Kasie Juntrad

Kasie Juntrad
I was a cadet

Minggu, 12 April 2015

HUBUNGAN ADMINISTRASI KEPOLISIAN DENGAN ADMINISTRASI NEGARA


BAB I
PENDAHULUAN

            Dalam menyelenggarakan suatu pemerintahan tidak dapat luput dari peran administrasi, hal ini penting karena fungsi administrasi ( bersama dengan manajemen ) merupakan salah satu infrastruktur yang memiliki fungsi bersifat fundamental dalam menyelenggarakan sebuah organisasi yang mana hal tersebut kemudian dalam level organisasi pemerintahan menjadi sebuah hal penting yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional. Demi tercapainya masyarakat yang tentram, sejahtera, adil dan makmur sesuai dengan cita-cita negara Indonesia maka peranan penyelengaraan fungsi keamanan haruslah menjadi pilar utama dalam mewujudkan bangsa yang madani. Maka dari itu dalam menyelenggarakan keamanan diperlukan sebuah tempat khusus didalam ruang administrasi kenegaraan agar hendaknya penyelenggaraan fungsi keamanan dapat menjadi suatu perhatian yang serius dalam fungsi pemerintahan sebuah negara sehingga masyarakat dapat merasakan rasa aman dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara baik secara struktural dan moral.
Administrasi adalah usaha dan kegiatan yang berkenaan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan untuk mencapai tujuan. Administrasi dalam arti sempit adalah kegiatan yang meliputi: catat-mencatat, surat-menyurat, pembukuan ringan, ketik-mengetik, agenda, dan sebagainya yang bersifat teknis ketatausahaan. Administrasi dalam arti luas adalah seluruh proses kerja sama antara dua orang atau lebih dalam mencapai tujuan dengan memanfaatkan sarana prasarana tertentu secara berdaya guna dan berhasil guna.[1] Jadi administrasi secara garis besar tidak bisa dilepaskan dari fungsi manajemen dalam mencapai tujuan dari suatu organisasi.
Adapun pengertian administrasi kenegaraan atau biasanya disebut dengan administrasi publik menurut ahli diantaranya Siagian (1989), Hoessein (1997), dan Frederickson (1997) adalah seluruh proses, organisasi dan individu sebagai pejabat sehubungan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh badan legislatif, eksekutif dan peradilan. Administrasi negara dijalankan oleh pemerintah dan  memiliki tujuan utama pencapaian hasil berupa pelayanan pada sektor publik, oleh karena itu disebut juga dengan administrasi publik, yaitu administrasi yang dijalankan oleh pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat atau publik dengan tidak mencari laba.
Administrasi kepolisian dapat dijabarkan dengan luas namun pada hakikatnya sangat bergantung dari perkembangan politik dan sistem pemerintahan sebuah negara. Baik dilihat dari sistem ketatanegaraan, sistem pemerintahan, sistem pembentukan yang dipengaruhi sejarah dan budaya masyarakat suatu negara dan sistem peraturan yang mengiringi kelangsungan negara tersebut. Hal tersebut yang memperlihatkan keterkaitan antara administrasi kenegaraan dengan administrasi kepolisian. Khusus menyangkut kepolisian, administrasi kepolisian menangani pelaksanaan tugas kepolisian dan pelaksanaan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindak criminal dan mencakupi hukum tentang pelarangan atas berbagai tindakan, prosedur yang berkaitan dengan pelanggaran hukum , serta pendekatan umum terhadap masalah criminal yang berkaitan dengan pencegahan, penanggulangan, dan rehabilitasi ( Gary W. Cordner dalam Bayley: 1998 ).[2]
Administrasi kepolisian itu sendiri memiliki ruang lingkup tugas dan bidangnya sehingga petugas polisi harus memperhatikan berbagai faktor yang mencakup tujuan, tugas, sumber daya, struktur, budaya, manajemen, dan lingkungan yang dijelaskan dibawah ini ( lihat Hoover, 1992 ). Adapun tujuan utama dari Departemen Kepolisian adalah melindungi jiwa, property, dan menjaga ketertiban umum. Salah satu tugas dasar administrator kepolisian adalah menjamin bahwa berbagai aktivitas diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Prinsip yang harus ditanamkan dalam organisasi adalah semangat dan tujuan oleh semua anggota kepolisian.[3]

a.   Tugas (task), administrator harus merancang tugas yang jelas untuk mencapai tujuan tersebut. Secara tradisional, tiga kategori tugas polisi adalah operasi, administrasi dan pelayanan.
b.  Sumber Daya (Resource), administrator polisi harus mampu sekaligus dapat menggunakan secara bijaksana berbagai sumber daya yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas demi tercapainya tujuan.
c.   Struktur (structure), dengan adanya karyawan yang ditempatkan untuk memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan, organisasi kepolisian memerlukan struktur untuk memandu pelaksanaan tugas itu, yg meliputi hierarki, distribusi kewenangan, deskripsi tugas, kebijakan, prosedur, aturan dan peraturan. Administrator harus menciptakan suatu kerangka kerja yg mengarahkan struktur dan organisasi ke berbagai tugas yg harus dilakukan, baik polisi yg bertugas dlm bidang pembinaan maupun operasional.
d.  Budaya (culture) administrator kepolisian harus dapat membentuk budaya organisasi yang menumbuhkan perilaku yang patut sekaligus menghancurkan perilaku tak patut.
e.  Manajemen (Management), administrator polisi juga harus menyediakan suatu bentuk manajemen dalam kepolisian, manajemen dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan, mengawasi karyawan, dan secara umum untuk menjaga departemen pada garis haluannya.
f.   Lingkungan (Enviromental), tujuan departemen kepolisian sebagian ditentukan oleh komunitas dan proses politik, anggaran ditentukan oleh proses politik, karyawan yang direkrut berasal dan tinggal di dunia luar, pelaksanaan tugas polisi dilakukan dalam masyarakat, dan lain-lain. Salah satu tugas administrator adalah mengatur interaksi departemen kepolisian dengan lingkungan sekitarnya.



