Diskresi, pada hakekatnya,
adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap kaidah baku yang berlaku secara umum.
Oleh karena itu, dalam pengelolaan keuangan negara tindakan yang didasarkan
pada diskresi hampir tidak pernah dapat dibenarkan. Hal ini disebabkan karena
tindakan dalam pelaksanaan anggaran, pada prinsipnya, bukanlah tindakan yang
berdiri sendiri.[2]
Anggaran dalam konsep hukum keuangan negara khususnya dalam hal pelaksanaan
merupakan rangkaian proses panjang diawali dengan proses politik yang mana
dalam hal pengambilan keputusan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan
belanja negara tentunya melalui tahapan politis yang melibatkan antar lembaga
negara dimana lembaga eksekutif memiliki kewajiban dalam mematuhi keputusan
yang telah dituangkan dalam APBN, dan di sisi lain lembaga legislatif
memberikan kewenangan sepenuhnya ( termasuk pendanaan ) agar kegiatan yang
tertuang di dalam APBN dapat terlaksana. Hal ini yang kemudian dikenal dengan
istilah authorization parlementaire.
Tentunya hal tersebut juga
memiliki konsekuensi logis dimana lembaga legislatif otomatis memiliki hak
untuk melakukan pengawasan dalam hal terwujudnya seluruh rencana kegiatan dalam
APBN dengan baik dan benar termasuk hak untuk meminta pertanggungjawaban
terhadap realisasi dari keputusan yang telah disepakati bersama. Disisi lain,
lembaga eksekutif selain mengutamakan kewajiban untuk merealisasikan program
kerja sesuai dengan apa yang tertuang dalam APBN dan membuat serta menyampaikan
pertanggungjawaban baik dari segi kinerja maupun keuangan kepada legislatif.[3] Semua pola dan mekanisme
yang berkembang diantara dua lembaga politik dalam hal penyusunan anggaran juga
melahirkan berbagai prinsip dasar yang kemudian kita kenal sebagai Golden
Principles of Budget Execution[4] yang terdiri dari prealable,
annualitas, unitas, spesialitas dan universalitas.
Prinsip anteoritas atau
prinsip prealable menegaskan bahwa anggaran negara harus mendapatkan
persetujuan terlebih dahulu dari lembaga legislatif sebelum dilaksanakan
sehingga prinsip ini secara tidak langsung telah menempatkan lembaga legislatif
dalam posisi yang lebih dominan dibandingkan lembaga eksekutif. Prakteknya, hal
ini diwujudkan dengan lahirnya berbagai ketentuan dalam perundang-undangan
terkait dengan pengelolaan anggaran dan belanja negara yang melarang untuk
dilakukannya perikatan bila tidak tersedia dana dalam anggaran yang telah
ditetapkan. Kemudian prinsip anualitas atau prinsip periodisitas
yang menyatakan bahwa anggaran negara harus dilaksanakan dalam suatu periode
tertentu yang ditandai dengan titik awal dimulainya anggaran pada suatu tanggal
tertentu dan diakhiri pada suatu tanggal tertentu misalnya, satu tahun. Konsekuensi
yang menyertai dari prinsip ini adalah bahwa seluruh pengeluaran yang
dilaksanakan oleh lembaga eksekutif sebagai pelaksana APBN diluar periode yang
telah ditetapkan merupakan pengeluaran yang tidak sah. Prinsip unitas
menyatakan bahwa APBN yang telah disetujui sebagai kesepakatan bersama harus
dilaksanakan oleh lembaga eksekutif dan dituangkan dalam satu dokumen tidak
sebaliknya terpisah-pisah dalam berbagai dokumen. Hal ini bertujuan lembaga
legislatif dapat mengendalikan dengan mudah anggaran yang telah disepakati dan
ditetapkan sehingga menghindari adanya penyimpangan ( fraud ) dalam pengelolaan
keuangan negara. Kemudian selanjutnya prinsip spesialitas yang pada
hakekatnya menjaga agar anggaran digunakan khusus untuk kegiatan-kegiatan yang
telah ditetapkan ini pada prinsipnya memudahkan lembaga legislatif dalam
mendeteksi apakah program-program yang telah diputuskan dan disepakati bersama
dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan tidak bergeser dalam pelaksanaannya hanya
sesuai dengan kehendak lembaga eksekutif semata. Prinsip ini menekankan
fungsi-fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yakni fungsi pemerintahan
negara, fungsi keamanan, fungsi kesejahteraan rakyat dan sebagainya. Kemudian dalam
penyusunan anggaran negara ditambahkan unsur organisasi sebagai pelaksana yang
merupakan penanggung jawab kegiatan. Terkait dengan itu, dalam prakteknya
kemudian dikenal pengeluaran untuk fungsi tertentu yang dilaksanakan oleh
kementerian atau satuan kerja tertentu. Yang terakhir, prinsip universalitas
merupakan prinsip yang menekankan bahwa alokasi dana anggaran harus spesifik
atau terinci berdasarkan fungsi, organisasi hingga ke jenis pengeluaran/ belanja.
