamankan organisasi agar tidak menjadi sasaran lawan; penggalangan merupakan upaya untuk menciptakan kondisi dan situasi yang menguntungkan organisasi. Seandainya teori dari Kunarto dimengerti dan dijabarkan dalam tugas intelijen maka rangkaian deteksi dini terkait sitkamtibmas yang terjadi hendaknya bisa dibuat dalam produk pelaporan yang ditujukan kepada pimpinan sehingga dapat diambil keputusan yang tepat dalam menentukan tujuan organisasi dalam hal ini kepolisian. Namun demikian tidak halnya dengan yang terjadi di Polsek Limun dimana Kapolsek memberikan laporan yang tidak lengkap kepada jajaran pimpinan di Polres Sarolangun dan Kanit Intel Polsek juga seirama dengan kapolseknya dimana memberikan informasi yang terkesan ABS ( Asal Bapak Senang ) kepada Kasat Intelkam Polres Sarolangun, hal ini menjadi krusial dikala sebagai akibat dari tindakan kepolisian hingga mengakibatkan seorang warga terkena tembakan hingga akhirnya meninggal namun tidak ada satupun anggota kepolisan yang ada di rumah sakit untuk menemui keluarga korban. Dan langkah antisipatif yang diambil oleh Kapolsek juga terkesan spekulatif tanpa mempertimbangkan aspek kultural dan sejarah sehingga informasi yang diberikan kepada warga bukan yang sebenarnya dimana warga diberikan informasi bahwa korban tewas akibat menabrak  gorong-gorong bukan karena luka tembak. Hal itulah yang kemudian memicu emosi dan amarah warga masyarakat yang  kemudian berujung pada pembakaran Polsek Limun.
Menurut penulis seharusnya hal seperti demikian dapat dihindari apabila dilakukan sistem deteksi dini dimana bahan keterangan yang diperoleh untuk kemudian diolah dan dijadikan suatu produk intelijen adalah fakta yang sebenarnya terjadi dilapangan. Tentunya informasi yang sifatnya mentah adalah yang memenuhi syarat dimana terkait dengan keamanan, sumbernya dapat dipercaya dan relevan dengan masalah Kamtibmas yang actual sehingga kemudian dapat diproses untuk dijadikan saran bagi pengambil kebijakan ( dalam kasus ini level Kapolres ) untuk mengambil keputusan guna menyusun rencana kegiatan dan menghitung resiko yang mungkin dihadapi sebagai ekses tindakan kepolisian yang diambil.
Adapun fungsi dari deteksi dini antara lain :
1. Untuk mengetahui lebih awal terhadap potensi konflik yang mungkin terjadi.
2. Untuk menghindari ketidaksiapan akan terjadinya suatu konflik.