BAB II
PEMBAHASAN

Era reformasi  telah menyebabkan berbagai dampak yang cukup signifikan dalam berbagai bidang kehidupan termasuk penyelenggaraan pemerintahan yang kerap mendapat intervensi publik melalui suara rakyat demi menuntut kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dibandingkan era pemerintahan sebelumnya. Suatu ciri khas dari negara berkembang dimana fenomena akan hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, penegakan hukum, transparansi dan pemberantasan rezim KKN mewarnai setiap langkah politik yang diterapkan oleh pemerintah kita. Termasuk Polri sebagai lembaga penyelenggara keamanan yang dituntut untuk selalu sesuai dengan keinginan masyarakat tanpa melepaskan kewajiban dan prosedur yang telah diikat dalam bentuk Undang-undang yang pelaksanaannya kerap menjadi sorotan publik. Disatu sisi rakyat ingin Polisi selalu disisi mereka, melindungi dan mengayomi sesuai dengan tugas pokok dari Polri, namun disisi lain rakyat bisa berubah mnjadi oposisi bagi lembaga yang menjaga mereka apabila kebijakan dalam supremasi hukum yang diterapkan oleh pemerintah melalui Polri ( meski pada kenyataannya sesuai dengan undang-undang dan hukum ) berlawanan dengan kehendak rakyat.
Salah satu contoh kasus yang menggambarkan keterkaitan  erat antara administrasi kepolisian dengan administrasi negara adalah dalam mekanisme pemilihan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia pasca kepemimpinan Jendral Polisi Sutarman. Dimana Polri memiliki calon tunggal yang sudah melalui proses fit and proper test di tingkat DPR yakni Kalemdikpol ( saat dicalonkan ) Komisaris Jendral Budi Gunawan. Hal ini kemudian mendapat pertentangan dari masyarakat Indonesia terutama pemerhati korupsi dimana secara tiba-tiba Komjen Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ) sehingga proses pencalonan Komjen BG menjadi terhambat oleh penetapan tersangka oleh KPK tersebut.
Hal tersebut tentu saja menjadi polemik karena Komjen BG adalah calon tunggal Presiden RI yang didukung Komisi III DPR setelah melalui fit and proper test untuk menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia menggantikan Jendral Polisi Sutarman. Kemudian Komjen BG pada periode 2 Februari 2015 melakukan langkah hukum dengan menggugat penetapan tersangka oleh KPK melalui proses pra peradilan yang belakangan tepatnya pada 16 Februari 2015 gugatan dimenangkan oleh Komjen BG karena ternyata menurut hakim yang memimpin sidang tersebut bahwa penetapan BG sebagai tersangka tidak sah dan tidak bersifat mengikat secara hukum.[4]
Namun demikian setelah melalui proses hukum yang panjang dan melalui pertimbangan sosiologis dan yuridis akhirnya Komjen BG batal dilantik menjadi Kapolri meski secara segi yuridis Komjen BG memenangkan gugatan pra peradilan dan dinyatakan tidak bersalah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Akan tetapi pertimbangan sosiologis-lah yang membuat Komjen BG batal maju ke tampuk pimpinan tertinggi Polri hal itu juga dilakukan atas pertimbangan menjaga nama baik institusi kepolisian sebagai lembaga keamanan negara. Sehingga kemudian Wakapolri Komjen Badrodin Haiti ditunjuk untuk menjadi PLT Kapolri hingga ada Kapolri baru yang definitive. Mengapa perlu pertimbangan sosiologis? Dan mengapa begitu besar peran DPR dalam menentukan siapa yang layak untuk menjadi Kapolri? Hal tersebut  sesuai dalam Tap MPR RI No.VI/MPR/2000 dan Tap MPR RI No.VII/MPR/2000 yang kemudian diatur lebih lanjut dengan UU no. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dimana Polri merupakan alat negara dengan tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Selain tugas pokok tersebut, Polri juga melaksanakan tugas bantuan.[5] Dukungan administrasi pemerintahan terhadap Polri diberikan dalam hubungan berupa keterkaitan berbagai unsur seperti suprastruktural, struktural, substruktural dan infrastruktural. Sedangkan manajemen pemerintahan negara memberi dukungan dalam bentuk proses implementasi kegiatan-kegiatan pada masing-masing struktur terutama dalam lingkungan unsur struktural dan substruktural. Unsur suprastruktural Polri ditampilkan dengan adanya lembaga-lembaga Polri dan jabatan-jabatan dalam Polri yang semuanya memerlukan dukungan administrasi pemerintahan negara atau dukungan administrasi negara dalam pengertian yang sangat luas. Unsur infrastruktural Polri terdiri dari personil Polri yang duduk dalam lembaga-lembaga negara dan jabatan-jabatan negara yang tentu saja mempunyai hubungan yang sangat erat dengan proses administrasi negara dalam rangka penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan negara. Perumusan dan penetapan kebijaksanaan pemerintahan dilaksanakan dalam hubungan antara pemerintah dan pihak-pihak lain di luar pemerintah sesuai dengan kekuasaan, kewenangan dan kewibawaan yang melekat pada pemerintah negara untuk mengatur berbagai aspek kehidupan pihak-pihak lain yang memang perlu dan memang terdapat kemampuan itu pada pemerintah untuk melakukannya. Dalam konteksnya pada UU No.2 tahun 2002, pada administrasi kepolisian diuraikan tentang diaturnya lembaga kepolisian nasional yang tugasnya memberikan saran kepada Presiden tentang arah kebijakan kepolisian dan pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sesuai amanat Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000, selain terkandung pula fungsi pengawasan fungsional terhadap kinerja Polri sehingga kemandirian dan profesionalisme Polri dapat terjamin.
Hal diatas menggambarkan betapa erat kaitannya antara hubungan administrasi kenegaraan dengan administrasi kepolisan sebagai contoh kasus dalam mekanisme pemilihan calon Kapolri dimana Komjen BG sebagai calon tunggal Kapolri meski merupakan calon tunggal Presiden Jokowi dan sudah melalui mekanisme uji kelayakan di DPR, Komjen BG menerima dengan ikhlas untuk keputusan dirinya batal dicalonkan sebagai calon Kapolri atas dasar pertimbangan sosiologis. Hal ini menunjukkan bahwa peran rakyat melalui wakilnya yang duduk di dewan ikut mempengaruhi proses mekanisme penunjukkan seorang calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Akan tetapi patut diketahui bersama bahwa hal ini tidak serta merta mempengaruhi seluruh mekanisme administrasi kepolisian dalam hal mutasi jabatan pimpinan Polri, hanya terbatas pada pemilihan Kapolri saja. Sebagai contoh, pemilihan calon Wakapolri adalah hak prerogative Kapolri yang dilakukan melalui proses sidang internal yang dikenal dengan Wanjakti, jadi siapapun calon yang dipilih oleh Kapolri definitive untuk menjadi Wakapolri selaku pembantu Kapolri dalam melaksanakan tugas pimpinan Polri adalah merupakan keputusan internal Polri yang tidak dapat diganggu gugat atau di intervensi oleh pihak luar.