Prinsip ini mewajibkan adanya kas tunggal dalam pengelolaan keuangan negara,
kemudian mengharuskan agar semua penerimaan di setor ke kas negara demikian hal
nya seluruh pengeluaran juga dilakukan melalui kas negara. Tujuan dari
diterapkannya prinsip ini adalah dalam pengelolaan keuangan negara dapat
terhindar dari pemborosan atau penyimpangan lain yang dapat terjadi.
Siswo Sujanto[5] dalam seminarnya di Menkeu[6], menjelaskan bahwa perlu disadari
bersama bahwa diskresi, menurut para ahli hukum, lahir karena adanya sebuah
kekosongan aturan ( regulation ). Kekosongan aturan itu sendiri dipicu oleh adanya
suatu keadaan yang memaksa ( force majeur ). Atau, dalam alur
logika yang sangat sederhana yang mudah dipahami oleh masyarakat awam adalah,
bahwa lahirnya sebuah diskresi disebabkan karena keadaan yang sedang dihadapi
bersifat sangat khusus, sehingga berbagai ketentuan yang ada tidak dapat
digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul. Dengan kata lain, bahwa
diskresi akan menyebabkan terjadinya penyimpangan atau pelanggaran terhadap
ketentuan yang ada. Hal yang demikian adalah logis, mengingat ketentuan yang
ada, pada hakekatnya hanya mengatur keadaan yang biasa. Hal ini bukan karena alasan bahwa secara formal APBN merupakan sebuah undang-undang,
melainkan karena APBN, pada hakekatnya, adalah sebuah kesepakatan antara rakyat
dan pemerintah. Diskresi di tingkat ini merupakan diskresi terkait dengan keputusan yang dapat
mengakibatkan terjadinya pengeluaran negara. Diskresi semacam ini dapat
dinamakan diskresi substansial.
Kemudian untuk diskresi yang
bentuknya formal, dari sisi pelaksanaan anggaran hendaknya dilakukan dengan
mengacu pada paradigma yang menyatakan bahwa pelaksanaan anggaran adalah
merupakan operasionalisasi sebuah keputusan politik. Terkait dengan itu,
diskresi yang mungkin dilakukan hanyalah mencakup bagaimana operasi pelaksanaan
kegiatan penerimaan dan pengeluaran negara dapat tetap dilaksanakan ketika
terjadi situasi yang tidak seperti biasanya. Prinsip kehati-hatian harus tetap
dipedomani untuk menghindarkan dari timbulnya kerugian negara. Diskresi di
tingkat ini merupakan diskresi formal atau operasional. Hal ini dapat dilihat
misalnya dalam sistem pembayaran pada akhir tahun.
Kemudian kita masuk
kedalam pembahasan tentang kerugian negara, menurut UU no 1 Tahun 2004 tentang
perbendaharaan Negara sebagaimana lebih lanjut diatur dalam Bab I tentang
Pengertian dalam Pasal 1 butir ke 22, yang dimaksud dengan kerugian negara
adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Bila dicermati, kerugian
negara yang dimaksud adalah merupakan akibat dari suatu perbuatan melawan
hukum. Unsur dari kerugian negara itu sendiri utamanya adalah kekurangan aset
negara dan adanya perbuatan melawan hukum. Sementara itu perbuatan melawan
hukum itu sendiri dapat terjadi di ranah administratif ataupun di ranah non
administratif. Perbedaan antara keduanya, selain dari sifat perbuatannya juga
didasarkan pada pola penyelesaian kerugian negara itu sendiri. Kerugian negara
yang terjadi di ranah administratif diselesaikan secara administratif dalam
sebuah peradilan administratif, sedangkan kerugian negara yang terjadi di ranah
non administratif diselesaikan di peradilan umum, baik menurut hukum perdata
maupun hukum pidana.[7]
Kedepannya aparat penegak
hukum dalam menangani perkara korupsi hendaknya tidak menjadi ragu untuk
mengambil langkah hukum karena diskresi dalam bentuk substansial, secara
prinsip hanya dapat dilakukan bila terjadi force majeur dan apabila ternyata
tidak mengindahkan prinsip yang berlaku terutama prudential principe maka
hal tersebut merupakan ranah non administratif dan diselesaikan di peradilan
umum.
[1]
Disajikan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal
Perbendaharaan – Kementerian Keuangan di Gedung Prijadi, Jakarta tanggal 23
Desember 2015.
[2] Makalah
tentang Diskresi Keuangan Ditinjau Dari Perspektif Undang-Undang Bidang
Keuangan Negara Dan Penyelesaian Kasus Korupsi oleh Drs. Siswo Sujanto, DEA.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Alumnus
Universitas Paris 2, Pantheon, Jurusan Hukum Keuangan Negara dan Perpajakan,
Direktur Pusat Pengkajian Keuangan Negara danDaerah,
Universitas Patria Artha, Makassar,
( Mantan ) Ketua Tim Kecil Penyusunan Paket RUU Bidang
Keuangan Negara.
[6] Seminar
Diskresi Keuangan di Gedung Prijadi, Kementerian Keuangan, Jakarta tanggal 23
Desember 2015 dalam makalah yang berjudul “Ditinjau Dari Perspektif
Undang-Undang Bidang Keuangan Negara dan Penyelesaian Kasus Korupsi”.
[7] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar