Kasie Juntrad

Kasie Juntrad
I was a cadet

Senin, 18 Mei 2015

DETEKSI DINI DALAM STUDI KASUS : PEMBAKARAN POLSEK LIMUN

BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang memiliki akulturasi budaya dimana kekayaan tidak hanya dari sumber daya alamnya namun juga terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama, ras dan adat istiadat. Keanekaragaman  ini haruslah dijaga sehingga diwujudkan suatu pedoman hidup yakni Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mampu menyatukan semua perbedaan yang ada. Akulturasi budaya ini juga menjadi faktor utama ( selain hubungan interaksi sosial antar manusia ) lahirnya suatu ekses yakni apa yang kemudian kita sebut dengan konflik. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Sedangkan menurut Robbins, konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993). Beberapa teori tentang konflik tersebut menjelaskan bahwa konflik merupakan hal yang wajar terjadi dalam kehidupan interaksi antar hubungan sosial manusia. Hal ini juga menjelaskan bahwa Indonesia dengan keberagaman kultur budayanya memiliki tingkat kerawanan konflik yang cukup tinggi, sehingga dalam menyikapi hal tersebut maka diperlukan bagi negara untuk membentuk suatu deteksi dini sehingga dengan adanya deteksi dini diharapkan mampu mengenali tingkat kerawanan dan potensi kejadian gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang dapat terjadi di masa mendatang untuk kemudian dihindari ataupun ditanggulangi sehingga tidak menimbulkan ekses yang bersifat destruktif atau merugikan negara dan warganya.
Fungsi deteksi dini atau yang kemudian juga banyak dikenal dengan nama early warning system, sebetulnya sudah dikenal sejak jaman dahulu di masa kerajaan masih berjaya dan digunakan oleh birokrat dalam konteks ketatanegaraan khususnya pertahanan dan keamanan. Fungsi ini diemban oleh intelijen dan memiliki pengaruh yang dominan bahkan selalu digunakan dalam setiap operasi militer untuk memetakan kekuatan musuh dan luas wilayah yang akan direbut. Hal ini menerangkan bahwa penggunaan deteksi dini oleh intelijen sebagai penyuplai informasi yang sifatnya strategis selalu digunakan dalam berbagai elemen kehidupan. Kegiatan umum dari Intelijen itu sendiri meliputi pengumpulan bahan keterangan, menganalisa informasi yang didapat, serta kemudian hasil analisa tersebut yang telah diolah menjadi suatu produk pelaporan diberikan kepada pimpinan atau pembuat kebijakan untuk membuat suatu keputusan dalam mencapai tujuan organisasi. Keterkaitan inilah yang menjelaskan mengapa fungsi intelijen yang mendapat amanah untuk melakukan deteksi dini.
Intelijen di kepolisian dalam hal operasional kegiatannya meliputi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan. Hal ini memiliki tujuan yang sama yakni untuk memperoleh informasi, mengamankan objek seta cipta kondisi yang membuat pelaksanaan tugas Polri lainnya menjadi kondusif. Kegiatan ini bisa dilaksanakan secara terbuka maupun tertutup.
Dalam tulisan ini penulis mencoba memaparkan apa fungsi dari deteksi dini bila dikaitkan dengan kasus pembakaran terhadap Polsek Limun di daerah Sarolangun Provinsi Jambi yang dilakukan oleh sekelompok massa yang tidak puas akibat salah satu warganya ada yang tertembak hingga tewas oleh aparat Polsek Limun.