BAB III
KESIMPULAN
Administrasi negara umumnya diartikan sebagai keseluruhan proses penyelenggaraan kegiatan pemerintahan negara menuju tercapainya apa yang menjadi tujuan negara dan terlaksananya tugas-tugas bersama negara, pemerintah dan seluruh masyarakat bagi terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan makmur, maju dan sejahtera. Administrasi yang mengandung aspek-aspek kelembagaan, kepegawaian, ketatalaksanaan dan sarana serta fasilitas kerja berlaku juga untuk administrasi kepolisian negara republik Indonesia. Karena hal tersebut saling berkaitan erat dimana administrasi kepolisian adalah bagian dari administrasi negara dan system kepolisian suatu negara sangat terpengaruh dan bergantung dari bagaimana system pemerintahan suatu negara itu sendiri berjalan. Dalam menjalankan roda pemerintahan tidak lepas dari yang namanya manajemen dan administrasi. Maka menjasi jelas dalam hal manajemen yang merupakan proses atau kemampuan mencapai tujuan dengan memanfaatkan sumber-sumber daya manusia dan bukan manusia dalam satu organisasi berlaku pula untuk manajemen Polri. Jadi semakin jelaslah adanya hubungan antara administrasi pemerintahan dengan tugas pokok Polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat serta aparatur pemerintah dalam hal penegakan hukum dan pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.










DAFTAR PUSTAKA

1.    Undang-Undang No.2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2.    Djamin, Awaloedin. Mei 2011. Sistem Administrasi Kepolisian. Jakarta : YPKIK ( Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian ).

3.    http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi. Tgl akses : 12 April 2015 pukul 19.00 WIB.

4.    http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_bg_kpk. Tgl akses: 12 April 2015 pukul 19.00 WIB.








[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi
[2] Djamin,Awaloedin. 2011. Sistem Administrasi Kepolisian. Jakarta: YPKIK. Bab I hal 1 paragraf ke-2.
[3] Ibid., hal. 5.
[4] http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_bg_kpk
[5] Op.cit.

Senin, 16 Maret 2015

PROFESIONALISME DAN MENTALITAS IDEAL PERSONIL POLRI DALAM MENGHADAPI TANTANGAN TUGAS


BAB I
PENDAHULUAN
1.1    LATAR BELAKANG
Indonesia adalah suatu negara hukum yang besar dan apabila kita ibaratkan sebagai sebuah organisasi maka negara kita memiliki suatu sistem dalam menjalankan pemerintahan yang mana tentunya juga memiliki apa yang disebut sebagai sub-system sehingga dapat terciptanya suatu ketersinambungan dalam menjalankan rantai organisasi untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Yang diibaratkan penulis disini sebagai bagian dari system organisasi adalah lembaga kenegaraan yang dalam pembahasan ini  salah satunya merupakan  sub-system yang khusus bergerak dibidang hukum dan perundang-undangan untuk menjaga tatanan nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat dan sub system itu adalah aparat pemerintah yang terdiri dari polisi, jaksa dan hakim dan ketiganya merupakan penegak hukum yang ditunjuk dan memiliki kewenangan dalam menegakkan hukum untuk menciptakan keadilan dan rasa aman ditengah-tengah masyarakat tentunya dengan prosedur yang telah diatur sesuai dalam undang-undang yang berlaku yang selanjutnya kita ketahui bersama tergabung dalam mekanisme Criminal Justice System.
Polisi dalam peranannya memelihara keamanan dan ketertiban memiliki dimensi yang luas dan tidak dapat diukur karena tugas Polisi begitu kompleks mengikuti perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Seiring berkembangnya zaman maka permasalahan yang muncul dan modus operandi kejahatan selalu berubah dan selangkah lebih maju dibandingkan dengan regulasi hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Maka dari itu, seorang individu Polri diharapkan memiliki profesionalisme dan mental yang baik dan sesuai dengan apa yang telah dituangkan dalam pedoman Polri yakni Tri Brata dan Catur Prasetya untuk dapat mengantisipasi dan menghadapi tantangan tindak criminal dan beragam tugas kepolisian lainnya yang berkaitan dengan harkamtibmas. Ironisnya, petugas polisi meski sudah melalui beragam proses seleksi mulai dari tahap pengadaan ( rekruitmen dan seleksi ), tahapan pendidikan hingga saat sampai ke tahap penggunaan maka akan muncul masalah baru yang berkaitan dengan public trust dan abuse of power. Hal inilah yang seharusnya ditelaah lebih lanjut apakah ada hubungannya dengan tahapan selanjutnya dalam proses SDM yakni tahap perawatan dan tahap pemisahan. Karena hakekatnya tahapan tersebut tidak dapat dipisahkan dan berkaitan satu dengan yang lainnya.
Bila dibandingkan dengan KPK sebagai lembaga ad hoc yang mendapat dukungan people power atas kontribusinya dalam memerangi kejahatan korupsi seharusnya Polri juga mendapatkan kesempatan yang sama berupa dukungan kepercayaan publik dalam memerangi kasus korupsi. Cermin polisi yang bagi sebagian besar masyarakat Indonesia masih dinilai jauh dari harapan masyarakat seharusnya mendapat koreksi berupa dukungan terhadap intitusi penegak hukum khususnya Polri dari golongan  cendekiawan dan pemerhati hukum karena Indonesia adalah negara hukum  yang dimana masyarakat dan pemerintahnya harus bisa saling menghormati dan menghargai. Alangkah tidak bijaksana bila kita membanding-bandingkan antara KPK dengan Polri karena pada hakikatnya kedua lembaga ini bersama dengan intitusi kejaksaan adalah lembaga penegak hukum yang sama-sama memberantas rasuah.
Diharapkan melalui tulisan ini Polri sebagai etalase terdepan dalam dinamika penegakan hukum dan pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat mampu menjadi institusi yang kembali mendapatkan kepercayaan penuh masyarakatnya. Dengan menyongsong Grand Strategy Polri dan pembenahan internal melalui sumber daya manusia dilihat dari pembenahan kesejahteraan, mentalitas aparat dan peningkatan kualitas pendidikan maka diharapkan Polri kedepannya semakin professional dan sesuai dengan harapan masyarakat.