3. Menyiapkan lebih awal langkah kontijensi untuk menanggulangi konflik apabila konflik tidak dapat dihindarkan lagi.
Adapun cara Deteksi Dini melalui beberapa hal seperti :
 1. Pemahaman konflik yang pernah terjadi dimasa lampau.
 2. Mapping konflik yang sudah pernah terjadi dan penyelesaiannya.
Dari cara deteksi dini dalam hal pemahaman dan mapping ( pemetaan ) tersebut, dapat diketahui perkembangan yang terjadi saat ini mengenai berbagai konflik yang pernah ada diwilayah tersebut. Hal ini akan berkaitan dengan upaya pendeteksian konflik yang terjadi, baik konflik yang merupakan konflik lanjutan/laten dari konflik yang pernah terjadi sebelumnya, maupun konflik yang baru pertama kali muncul/terjadi. Seharusnya kejadian di masa lampau dimana seorang anggota Brimob tewas dan 1 unit mobil patrol dibakar massa dapat menjadi pembelajaran dan upaya dasar untuk dilakukannya deteksi dini terhadap potensi konflik apabila dikaitkan dengan tipikal masyarakat Limun serta bagaimana tindak lanjutnya setelah itu guna mencapai penyelesaian masalah dapat dijadian pedoman untuk menentukan langkah awal sebagai antisipasi konflik berkepanjangan.
Selain itu peran serta masyarakat dan koordinasi dengan instansi samping dan instansi pemerintahan sebagai unsur terkait dalam penyelesaian konflik perlu dilakukan guna menghadapi konflik yang tengah terjadi ataupun mengantisipasi potensi konflik yang dapat terjadi di masa mendatang. Dapat kita ambil contoh dari analisa kasus pembakaran Polsek Limun dimana seorang warga sebuah desa di Kecamatan Limun tewas ditembak oleh salah seorang anggota Polsek Limun dalam upaya penangkapan kejahatan narkoba, terlepas dari apa tindakan jahat yang diduga dilakukan korban, upaya pengejaran yang berujung penembakan hingga mengakibatkan korban tembak tewas adalah hal yang dapat memicu konflik vertical antara aparat pemerintah dengan warga masyarakat setempat, apalagi tindakan tersebut dinilai lalai dan ceroboh mengingat kondisi TKP yang merupakan pemukiman padat penduduk dan penerangan yang jelas sehingga tanpa melepaskan tembakan ( yang bukan tembakan peringatan dimana langsung mengarah kepada tersangka ) seharusnya aparat Polsek Limun yang melakukan pengejaran dapat menangkap orang yang diduga tersangka tanpa harus melepaskan tembakan ( tulisan sesuai laporan tim penyelidikan internal yang terdiri dari Itwasda dan Bid Propam Polda Jambi kepada Irwasum Polri ). Dengan demikian seharusnya langkah preventif harus segera dapat direncanakan dan dilakukan oleh jajaran Polres Sarolangun terutama Polsek Limun.
Langkah preventif yang dilakukan oleh Polsek Limun harusnya berdasarkan hal sebagai berikut :
a. Memahami reaksi masyarakat dan peristiwa terkini yang muncul pada tahap awal.
Setelah memahami situasi dan kondisi terkini, kita sebagai anggota Polri seharusnya peka dan mampu membaca reaksi dari masyarakat terkait perkembangan yang terjadi. Adapun reaksi masyarakat ini dapat kita lihat dalam berbagai bentuk, reaksi yang “laten”/bergerak di bawah permukaan, maupun reaksi yang tidak memberikan aksi yang berarti terhadap perkembangan situasi kondisi terkini. Analisa kasus : Kapolsek Limun memberikan konfirmasi bahwa terduga tersangka an. Edwar tewas setelah menabrak gorong-gorong saat dilakukan upaya penangkapan terhadap dirinya, sementara anggota Polsek Limun tidak ada satu orangpun yang ada di rumah sakit untuk mendampingi keluarga korban karena Kapolsek under estimate setelah merasa keluarga korban sudah dikondisikan dengan uang santunan. Sementara warga yang datang langsung ke rumah sakit kemudian mengecek TKP menemukan fakta yang kontradiktif sehingga memicu emosi warga yang mendatangi kantor Polsek untuk melakukan klarifikasi namun pejabat yang dicari tidak ada ditempat dan anggota yang ada di kantor tidak mampu memberikan penjelasan yang dibutuhkan oleh warga. Reaksi inilah yang dikuatirkan akan timbul sehingga seharusnya langkah preventif lebih awal disiapkan.
b. Pengumpulan bahan keterangan  dan pemetaan dari peristiwa konflik vertical yang pernah terjadi.
Dalam hal ini yang segala kejadian atau peristiwa yang berkaitan dengan Isu/perkembangan terkini tersebut mulai untuk dikumpulkan, untuk selanjutnya dilakukan kategorisasi (mana saja yang berkaitan dengan kemungkinan terjadinya konflik). Setelah dilakukan pengumpulan dan pemilihan, tahap selanjutnya yang dilakukan adalah pemetaan masalah. Adapun tujuan dari pemetaan masalah adalah tidak hanya sekedar memisah-misahkan permasalahan yang ada, tetapi juga membaca jaring yang terhubung dari rangkaian peristiwa tersebut. Analisa kasus : pada periode 2013 ada seorang anggota Brimob dan 1 unit mobil patrol dibakar massa di wilayah Sarolangun, meski beda wilayah hukum Polsek namun secara demografi dan kultur masyarakatnya sama sehingga potensi konflik vertical dapat sewaktu-waktu kembali muncul ke permukaan. Peristiwa-peristiwa tersebut harus dikumpulkan dan dicari keterkaitannya satu sama lain, sehingga dapat dilihat apakah kondisi ini dapat berujung pada terciptanya suatu konflik.
c. Yang terakhir, diperlukan adanya suatu pemahaman akan kebutuhan masyarakat terhadap sikap pemerintah yang diinginkan, seperti sikap lebih humanis, transparan dan akuntabel dimana dalam analisa kasus Polsek Limun, aparat Polsek Limun belum bisa dikatakan capable dalam menjadi figure aparat yang diinginkan oleh warganya dimana pelanggaran prosedur dari penggunaan senjata api dan kekerasan, ketidak transparan dengan memberikan informasi yang tidak benar terkait penyebab kematian Edwar hingga akuntabilitas yang dipertanyakan sehingga tidak mampu menghadapi situasi kontijensi yang berakibat terbakarnya mako dan fasilitas Polsek Limun.
            Kemudian dari hasil deteksi dini diatas maka hendaknya dituangkan dalam rencana kegiatan kontijensi Polsek yang meliputi :
a. Segera melakukan koordinasi dengan instansi atas yakni Polres Sarolangun dan Polda Jambi dalam hal meminta bantuan perkuatan personil sabhara dan brimob untuk menjaga mako Polsek Limun.
b. Koordinasi dengan satuan samping minimal Koramil dan Pemda setempat untuk antisipasi efek domino dan konflik laten yang mungkin terjadi.
c. Lakukan penggalangan dengan tomas, toga dan keluarga korban secara kontinyu, juga lakukan koordinasi dengan media massa setempat agar pemberitaan tidak menyesatkan dan terkesan berat sebelah.
d. Selalu melaporkan perkembangan situasi kontijensi melalui radio sehingga termonitor jajaran Polda Jambi.
e. Dalam melakukan kegiatan hendaknya sesuai dengan protap dan hindari arogansi personil di lapangan.