BAB II
PEMBAHASAN

Kejadian pembakaran Polsek Limun di wilayah Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi pada hari Sabtu, tanggal 25 April 2015 menggemparkan khalayak ramai, gencarnya pemberitaan di media massa namun terkesan simpang siur dan mendiskreditkan aparat kepolisian membuat publik bertanya-tanya akan apa yang menjadi sebab utamanya sehingga dilakukan pembakaran terhadap kantor Polsek Limun oleh sekelompok warga. Hingga sampai akhirnya setelah dilakukan penyelidikan internal oleh Itwasda dan Bid Propam Polda Jambi maka informasi menjadi jelas bahwa warga membakar Polsek Limun karena adanya ketidakpuasan warga terhadap informasi yang diterima terkait meninggalnya salah seorang warganya setelah terlibat bentrok dalam upaya penangkapan kasus narkoba yang dilakukan oleh aparat kepolisian Polsek Limun pada malam sebelumnya yakni tanggal 24 April 2015 sekira pukul 20.00 wib dimana Kapolsek Limun AKP. Pujiarso, S.H. menerima informasi dari masyarakat Desa Mounti Kec. Limun tentang adanya transaksi narkoba sehingga kemudian ditindaklanjuti oleh aparat kepolisian Polsek Limun.
Kemudian menurut hasil investigasi Itwasda Polda Jambi yang dilaporkan ke Itwasum, pada malam tanggal 24 April 2015 setelah jam 20.00 wib saat dilakukan upaya penangkapan terhadap salah seorang pemuda yang diduga oleh aparat Polsek Limun sebagai bagian dari sindikat narkoba yang bernama Edwar, salah satu anggota Polsek Limun melakukan kelalaian sehingga menyebabkan senjata SS1 V2 nya meletus dan mengenai bagian dari kepala pemuda yang diduga tersangka pelaku kejahatan narkoba hingga pemuda an. Edwar tersebut terjatuh. Kemudian anggota Polsek Limun membawa pemuda yang terluka tersebut untuk mendapatkan penanganan medis di RSUD Sarolangun dan dilakukan perawatan dari pukul 22.00 wib, Kapolsek kemudian melaporkan Sitkamtibmas kepada jajaran pimpinan Polres Sarolangun dengan menyebutkan bahwa Polsek Limun telah menangkap tersangka narkoba dengan kondisi tertembak pada daerah bibir, kemudian perintah Kapolres agar segera membawa tersangka yang tertembak ke rumah sakit, antisipasi pihak keluarga dan kantor Polsek Limun.
Pada pukul 23.00 wib jajaran pimpinan Polres Sarolangun melakukan rapat di Polres untuk mengantisipasi kejadian tersebut tanpa ada mengecek keadaan korban maupun menemui keluarga korban tembak di rumah sakit. Hingga masuk pada tanggal 25 April 2015 sekira pukul 02.10 wib akhirnya pemuda tersebut dinyatakan meninggal dunia. Visum dari dokter yang menangani menerangkan bahwa pemuda tersebut dinyatakan tewas akibat pendarahan yang tidak bisa dihentikan di langit-langit mulut yang berasal dari luka di belakang telinga kiri tembus hingga ke pipi sebelah kanan hidung. Kapolres yang mendapat laporan dari Kapolsek Limun mengenai meninggalnya korban langsung memerintahkan untuk antisipasi keluarga korban dan memberikan santunan.