1.2    RUMUSAN MASALAH
Dari uraian pendahuluan diatas maka rumusan masalah yang penulis gunakan adalah:
1. Bagaimana seharusnya Polri yang professional ?
2. Apa yang menjadi ukuran mentalitas aparat penegak hukum yang diharapkan oleh masyarakat ?
3. Seperti apa sumber daya personil Polri yang dibutuhkan oleh organisasi dalam menghadapi tantangan di masa depan yang sesuai dengan pedoman Polri yakni Tri Brata ?
4. Apa strategi yang seharusnya dilakukan oleh Polri untuk mencapai dukungan publik dalam menyelenggarakan penegakan hukum dan harkamtibmas?


BAB II
LANDASAN TEORI
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya sebagai objek kajian. Ekologi itu sendiri berasal dari Bahasa Yunani yaitu Oikos ( habitat ) dan Logos ( ilmu ). Ekologi adalah ilmu yang mempelajari baik interaksi antar mahkluk hidup maupun interaksi antara mahkluk hidup dengan lingkungannya ( Ernst Haeckel 1834-1914 )[1]. Ekologi pada awalnya hanya mempelajari berbagai proses alamiah yang ada di dunia mulai dari rangkaian proses regenerasi mahkluk hidup hingga akhirnya berkembang menjadi ilmu yang mempelajari berbagai dinamika kehidupan sosial masyarakat yang disesuaikan dengan tingkatan akal dan budaya manusia[2]. Hal ini erat kaitannya dengan apa yang akan dibahas oleh menulis dimana pengaruh interaksi antara aparat penegak hukum ( polisi, jaksa dan hakim ) dan interaksi antara penegak hukum dengan lingkungannya ( masyarakat ) sangat berpengaruh dalam kelangsungan ekosistemnya, dalam hal ini maka ekosistem bisa diartikan sebagai lingkungan organisasi lembaga penegak hukum khusunya Polri yang memiliki tujuan dari organisasi yaitu pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat dan penegakan hukum dalam upaya menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
George R. Terry dalam bukunya Principle of Management menyebutkan sebuah teori bahwa enam sumber daya yang harus dimiliki dalam memanage sebuah organisasi yaitu:
1. Man ( sumber daya manusia )
Dalam mendukung organisasi Polri maka Biro SDM memiliki andil yang besar mulai dari system perekrutan anggota Polri dangan standar yang sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan publik hingga tahap perawatan dengan tunjangan dan gaji yang baik sampai tahap pengakhiran dinas personil Polri. Hal ini memiliki pengaruh paling esensial dalam mencerminkan kualitas personil Polri yang dimiliki. Semakin tinggi standar sumber daya manusia maka rangkaian sikklus SDM setelah tahap pengadaan sampai yang terakhir tahap pengakhiran harus memiliki standar baku yang jelas dan terukur.
2. Materials ( logistic )
Logistic memegang peranan penting dalam organisasi Polri. Tanpa adanya dukungan logistic yang memadai maka kinerja anggota Polri di lapangan akan mengalami kesulitan. Logistic juga harus mencerminkan kesiapan dan ketangguhan institusi Polri dalam memerangi kejahatan dan penjaga kedamaian di tengah-tengah masyarakat. maka dari itu logistik[3] hendaknya melambangkan jati diri Polri dan mampu merebut simpati rakyat dengan penyediaan logistic yang cukup dan bermanfaat bagi anggota Polri di lapangan sehingga masyarakat merasakan keberadaan Polri yang ditunjang dengan pencitraan Polri yang baik.
3. Machines ( mesin, sarana pra sarana )
Sarana dan pra sarana adalah syarat mutlak bagi personil Polri dalam melaksanakan tugas baik itu sebagai personil di lapangan maupun personil staff. Kinerja akan efektif bila didukung dengan teknologi yang baik dan sesuai akan kebutuhan kerja.
4. Method
Metode dalam pelaksanaan tugas di lapangan sangat dibutuhkan oleh organisasi dalam mencapai tujuan dengan efektif. Demikian hal nya dengan Polri, dalam mencapai tujuan Polri telah mencanangkan Grand Stategi Polri yang berisi rencana jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
5. Money dan
Uang tidak pernah bisa lepas dari kebutuhan dalam menjalankan organisasi. Semua hal bersifat rasional selalu memiliki parameter nilai ekonomis. Pentingnya perencanaan penganggaran dalam institusi Polri merupakan wujud dari konsekuensi Polri dalam upaya melayani masyarakat dan memelihara kamtibmas.
6. Market
Dalam aspek market, Polri memiliki tujuannya sendiri yakni harkamtibmas dan penegakkan hukum. Karena masyarakat adalah objek utama Polri dalam melaksanakan tugasnya. Ketika polisi berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik, maka disitu nilai jual Polri meningkat dengan wujud apresiasi dan penghargaan dari masyarakatnya. Polisi ada karena masyarakat, dan untuk itu polisi mengabdi kepada masyarakat.



BAB III
PEMBAHASAN
     Profesional dalam lingkup budaya polri tidak lepas dari sejarah bagaimana Kepolisian Negara Republik Indonesia bisa menjadi besar seperti sekarang ini. Apabila kita mengupas sejarah maka Polri dahulunya merupakah satu wadah dengan TNI yang kemudian dikenal dengan sebutan ABRI. Seiring berjalannya waktu, Polri lalu memisahkan diri dari TNI karena Polri berusaha menjadi pelayan masyarakat yang “membumi” , non militeristik sesuai dengan fungsi tugasnya yang diemban yakni pemelihara kamtibmas dan penegakkan hukum dimana dalam pelaksanaan tugasnya Polri sangat erat dengan masyarakat, berbeda dengan TNI yang fungsi tugasnya lebih bersifat militer dan merupakan pertahanan negara dalam menjaga kedaulatannya dari serangan negara lain. Disinilah titik tolak polisi professional yang sesuai dengan kehendak rakyat, dimana Polisi diharapkan lebih “sipil” dan lebih mambaur dengan masyarakatnya sehingga masyarakat merasa tenang, aman dan merasa memiliki polisinya yang hadir ditengah mereka. Namun demikian merubah kultur yang sudah melekat bertahun-tahun lamanya tidaklah semudah dan secepat yang diharapkan. Watak dan karakter militeristik yang melekat kuat dengan institusi Polri melalui personilnya masih sangat kuat. Sifat hirarkhi yang militeristik meski sudah ada upaya “pensipilan” hirarkhi melalui perubahan sebutan pada pangkat namun tidak juga merubah watak yang sudah terlanjur melekat. Pengaruh ini biasanya diperoleh dalam masa pembentukan dari masyarakat umum dibentuk menjadi sosok petugas Polri yang memiliki tingkat disiplin yang sesuai dengan kebutuhan organisasi, namun pada prakteknya hal tersebut sering disalahartikan dan kurang dipahami oleh para instruktur sehingga bisa mengakibatkan pengasuhan yang condong ke militeristik daripada membentuk karakter kepribadian polisi yang sipil.
Dalam KBBI kata profesionalisme[4] berasal dari kata dasar profesi[5] yang artinya pekerjaan dengan dilandasi pendidikan atau keahlian tertentu dengan sistim imbalan yang terukur. Maka jika ditarik benang merahnya profesi polisi harus dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki keahlian dan kemampuan khusus dibidang kepolisian sehingga keahliannya dapat dirasakan oleh khalayak ramai. Oleh karena itu profesionalisme perlu ditunjang dengan mentalitas kepribadian yang baik sesuai dengan yang terkandung dalam pedoman Polri yakni Tri Brata dan Catur Prasetya demi menciptakan personil Polri yang tahu betul akan tanggung jawabnya dan tugas utamanya dalam melayani masyarakat.
     Mentalitas aparat Polri adalah dasar utama dalam keberhasilan tugas Polri, karena tanpa didukung adanya sikap dan sifat mental yang baik dari individu Polri maka penyalahgunaan kewenangan akan sering dilakukan oleh petugas Polri. Seperti kita ketahui bersama bahwa Polri memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan diatur juga dalam KUHAP no 8 tahun 1981. Parameter mentalitas personil Polri yang baik sudah ditanamkan sejak pembentukan pertama menjadi anggota Polri dan dari sejarah melekat kuat pada citra mantan Kapolri kita Jenderal Polisi Purn. Hoegeng, namun demikian pengaruh lingkungan sesuai teori ekologi yang dibahas penulis diatas bahwa komunitas atau lingkungan atau yang disebut dalam teori sebagai bagian dari ekosistem sangat berpengaruh  pada perubahan mental petugas Polri. Disinilah peran dari perwira, atasan dan keluarga yang memiliki pengaruh sangat besar dalam mempertahankan mental anggota kepolisian agar tidak melenceng dari apa yang seharusnya untuk dapat mencegah terjadinya penyelahgunaan kewenangan. Pengawasan melekat oleh atasan dan pembinaan rohani menjadi bagian dari program pimpinan untuk tetap menjaga mental bawahannya agar tetap terjaga dan terhindar dari penyalahgunaan kewenangan atau tindakan indisipliner lainnya. Dengan wasdal melekat oleh pimpinan dan keharmonisan rumah tangga personil Polri maka akan sangat berpengaruh terhadap kinerja personil tersebut di lapangan, demikian juga sebaliknya.
Terdapat berbagai kiat agar kepribadian Tri Brata sebagai pedoman hidup Polri dapat bersinergi dengan sumber daya manusia yang dimiliki Polri, hal ini diharapkan dapat meningkatkan profesionalitas personil Polri dan meningkatkan mutu SDM yang ada sehingga etos kerja dan budaya organisasi dapat menjadi hal yang berkulitas dan memberi pengaruh positif pada hasil yang akan dicapai oleh organisasi Polri melalui berbagai macam program yang telah dicanangkan oleh pimpinan Polri. Adapun hal dimaksud adalah sebagai berikut :
1. System pembinaan personil di biro SDM baik itu Binkar, Dalpers, Watpers harus mampu bersinergi sebagai satu kesatuan yang utuh dibawah payung biro SDM. Tidak meononjolkan egosentrisme internal di sector pekerjaan melainkan mengedepankan rasa kebersamaan dapat menjadi formula yang ampuh untuk melakukan pembinaan personil polri yang ada di wilayah. Apabila biro SDM berjalan dengan baik maka akan sangat berpengaruh terhadap organisasi Polri di tingkat kewilayahan dan hal ini juga memiliki efek domino apabila berlaku sebaliknya, jika tatanan dan kinerja biro SDM banyak mendapatkan sorotan dari pimpinan Polri dan memiliki hambatan yang plural tanpa ada solusi maka akan berpengaruh pula ke organisasi jajaran yang ada di wilayah.
2. Perlu digarisbawahi bahwa pengejawantahan makna dari pedoman Polri yakni Tri Brata dan Catur Prasetya harus menjadi parameter moral bagi insan Polri di pusat hingga wilayah. Komitmen moral adalah salah satu wujud nyata dari jargon revolusi mental yang belakangan ini diusung oleh Polri, hal ini memiliki trend positif dikalangan kepolisian baik secara internal maupun hubungan eksternal dengan lembaga seperi kompolnas, LPSK dan lainnya.
3. Peningkatan kompetensi para personil Polri sesuai bidang fungsi tugasnya adalah suatu keharusan karena Polisi sebagai profesi, harus diperankan oleh tenaga professional yang memiliki standar baku mutu ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan bidang pekerjaannya. Polisi modern yang terpelajar dan menguasai bidang tugasnya akan sangat membantu organisasi dan masyarakat. Peningkatan kompetensi dapat dilakukan dengan mengadakan dan mengikutkan personil Polri yang dipilih untuk menjadi peserta pendidikan dan pelatihan seperti sekolah kejuruan pengembangan spesialisasi fungsi tertentu, kursus fungsi kepolisian sebagai wujud kerjasama dengan pemerintah negara asing seperi JCLEC, ILEA dan sebagainya, sekolah pengembangan karir seperti secapa, selapa, sespima, sespimen hingga sespati.
4. Punish dan reward selalu dapat menjadi parameter keberhasilan petugas kepolisian dalam berdinas melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Bentuk reward dapat menjadi motivasi dan self esteem bagi penerima reward, anggota merasa kerja kerasnya diperhatikan oleh pimpinan dan merupakan kebanggaan untuk bisa berhasil dibidang pekerjaan yang digelutinya. Demikian halnya dengan punishment, dari sudut pandang positif adalah merupakan suatu bentuk motivasi yang berupa teguran baik lisan maupun tertulis yang diberikan pimpinan kepada anggotanya untuk mendorong anggota yang bekerja dibawah standart dan tidak memberikan kontribusi yang cukup kepada organisasi Polri untuk dapat membenahi kinerjanya agar personil tersebut menjadi bermanfaat bagi organisasi Polri dan masyarakat. Hal inilah yang menjadi jurang pemisah antara Good Cop yang bekerja dengan etos kerja tinggi dan motivasi yang baik dengan menganut konsep Tri Brata dalam setiap pelaksanaan tugasnya dengan Bad Cop yang tidak memiliki visi dalam bekerja, unconsistent, dan tidak memiliki standart kinerja yang pantas, biasanya polisi tipe ini juga tidak memberikan kontribusi yang positif kepada masyarakat dan kedepannya malah memiliki potensi negatif yang dapat merugikan organisasi Polri.
Sesuai makna yang tergantung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya maka setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya harus memiliki[6]:
1. Attitude yang baik, tercermin dalam sikap perilaku, integritas moral, disiplin, semangat dan dedikasi yang tinggi dalam pelaksanaan tugasnya.
2. Knowledge, memiliki wawasan pengetahuan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan memiliki kemampuan untuk menguasai teknologi sejalan dengan perkembangannya yang sesuai dan bermanfaat untuk mendukung pelaksanaan tugasnya.
3. Inter Personal Skill, merupakan kemampuan dan ketrampilan dasar yang harus dimiliki oleh setiap insan Polri, dalam berkomunikasi dan berinteraksi  (human relation) baik dalam rangka pelaksanaan tugasnya maupun dalam kehidupan sehari-hari.
4. Technical Skill, mencakup kemampuan, kemahiran dan keahlian baik teknik, taktik, strategi, maupun manajemen yang didukung dengan pertanggung jawaban administrasi sesuai dengan jenis bentuk dan tatarannya.
Keempat aspek diatas saling berkaitan erat satu sama lain yang secara simultan harus ditumbuh kembangkan oleh setiap insan Polri sebagai aparat penegak hukum yang profesional yang dilandasi dengan nilai-nilai luhur dalam Tribrata, integritas moral, etika profesi dan berpegang teguh pada komitmen yang telah disepakati dalam pelaksanaan tugasnya.
Beberapa tahun belakangan ini kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Polri mulai pudar bersamaan dengan beberapa kejadian yang membuat publik bertanya-tanya akan integritas personil Polri mulai dari beberapa kasus seperti Polri VS KPK, Cicak lawan Buaya, rekening gendut, kasus Simulator SIM, dan lain sebagainya membuat Polri semakin berbenah baik secara internal maupun eksternal. Berbagai kasus tersebut tidak lepas karena Polri sebagai etalase terdepan pelayan publik di bidang hukum dan pemelihara kamtibmas yang mana dalam setiap tindak tanduknya selalu bersentuhan dengan masyarakat, maka berbagai kritik dan opini yang berkembang di masyarakat seharusnya  bukan menjadi faktor yang melemahkan mental personil Polri melainkan sebagai motivasi untuk menjadi lebih baik dari yang sebelumnya dan bertransformasi menjadi polisi sipil yang dikehendaki oleh masyarakat Indonesia. Hal ini membuat Polri mencanangkan program jangka panjang Reformasi Birokrasi Polri yang didalamnya ada Grand Strategi Polri yang mana merupakan garis besar rencana kerja Polri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan rasa aman dan tertib yang terbagi dalam tiga tahapan yakni :
a. Periode 2005 – 2010 Trust Building.
Fokus di periode ini adalah peningkatan pelayanan masyarakat untuk membangun kepercayaan publik terhadap Polri.
b. Periode 2010 – 2015 Tahap Partnership
Berangkat dari periode trust building, maka sekanjutnya masuk ke tahapan partnership dimana Polisi adalah mitra masyarakat. Polisi ada karena masyarakat dan hadir untuk masyarakat, demikian halnya masyarakat juga dapat membantu tugas kepolisian dalam lingkup tertentu karena pada dasarnya masyarakat kita adalah masyarakat yang taat hukum dan mengerti akan aturan perundang-undangan. Maka dengan partisipasi masyarakat dalam upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban merupakan suatu langkah progresif yang harus sudah dicapai di era tahapan partnesship ini. Adapun yang dikedepankan oleh organisasi polri adalah unsur polmas dengan babinkamtibmas sebagai garda terdepan dalam membina hubungan dengan masyarakat melalui suatu program FKPM yang memiliki wadah BKPM untuk menampung aspirasi masyarakat terhadap berbagai gejolak permasalahan yang timbul di masyarakat sehingga diharapkan deteksi dini dan penyelesaian perkara ringan dapat sampai ditingkat ini. Karena sesuai aturan dan sikap profesionalitas permasalahan yang sudah sampai di kantor polisi dan dibuatkan LP sudah seharusnya berjalan prosedur dan sesuai atruan yang berlaku sehingga tidak mengenal ADR atau pencabutan laporan sementara kasus tersebut bukan delik aduan atau yang lebih fatal lagi yang biasa disebut delapan enam perkara. Hal seperti demikian harus sudah dapat dihindari untuk menuju tahapan polisi masa depan yang professional, transparan dan akuntabel.
c. Periode 2016 – 2025 Tahap Strive for Excellence
Tahapan ini diharapkan Polri dapat mempertahankan profesionalitas dan mentalitas yang baik seperti yang dikehendaki publik dan selalu berjuang untuk kesempurnaan karena pada hakikatnya kita sudah di jaman globalisasi dan era kejahatan yang semakin canggih juga  tidak mengenal batas. Maka Polri harus dapat mengembangkan dirinya agar selalu selangkah lebih maju bila dibandingkan dengan permasalahan yang ada dan semakin berkembang di masyarakat. Perbaikan infrastruktur, good governance dan kompensasi pada personil POlri dari pangkat terendah sampai pangkat tertinggi adalah suatu kewajaran mengingat Polri sudah sampai di level yang mana menjunjung tinggi profesionalitas yang digaungkan masyarakatnya, transparan dalam pelayanan dan akuntabel dalam pelaksanaan tugas.
     Diharapkan dengan strategi diatas maka Polri dapat menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat juga penegak hukum yang professional, transparan dan akuntabel sehingga publik merasa terbantu dan keberadaan Polri sungguh sangat dirasakan.

BAB IV
PENUTUP
4.I KESIMPULAN
     Masyarakat Indonesia sekarang ini menyoroti kinerja kepolisian, mereka membutuhkan polisi yang professional dan memiliki mentalitas serta integritas yang baik. Polri sendiri telah memiliki pedoman kode etik dan pranatanya sendiri untuk menetapkan standar professional dan mentalitas bhayangkara sebagai Abdi utama masyarakat. Namun demikian adalah bukan suatu hal yang mudah bila kita menghendaki polisi yang notabenenya memiliki sejarah militer dan hingga saat ini pada sebagian oknum mental aparatnya masih ada yang cenderung bermental priyayi, namun hal tersebut merupakan dinamika dimana Polri dengan kritikan publik maka akan selalu akan belajar dan berbenah untuk membangun dirinya ( baca: institusi ) untuk menjadi lebih baik. Parameter professional dan mental yang baik itu sendiri dapat tercermin dari kemampuan aparat Polri dalam melaksanakan Tupoksinya yang utama yakni to protect dan to serve, apabila masyarakat sudah merasa ter-protect dan terlayani dengan baik, maka publik akan menilai Polri sudah professional. Jadi kata professional itu bukan lahir atas penilaian aparat Polri itu sendiri, melainkan lahir secara tulus dari hati masyarakat yang merasa terbantu, terlindungi, dan terlayani melalui hadirnya Polri.
4.2    SARAN
Adapun untuk menjadi Polisi yang professional kita harus berbenah secara holistic dan hal tersebut dimulai dari revolusi mental terhadap diri sendiri. Berpedoman pada Catur Prasetya dan Tri Brata serta memegang teguh Kode Etik Profesi Polri adalah tolak ukur untuk menjadi polisi professional yang bermental humanis, akuntabel dan sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat luas.