BAB III
KESIMPULAN

            Deteksi dini memiliki peran penting dalam mengantisipasi konflik yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, sehingga produk intelijen yang diberikan kepada pimpinan hendaknya harus akurat dan berdasarkan fakta sebenarnya yang terjadi di lapangan. Hal ini demi menghindari kesan under estimate yang sangat fatal apabila dilakukan oleh pengemban fungsi intelijen dan pimpinan selaku pembuat keputusan.
            Dari keseluruhan cara deteksi dini diatas, dapat disimpulkan bahwa kita sebagai Polri memerlukan suatu langkah early warning system yang efektif. Fungsi intelijen kepolisian sebagai pengemban early warning system atau yang kita kenal dengan deteksi dini, harus mampu melakukan upaya preventif dan pre-emtif dalam mencegah konflik. Melalui fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan intelijen harus dapat meredam segala potensi konflik dan memanfaatkan konflik sehingga berdampak positif bagi organisasi kepolisian serta jangan sampai menyebabkan dampak destruktif. Namun demikian hendaknya kepekaan terhadap situasi kamtibmas dan reaksi masyarakat tidak hanya dimiliki oleh anggota fungsi intel namun juga dimiliki oleh segenap anggota Polri sehingga kesadaran dalam mengantisipasi potensi konflik dan pentingnya kewaspadaan juga wasdal ke dalam dapat diterapkan oleh pimpinan di wilayah dan diilhami oleh seluruh personil Polri saat melaksanakan tugas di lapangan baik itu dalam hal pelayanan kepada publik maupun penegakan hukum.









DAFTAR PUSTAKA

1. Paulus Purwoko.dkk. 2012. Manajemen Intelkam, Jakarta : PTIK-STIK.
2. Skep/37/I/2005, tanggal 31 Januari 2005, Pedoman Intelijen Keamanan di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jakarta: Mabes Polri

3. UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.