Kemudian pagi pukul 07.00 wib hampir seluruh pejabat utama Polda Jambi memberikan arahan kepada Kapolres Sarolangun melalui BBM untuk mewaspadai kejadian berulang dimana dahulu di tahun 2013 tepatnya di desa Mengkadai, wilayah hukum Polsek Limun ada seorang anggota Brimob yang tewas dan 1 unit mobil Patroli dibakar massa, oleh karenanya pengamanan Polsek Limun dan Polres Sarolangun harap dipertebal, waspadai dan antisipasi ekses pelaku meninggal dunia dan lakukan deteksi aksi, penggalangan terhadap keluarga korban serta masyarakat sekitarnya. Menindak lanjuti jukrah tersebut maka pukul 09.30 Kapolres Sarolangun memerintahkan Kabagops agar memback-up Kapolsek Limun dalam rangka antisipasi penyerangan oleh warga masyarakat terkait meninggalnya salah seorang warga. Dan pada pukul 09.45 pasukan bergeser, waktu tempuh dari Polres Sarolangun ke Polsek Limun sekitar 15 menit, namun pada pukul 10.00 wib ketika pasukan bantuan dari Polres Sarolangun tiba ternyata Polsek sudah habis terbakar.
 Ternyata sebelumnya pada pukul 09.50 wib sesuai laporan dari Kasat Intelkam, bahwa masyarakat yang berkumpul dirumah duka rencananya akan melakukan cek TKP penembakan, setelahnya warga datang berbondong-bondong ke Polsek Limun untuk meminta penjelasan kepada Kapolsek mengenai kronologis penembakan karena informasi yang diberikan Kapolsek kepada warga masyarakat adalah bahwa pelaku meninggal karena melarikan diri dan menabrak gorong-gorong. Namun faktanya Kapolsek tidak ada ditempat dan anggota yang berada di Polsek juga tidak mampu memberikan penjelasan maka masyarakat merusak fasilitas Polsek dan membakar Polsek Limun dengan menggunakan barang bukti solar yang ada di Polsek Limun.
Dari kronologis diatas maka dapat ditarik kesimpulan pentingnya deteksi dini terhadap sitkamtibmas yang ada terkait ekses dari kegiatan kepolisian yang mana dalam hal ini rentan konflik karena dipicu hilangnya nyawa seseorang setelah dilakukan giat kepolisian. Hal ini sebenarnya dapat diantisipasi apabila pembagian informasi dari hasil pulbaket dilapangan yang telah diolah dalam suatu produk laporan kepada pimpinan dapat disampaikan dengan fakta yang sebenar-benarnya dan tidak terkesan ditutupi sehingga pimpinan mampu mengambil keputusan yang tepat terkait tindakan kepolisian yang telah dilakukan.
Menurut Karwita dan Saronto (2001: 126-127), tugas pokok Intelkam dapat dirumuskan dalam empat kegiatan sebagai berikut:
(1) Melakukan deteksi terhadap segala perubahan kehidupan sosial dalam masyarakat serta perkembangannya di bidang ideologi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan untuk dapat menandai kemungkinan adanya aspek-aspek kriminogen, selanjutnya mangadakan identifikasi hakikat ancaman terhadap Kamtibmas;
(2) Menyelenggarakan fungsi intelijen yang diarahkan ke dalam tubuh Polri sendiri dengan sasaran pengamanan material, personil dan bahan keterangan serta kegiatan badan/kesatuan, terhadap kemungkinan adanya tantangan yang bersumber dari luar maupun dari dalam tubuh Polri agar Polri tidak terhalang atau terganggu dalam melaksanakan tugas pokoknya;
(3)  Melakukan penggalangan dalam rangka menciptakan kondisi tertentu dalam masyarakat yang menguntungkan bagi pelaksanaan tugas pokok Polri;
(4)  Melakukan pengamanan terhadap sasasaran-sasaran tertentu dalam rangka mencegah kemungkinan adanya pihak-pihak tertentu memperoleh peluang dan dapat memenfaatkan kelemahan-kelemahan dalam bidang Ipleksosbud Hankam, sebagi sarana ekploitasi untuk menciptakan suasana pertentangan pasif menjadi aktif, sehingga menimbulkan ancaman atau gangguan di bidang Kamtibmas.