DAFTAR PUSTAKA
1.       Hutagalung RA. 2010. Ekologi Dasar. Jakarta. Hlm: 20-27
2.       Prof.Sudarsono, Teguh. 2014. Bunga Rampai.  Jakarta
3.       http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php. Maret, 2, 2015 pukul 13:08 wib
4.       https://krisnaptik.wordpress.com/tag/jati-diri-polri/. Maret 2, 2015 pukul 13.30 wib
5.       Prof. Reksodipuro, Mardjono.“Ilmu Kepolisian dan Profesionalisme Polri” dalam rangka sewindu Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (KIK-UI).
6.       Kunarto, Etika kepolisian, Cipta Manunggal, 1997.
7.       Kelik Pramudya,SH. Dan Ananto Widiatmoko, SH., Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum, cetakan pertama 2010.




[1] Hutagalung RA. 2010. Ekologi Dasar. Jakarta. Hlm: 20-27
[2] Prof.Sudarsono, Teguh. 2014. Bunga Rampai.  Jakarta.
[3] Yang dimaksud penulis disini logistik dalam artian luas, termasuk seragam dinas mulai dari tutup kepala hingga sepatu yang dikenakan petugas di lapangan, semua harus dalam keadaan baik dan rapih sehingga masyarakat yang melihat sosok Polri bisa merasa bangga memiliki petugas Polri di wilayahnya, bukan sebaliknya polisi terlihat tidak rapih.
[4] http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php. Maret, 2, 2015 pukul 13:08 wib. pro·fe·si·o·nal·is·me /profésionalisme/ n mutu, kualitas, dan tindak tanduk yg merupakan ciri suatu profesi atau orang yg profesional: -- perusahaan kecil perlu ditingkatkan dl waktu belakangan ini
[5] pro·fe·si /profési/ n bidang pekerjaan yg dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dsb) tertentu; 
ber·pro·fe·si v mempunyai profesi.