Menurut Kunarto (1999: 48), penyelidikan merupakan upaya mencari dan mengumpulkan bahan informasi; pengamanan merupakan upaya mengamankan organisasi agar tidak menjadi sasaran lawan; penggalangan merupakan upaya untuk menciptakan kondisi dan situasi yang menguntungkan organisasi. Seandainya teori dari Kunarto dimengerti dan dijabarkan dalam tugas intelijen maka rangkaian deteksi dini terkait sitkamtibmas yang terjadi hendaknya bisa dibuat dalam produk pelaporan yang ditujukan kepada pimpinan sehingga dapat diambil keputusan yang tepat dalam menentukan tujuan organisasi dalam hal ini kepolisian. Namun demikian tidak halnya dengan yang terjadi di Polsek Limun dimana Kapolsek memberikan laporan yang tidak lengkap kepada jajaran pimpinan di Polres Sarolangun dan Kanit Intel Polsek juga seirama dengan kapolseknya dimana memberikan informasi yang terkesan ABS ( Asal Bapak Senang ) kepada Kasat Intelkam Polres Sarolangun, hal ini menjadi krusial dikala sebagai akibat dari tindakan kepolisian hingga mengakibatkan seorang warga terkena tembakan hingga akhirnya meninggal namun tidak ada satupun anggota kepolisan yang ada di rumah sakit untuk menemui keluarga korban. Dan langkah antisipatif yang diambil oleh Kapolsek juga terkesan spekulatif tanpa mempertimbangkan aspek kultural dan sejarah sehingga informasi yang diberikan kepada warga bukan yang sebenarnya dimana warga diberikan informasi bahwa korban tewas akibat menabrak  gorong-gorong bukan karena luka tembak. Hal itulah yang kemudian memicu emosi dan amarah warga masyarakat yang  kemudian berujung pada pembakaran Polsek Limun.
Menurut penulis seharusnya hal seperti demikian dapat dihindari apabila dilakukan sistem deteksi dini dimana bahan keterangan yang diperoleh untuk kemudian diolah dan dijadikan suatu produk intelijen adalah fakta yang sebenarnya terjadi dilapangan. Tentunya informasi yang sifatnya mentah adalah yang memenuhi syarat dimana terkait dengan keamanan, sumbernya dapat dipercaya dan relevan dengan masalah Kamtibmas yang actual sehingga kemudian dapat diproses untuk dijadikan saran bagi pengambil kebijakan ( dalam kasus ini level Kapolres ) untuk mengambil keputusan guna menyusun rencana kegiatan dan menghitung resiko yang mungkin dihadapi sebagai ekses tindakan kepolisian yang diambil.
Adapun fungsi dari deteksi dini antara lain :
1. Untuk mengetahui lebih awal terhadap potensi konflik yang mungkin terjadi.
2. Untuk menghindari ketidaksiapan akan terjadinya suatu konflik.