Minggu, 22 Februari 2015

APLIKASI ILMU KEPOLISIAN DALAM PENGUNGKAPAN KASUS KEJAHATAN JALANAN DI POLSEK BATU AMPAR


            Tingkat kriminalitas yang terjadi di kota besar selalu mengalami intensitas yang cenderung naik tiap tahunnya hal ini tidak lepas dari beragamnya faktor yang saling terkait dan mempengaruhi seperti tingginya angka perpindahan penduduk yang bermigrasi dari pedesaan untuk masuk ke suatu wilayah perkotaan dengan harapan untuk mendapatkan hidup yang lebih layak sehingga mengakibatkan peledakan populasi diluar angka kelahiran yang sudah sangat besar dan sayangnya tidak ditunjang dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai sehingga mengakibatkan tingginya jumlah pengangguran yang diikuti dengan naiknya angka kemiskinan hal ini ironis dan berbanding terbalik dengan harapan para pendatang yang ingin mengadu nasib di kota besar demi strata kehidupan ekonomi yang lebih layak, generasi muda kita juga tidak luput dengan rendahnya perhatian pemerintah di bidang pendidikan sehinga sumber daya manusia yang ada masih jauh dari yang diharapkan bahkan untuk memenuhi standar kompetensi penerimaan tenaga kerja di suatu perusahaan meskipun untuk kualifikasi setingkat tenaga helper atau buruh pabrik . Perihal awal inilah yang perlu kita pahami bersama yang dapat mengakibatkan efek domino sehingga berujung pada meningkatnya pengangguran yang berujung pada naiknya angka kriminalitas terutama kejahatan jalanan di perkotaan.
            Batam adalah sebuah kota besar di daerah Provinsi Kepulauan Riau, tempat dimana penulis pernah berdinas selama kurang lebih enam tahun sepanjang karirnya menjadi perwira polisi. Batam adalah kota yang memiliki beragam budaya dan multi etnis hal ini disebabkan tingginya angka pendatang yang datang ke Kota Batam untuk merantau guna mencari lahan pekerjaan demi kehidupan yang lebih baik. Sayangnya terkadang tidak semua pendatang memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan oleh pemilik lapangan pekerjaan yang ada sehingga berujung pada meningkatnya angka pengangguran yang ada di Kota Batam. Sesuai teori kebutuhan dari Abraham Maslow[1] bahwa manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhannya antara lain kebutuhan fisiologis seperti makan, minum, kebutuhan memperoleh keturunan, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial, penghargaan dan terakhir kebutuhan akan aktualisasi diri. Berangkat dari kebutuhan tersebut maka kebutuhan sandang, pangan dan papan juga harus dipenuhi sementara hal ini terbentur dengan kenyataan hidup dimana lapangan pekerjaan terbatas dan sumber daya manusia tidak memenuhi syarat minimal yang dibutuhkan oleh perusahaan sehingga mengakibatkan para pencari kerja menjadi terlantar, bekerja serabutan hingga akhirnya karena alasan terhimpit kebutuhan ekonomi, menjadi pelaku kejahatan. Kejahatan jalanan sengaja penulis pilih bukannya kejahatan kerah putih atau “white collar crime” karena kejahatan jalanan adalah suatu dinamika prilaku masyarakat yang cenderung merasa kurang diterima oleh lingkungannya sehingga individu atau kelompok tersebut menjadi abmoral[2] dan cenderung melanggar norma dan aturan yang ada untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Kejahatan jenis ini dirasakan langsung oleh warga masyarakat, bisa dilihat dan dampak negatifnya berupa rasa takut akibat keadaan mencekam yang ditimbulkan memiliki efek yang cukup signifikan di lingkungan masyarakat yang menjadi tempat kejadian perkara. Contohnya apabila terjadi suatu tindak pidana pencurian dengan kekerasan atau pencurian dengan pemberatan di suatu wilayah seperti perampokan, penjambretan, pembegalan seperti yang sedang marak belakangan ini yang dilakukan oleh geng motor, maka selain korban yang mengalami kerugian secara material maupun immaterial maka lingkungan sekitar juga pasti dicekam rasa takut akibat kejadian tersebut yang pasti akan berimbas kepada melemahnya mentalitas dan potensi yang ada di dalam masyarakat tersebut.
Polsek Batu Ampar sebagai satuan terkecil di jajaran Polresta Barelang tempat penulis pernah bertugas sebagai Kanit Reskrim sudah melakukan berbagai upaya menekan angka kriminalitas utamanya kejahatan jalanan melalui kegiatan kring serse, patroli malam rutin, dan giat razia antisipasi curas dan curanmor yang dilaksanakan tiap akhir pekan. Hal ini tidak lepas dari pengejawantahan kemampuan manajerial dari ilmu kepolisian yang penulis coba aplikasikan di lapangan pekerjaan. Adapun menurut penulis, ilmu kepolisian seyogyanya merupakan multi disiplin ilmu yang mempelajari fenomena yang ada dan berkembang di masyarakat dalam hubungan antar persona berikut akibatnya dan permasalahan yang terjadi setelahnya dari segi hukum, norma dan nilai yang berlaku yang dituangkan dalam standar oprasional prosedur kepolisian sebagai metode pencegahan dan penanggulangan kejahatan yang terjadi untuk menjaga stabilitas keamanan masyarakat, bangsa dan negara. Hasil dari giat kepolisian tersebut ternyata cukup signifikan, meski angka kriminalitas cenderung stabil dan presentase kejadian perkara tidak mengalami penurunan yang drastis, namun angka pengungkapan perkara mengalami peningkatan. Hal ini tidak lepas dari penerapan ilmu kepolisian yang penulis pernah pelajari selama di Akademi Kepolisian khususnya ilmu fungsi teknis reserse dimana penulis belajar tentang penyelidikan dan penyidikan juga fungsi teknis binmas yang sangat memberikan manfaat bagi penulis saat melakukan pendekatan dengan tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda sehingga penulis sering mendapatkan informasi berharga yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi di wilayah hukum Polsek Batu Ampar tempat penulis berdinas.
Ilmu kepolisian memiliki manfaat yang beragam yang tidak hanya bisa dirasakan oleh anggota Polri, melainkan juga masyarakat luas, dengan memahami esensi dari ilmu kepolisian dan memahami proses aplikasi atau penerapan dari ilmu kepolisian ini maka kita sebagai warga negara dan sebagai bagian dari komunitas masyarakat yang melek hukum telah mempelajari suatu dinamika sosial dan melihat suatu persoalan di masyarakat dari segi penegak hukum. Memang banyak kontroversi yang terjadi dimana dalam ditegakkannya hukum untuk mencapai keadilan bagi khalayak ramai pasti akan ada yang merasa “dikorbankan” dan tidak lain mereka adalah pelaku kejahatan dan mereka yang memang bertentangan dengan nilai dan norma. Maka kemudian di tahapan ini akan muncul isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan lain sebagainya. Namun itulah resiko yang harus ditempuh dan dihadapi oleh seorang penegak hukum yang tergabung dalam criminal justice system. Dengan mempelajari ilmu kepolisian yang berisi tentang berbagai interdisiplin ilmu maka kita tidak akan merasa canggung dan bimbang dengan keputusan atau diskresi yang kita buat dalam rangka penegakan hukum dan kita seharusnya paham sudah menjadi resiko pekerjaan kita bahwa pelanggar hukum tidak akan pernah seirama dengan aparat penegak hukum dan mereka akan selalu mencari celah untuk lolos dari jeratan hukum dan sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kita untuk mengatasi permasalahan dengan melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadap setiap tindak kejahatan yang terjadi. Sesuai teori dari Robert K. Cohen dengan “routine activities theory”-nya yang menyatakan bahwa kejahatan terdiri dari rangkaian elemen yakni adanya motivated offender ( pelaku kejahatan yang memiliki motivasi ), a suitable target ( calon korban potensial yang dijadikan target oleh pelaku kejahatan ) dan absence of capable guardian ( tidak adanya pihak ketiga yang berperan sebagai penjaga atau penghalang dalam pelaku beraksi ) maka apabila salah satu dari elemen ini tidak ada maka suatu tindak pidana akan sulit terjadi. Dalam ilmu kepolisian maka aparat penegak hukum adalah merupakan guardian atau penjaga, makna dari guardian dalam teori ini sebenarnya tidak hanya mengacu pada polisi melainkan pada setiap individu yang memiliki potensi dan mampu berpredikat debagai pengagal atau pencegah kejahatan. Kembali kepada ilmu kepolisian maka atensi sebagai penjaga sudah melekat pada petugas baik yang berseragam maupun non seragam di lokasi yang rawan kejahatan. Giat patroli rutin merupakan salah satu pengaplikasian dari teori ini secara nyata.
Ilmu kepolisian tidak hanya bersifat teoritis namun juga aplikatif dan bermanfaat dalam dinas bagi petugas kepolisian, dengan mempelajari ilmu kepolisan dan berbagai interdisiplin ilmu yang ada didalamnya akan membuat petugas polisi semakin memahami tugas dan tanggung jawabnya serta menerapkan berbagai metode yang efisien dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya yakni melindungi, mengayomi dan melayani mayarakat juga sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.





[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Motivasi/ Teori motivasi yang paling terkenal adalah hierarki teori kebutuhan milik Abraham Maslow.[3] Ia membuat hipotesis bahwa dalam setiap diri manusia terdapat hierarki dari lima kebutuhan, yaitu fisiologis (rasa lapar, haus, seksual, dan kebutuhan fisik lainnya), rasa aman (rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan emosional), sosial (rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan), penghargaan (faktor penghargaan internal dan eksternal), dan aktualisasi diri (pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri).
[2] http://ms.wikipedia.org/wiki/Abnormal/ Abnormal behavior violates the standardization community. When a person fails to comply with the rules of morality and society, this behavior is considered abnormal. However, the extent of these violations and how often it is violated by others should be taken into account.