3. Menyiapkan lebih awal langkah kontijensi untuk menanggulangi konflik apabila konflik tidak dapat dihindarkan lagi.
Adapun cara Deteksi Dini melalui beberapa hal seperti :
 1. Pemahaman konflik yang pernah terjadi dimasa lampau.
 2. Mapping konflik yang sudah pernah terjadi dan penyelesaiannya.
Dari cara deteksi dini dalam hal pemahaman dan mapping ( pemetaan ) tersebut, dapat diketahui perkembangan yang terjadi saat ini mengenai berbagai konflik yang pernah ada diwilayah tersebut. Hal ini akan berkaitan dengan upaya pendeteksian konflik yang terjadi, baik konflik yang merupakan konflik lanjutan/laten dari konflik yang pernah terjadi sebelumnya, maupun konflik yang baru pertama kali muncul/terjadi. Seharusnya kejadian di masa lampau dimana seorang anggota Brimob tewas dan 1 unit mobil patrol dibakar massa dapat menjadi pembelajaran dan upaya dasar untuk dilakukannya deteksi dini terhadap potensi konflik apabila dikaitkan dengan tipikal masyarakat Limun serta bagaimana tindak lanjutnya setelah itu guna mencapai penyelesaian masalah dapat dijadian pedoman untuk menentukan langkah awal sebagai antisipasi konflik berkepanjangan.
Selain itu peran serta masyarakat dan koordinasi dengan instansi samping dan instansi pemerintahan sebagai unsur terkait dalam penyelesaian konflik perlu dilakukan guna menghadapi konflik yang tengah terjadi ataupun mengantisipasi potensi konflik yang dapat terjadi di masa mendatang. Dapat kita ambil contoh dari analisa kasus pembakaran Polsek Limun dimana seorang warga sebuah desa di Kecamatan Limun tewas ditembak oleh salah seorang anggota Polsek Limun dalam upaya penangkapan kejahatan narkoba, terlepas dari apa tindakan jahat yang diduga dilakukan korban, upaya pengejaran yang berujung penembakan hingga mengakibatkan korban tembak tewas adalah hal yang dapat memicu konflik vertical antara aparat pemerintah dengan warga masyarakat setempat, apalagi tindakan tersebut dinilai lalai dan ceroboh mengingat kondisi TKP yang merupakan pemukiman padat penduduk dan penerangan yang jelas sehingga tanpa melepaskan tembakan ( yang bukan tembakan peringatan dimana langsung mengarah kepada tersangka ) seharusnya aparat Polsek Limun yang melakukan pengejaran dapat menangkap orang yang diduga tersangka tanpa harus melepaskan tembakan ( tulisan sesuai laporan tim penyelidikan internal yang terdiri dari Itwasda dan Bid Propam Polda Jambi kepada Irwasum Polri ). Dengan demikian seharusnya langkah preventif harus segera dapat direncanakan dan dilakukan oleh jajaran Polres Sarolangun terutama Polsek Limun.
Langkah preventif yang dilakukan oleh Polsek Limun harusnya berdasarkan hal sebagai berikut :
a. Memahami reaksi masyarakat dan peristiwa terkini yang muncul pada tahap awal.
Setelah memahami situasi dan kondisi terkini, kita sebagai anggota Polri seharusnya peka dan mampu membaca reaksi dari masyarakat terkait perkembangan yang terjadi. Adapun reaksi masyarakat ini dapat kita lihat dalam berbagai bentuk, reaksi yang “laten”/bergerak di bawah permukaan, maupun reaksi yang tidak memberikan aksi yang berarti terhadap perkembangan situasi kondisi terkini. Analisa kasus : Kapolsek Limun memberikan konfirmasi bahwa terduga tersangka an. Edwar tewas setelah menabrak gorong-gorong saat dilakukan upaya penangkapan terhadap dirinya, sementara anggota Polsek Limun tidak ada satu orangpun yang ada di rumah sakit untuk mendampingi keluarga korban karena Kapolsek under estimate setelah merasa keluarga korban sudah dikondisikan dengan uang santunan. Sementara warga yang datang langsung ke rumah sakit kemudian mengecek TKP menemukan fakta yang kontradiktif sehingga memicu emosi warga yang mendatangi kantor Polsek untuk melakukan klarifikasi namun pejabat yang dicari tidak ada ditempat dan anggota yang ada di kantor tidak mampu memberikan penjelasan yang dibutuhkan oleh warga. Reaksi inilah yang dikuatirkan akan timbul sehingga seharusnya langkah preventif lebih awal disiapkan.
b. Pengumpulan bahan keterangan  dan pemetaan dari peristiwa konflik vertical yang pernah terjadi.
Dalam hal ini yang segala kejadian atau peristiwa yang berkaitan dengan Isu/perkembangan terkini tersebut mulai untuk dikumpulkan, untuk selanjutnya dilakukan kategorisasi (mana saja yang berkaitan dengan kemungkinan terjadinya konflik). Setelah dilakukan pengumpulan dan pemilihan, tahap selanjutnya yang dilakukan adalah pemetaan masalah. Adapun tujuan dari pemetaan masalah adalah tidak hanya sekedar memisah-misahkan permasalahan yang ada, tetapi juga membaca jaring yang terhubung dari rangkaian peristiwa tersebut. Analisa kasus : pada periode 2013 ada seorang anggota Brimob dan 1 unit mobil patrol dibakar massa di wilayah Sarolangun, meski beda wilayah hukum Polsek namun secara demografi dan kultur masyarakatnya sama sehingga potensi konflik vertical dapat sewaktu-waktu kembali muncul ke permukaan. Peristiwa-peristiwa tersebut harus dikumpulkan dan dicari keterkaitannya satu sama lain, sehingga dapat dilihat apakah kondisi ini dapat berujung pada terciptanya suatu konflik.
c. Yang terakhir, diperlukan adanya suatu pemahaman akan kebutuhan masyarakat terhadap sikap pemerintah yang diinginkan, seperti sikap lebih humanis, transparan dan akuntabel dimana dalam analisa kasus Polsek Limun, aparat Polsek Limun belum bisa dikatakan capable dalam menjadi figure aparat yang diinginkan oleh warganya dimana pelanggaran prosedur dari penggunaan senjata api dan kekerasan, ketidak transparan dengan memberikan informasi yang tidak benar terkait penyebab kematian Edwar hingga akuntabilitas yang dipertanyakan sehingga tidak mampu menghadapi situasi kontijensi yang berakibat terbakarnya mako dan fasilitas Polsek Limun.
            Kemudian dari hasil deteksi dini diatas maka hendaknya dituangkan dalam rencana kegiatan kontijensi Polsek yang meliputi :
a. Segera melakukan koordinasi dengan instansi atas yakni Polres Sarolangun dan Polda Jambi dalam hal meminta bantuan perkuatan personil sabhara dan brimob untuk menjaga mako Polsek Limun.
b. Koordinasi dengan satuan samping minimal Koramil dan Pemda setempat untuk antisipasi efek domino dan konflik laten yang mungkin terjadi.
c. Lakukan penggalangan dengan tomas, toga dan keluarga korban secara kontinyu, juga lakukan koordinasi dengan media massa setempat agar pemberitaan tidak menyesatkan dan terkesan berat sebelah.
d. Selalu melaporkan perkembangan situasi kontijensi melalui radio sehingga termonitor jajaran Polda Jambi.
e. Dalam melakukan kegiatan hendaknya sesuai dengan protap dan hindari arogansi personil di lapangan.

BAB III
KESIMPULAN

            Deteksi dini memiliki peran penting dalam mengantisipasi konflik yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, sehingga produk intelijen yang diberikan kepada pimpinan hendaknya harus akurat dan berdasarkan fakta sebenarnya yang terjadi di lapangan. Hal ini demi menghindari kesan under estimate yang sangat fatal apabila dilakukan oleh pengemban fungsi intelijen dan pimpinan selaku pembuat keputusan.
            Dari keseluruhan cara deteksi dini diatas, dapat disimpulkan bahwa kita sebagai Polri memerlukan suatu langkah early warning system yang efektif. Fungsi intelijen kepolisian sebagai pengemban early warning system atau yang kita kenal dengan deteksi dini, harus mampu melakukan upaya preventif dan pre-emtif dalam mencegah konflik. Melalui fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan intelijen harus dapat meredam segala potensi konflik dan memanfaatkan konflik sehingga berdampak positif bagi organisasi kepolisian serta jangan sampai menyebabkan dampak destruktif. Namun demikian hendaknya kepekaan terhadap situasi kamtibmas dan reaksi masyarakat tidak hanya dimiliki oleh anggota fungsi intel namun juga dimiliki oleh segenap anggota Polri sehingga kesadaran dalam mengantisipasi potensi konflik dan pentingnya kewaspadaan juga wasdal ke dalam dapat diterapkan oleh pimpinan di wilayah dan diilhami oleh seluruh personil Polri saat melaksanakan tugas di lapangan baik itu dalam hal pelayanan kepada publik maupun penegakan hukum.









DAFTAR PUSTAKA

1. Paulus Purwoko.dkk. 2012. Manajemen Intelkam, Jakarta : PTIK-STIK.
2. Skep/37/I/2005, tanggal 31 Januari 2005, Pedoman Intelijen Keamanan di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jakarta: Mabes Polri

3. UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Minggu, 12 April 2015

HUBUNGAN ADMINISTRASI KEPOLISIAN DENGAN ADMINISTRASI NEGARA


BAB I
PENDAHULUAN

            Dalam menyelenggarakan suatu pemerintahan tidak dapat luput dari peran administrasi, hal ini penting karena fungsi administrasi ( bersama dengan manajemen ) merupakan salah satu infrastruktur yang memiliki fungsi bersifat fundamental dalam menyelenggarakan sebuah organisasi yang mana hal tersebut kemudian dalam level organisasi pemerintahan menjadi sebuah hal penting yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional. Demi tercapainya masyarakat yang tentram, sejahtera, adil dan makmur sesuai dengan cita-cita negara Indonesia maka peranan penyelengaraan fungsi keamanan haruslah menjadi pilar utama dalam mewujudkan bangsa yang madani. Maka dari itu dalam menyelenggarakan keamanan diperlukan sebuah tempat khusus didalam ruang administrasi kenegaraan agar hendaknya penyelenggaraan fungsi keamanan dapat menjadi suatu perhatian yang serius dalam fungsi pemerintahan sebuah negara sehingga masyarakat dapat merasakan rasa aman dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara baik secara struktural dan moral.
Administrasi adalah usaha dan kegiatan yang berkenaan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan untuk mencapai tujuan. Administrasi dalam arti sempit adalah kegiatan yang meliputi: catat-mencatat, surat-menyurat, pembukuan ringan, ketik-mengetik, agenda, dan sebagainya yang bersifat teknis ketatausahaan. Administrasi dalam arti luas adalah seluruh proses kerja sama antara dua orang atau lebih dalam mencapai tujuan dengan memanfaatkan sarana prasarana tertentu secara berdaya guna dan berhasil guna.[1] Jadi administrasi secara garis besar tidak bisa dilepaskan dari fungsi manajemen dalam mencapai tujuan dari suatu organisasi.
Adapun pengertian administrasi kenegaraan atau biasanya disebut dengan administrasi publik menurut ahli diantaranya Siagian (1989), Hoessein (1997), dan Frederickson (1997) adalah seluruh proses, organisasi dan individu sebagai pejabat sehubungan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh badan legislatif, eksekutif dan peradilan. Administrasi negara dijalankan oleh pemerintah dan  memiliki tujuan utama pencapaian hasil berupa pelayanan pada sektor publik, oleh karena itu disebut juga dengan administrasi publik, yaitu administrasi yang dijalankan oleh pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat atau publik dengan tidak mencari laba.
Administrasi kepolisian dapat dijabarkan dengan luas namun pada hakikatnya sangat bergantung dari perkembangan politik dan sistem pemerintahan sebuah negara. Baik dilihat dari sistem ketatanegaraan, sistem pemerintahan, sistem pembentukan yang dipengaruhi sejarah dan budaya masyarakat suatu negara dan sistem peraturan yang mengiringi kelangsungan negara tersebut. Hal tersebut yang memperlihatkan keterkaitan antara administrasi kenegaraan dengan administrasi kepolisian. Khusus menyangkut kepolisian, administrasi kepolisian menangani pelaksanaan tugas kepolisian dan pelaksanaan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindak criminal dan mencakupi hukum tentang pelarangan atas berbagai tindakan, prosedur yang berkaitan dengan pelanggaran hukum , serta pendekatan umum terhadap masalah criminal yang berkaitan dengan pencegahan, penanggulangan, dan rehabilitasi ( Gary W. Cordner dalam Bayley: 1998 ).[2]
Administrasi kepolisian itu sendiri memiliki ruang lingkup tugas dan bidangnya sehingga petugas polisi harus memperhatikan berbagai faktor yang mencakup tujuan, tugas, sumber daya, struktur, budaya, manajemen, dan lingkungan yang dijelaskan dibawah ini ( lihat Hoover, 1992 ). Adapun tujuan utama dari Departemen Kepolisian adalah melindungi jiwa, property, dan menjaga ketertiban umum. Salah satu tugas dasar administrator kepolisian adalah menjamin bahwa berbagai aktivitas diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Prinsip yang harus ditanamkan dalam organisasi adalah semangat dan tujuan oleh semua anggota kepolisian.[3]

a.   Tugas (task), administrator harus merancang tugas yang jelas untuk mencapai tujuan tersebut. Secara tradisional, tiga kategori tugas polisi adalah operasi, administrasi dan pelayanan.
b.  Sumber Daya (Resource), administrator polisi harus mampu sekaligus dapat menggunakan secara bijaksana berbagai sumber daya yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas demi tercapainya tujuan.
c.   Struktur (structure), dengan adanya karyawan yang ditempatkan untuk memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan, organisasi kepolisian memerlukan struktur untuk memandu pelaksanaan tugas itu, yg meliputi hierarki, distribusi kewenangan, deskripsi tugas, kebijakan, prosedur, aturan dan peraturan. Administrator harus menciptakan suatu kerangka kerja yg mengarahkan struktur dan organisasi ke berbagai tugas yg harus dilakukan, baik polisi yg bertugas dlm bidang pembinaan maupun operasional.
d.  Budaya (culture) administrator kepolisian harus dapat membentuk budaya organisasi yang menumbuhkan perilaku yang patut sekaligus menghancurkan perilaku tak patut.
e.  Manajemen (Management), administrator polisi juga harus menyediakan suatu bentuk manajemen dalam kepolisian, manajemen dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan, mengawasi karyawan, dan secara umum untuk menjaga departemen pada garis haluannya.
f.   Lingkungan (Enviromental), tujuan departemen kepolisian sebagian ditentukan oleh komunitas dan proses politik, anggaran ditentukan oleh proses politik, karyawan yang direkrut berasal dan tinggal di dunia luar, pelaksanaan tugas polisi dilakukan dalam masyarakat, dan lain-lain. Salah satu tugas administrator adalah mengatur interaksi departemen kepolisian dengan lingkungan sekitarnya.



BAB II
PEMBAHASAN

Era reformasi  telah menyebabkan berbagai dampak yang cukup signifikan dalam berbagai bidang kehidupan termasuk penyelenggaraan pemerintahan yang kerap mendapat intervensi publik melalui suara rakyat demi menuntut kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dibandingkan era pemerintahan sebelumnya. Suatu ciri khas dari negara berkembang dimana fenomena akan hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, penegakan hukum, transparansi dan pemberantasan rezim KKN mewarnai setiap langkah politik yang diterapkan oleh pemerintah kita. Termasuk Polri sebagai lembaga penyelenggara keamanan yang dituntut untuk selalu sesuai dengan keinginan masyarakat tanpa melepaskan kewajiban dan prosedur yang telah diikat dalam bentuk Undang-undang yang pelaksanaannya kerap menjadi sorotan publik. Disatu sisi rakyat ingin Polisi selalu disisi mereka, melindungi dan mengayomi sesuai dengan tugas pokok dari Polri, namun disisi lain rakyat bisa berubah mnjadi oposisi bagi lembaga yang menjaga mereka apabila kebijakan dalam supremasi hukum yang diterapkan oleh pemerintah melalui Polri ( meski pada kenyataannya sesuai dengan undang-undang dan hukum ) berlawanan dengan kehendak rakyat.
Salah satu contoh kasus yang menggambarkan keterkaitan  erat antara administrasi kepolisian dengan administrasi negara adalah dalam mekanisme pemilihan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia pasca kepemimpinan Jendral Polisi Sutarman. Dimana Polri memiliki calon tunggal yang sudah melalui proses fit and proper test di tingkat DPR yakni Kalemdikpol ( saat dicalonkan ) Komisaris Jendral Budi Gunawan. Hal ini kemudian mendapat pertentangan dari masyarakat Indonesia terutama pemerhati korupsi dimana secara tiba-tiba Komjen Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ) sehingga proses pencalonan Komjen BG menjadi terhambat oleh penetapan tersangka oleh KPK tersebut.
Hal tersebut tentu saja menjadi polemik karena Komjen BG adalah calon tunggal Presiden RI yang didukung Komisi III DPR setelah melalui fit and proper test untuk menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia menggantikan Jendral Polisi Sutarman. Kemudian Komjen BG pada periode 2 Februari 2015 melakukan langkah hukum dengan menggugat penetapan tersangka oleh KPK melalui proses pra peradilan yang belakangan tepatnya pada 16 Februari 2015 gugatan dimenangkan oleh Komjen BG karena ternyata menurut hakim yang memimpin sidang tersebut bahwa penetapan BG sebagai tersangka tidak sah dan tidak bersifat mengikat secara hukum.[4]
Namun demikian setelah melalui proses hukum yang panjang dan melalui pertimbangan sosiologis dan yuridis akhirnya Komjen BG batal dilantik menjadi Kapolri meski secara segi yuridis Komjen BG memenangkan gugatan pra peradilan dan dinyatakan tidak bersalah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Akan tetapi pertimbangan sosiologis-lah yang membuat Komjen BG batal maju ke tampuk pimpinan tertinggi Polri hal itu juga dilakukan atas pertimbangan menjaga nama baik institusi kepolisian sebagai lembaga keamanan negara. Sehingga kemudian Wakapolri Komjen Badrodin Haiti ditunjuk untuk menjadi PLT Kapolri hingga ada Kapolri baru yang definitive. Mengapa perlu pertimbangan sosiologis? Dan mengapa begitu besar peran DPR dalam menentukan siapa yang layak untuk menjadi Kapolri? Hal tersebut  sesuai dalam Tap MPR RI No.VI/MPR/2000 dan Tap MPR RI No.VII/MPR/2000 yang kemudian diatur lebih lanjut dengan UU no. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dimana Polri merupakan alat negara dengan tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Selain tugas pokok tersebut, Polri juga melaksanakan tugas bantuan.[5] Dukungan administrasi pemerintahan terhadap Polri diberikan dalam hubungan berupa keterkaitan berbagai unsur seperti suprastruktural, struktural, substruktural dan infrastruktural. Sedangkan manajemen pemerintahan negara memberi dukungan dalam bentuk proses implementasi kegiatan-kegiatan pada masing-masing struktur terutama dalam lingkungan unsur struktural dan substruktural. Unsur suprastruktural Polri ditampilkan dengan adanya lembaga-lembaga Polri dan jabatan-jabatan dalam Polri yang semuanya memerlukan dukungan administrasi pemerintahan negara atau dukungan administrasi negara dalam pengertian yang sangat luas. Unsur infrastruktural Polri terdiri dari personil Polri yang duduk dalam lembaga-lembaga negara dan jabatan-jabatan negara yang tentu saja mempunyai hubungan yang sangat erat dengan proses administrasi negara dalam rangka penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan negara. Perumusan dan penetapan kebijaksanaan pemerintahan dilaksanakan dalam hubungan antara pemerintah dan pihak-pihak lain di luar pemerintah sesuai dengan kekuasaan, kewenangan dan kewibawaan yang melekat pada pemerintah negara untuk mengatur berbagai aspek kehidupan pihak-pihak lain yang memang perlu dan memang terdapat kemampuan itu pada pemerintah untuk melakukannya. Dalam konteksnya pada UU No.2 tahun 2002, pada administrasi kepolisian diuraikan tentang diaturnya lembaga kepolisian nasional yang tugasnya memberikan saran kepada Presiden tentang arah kebijakan kepolisian dan pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sesuai amanat Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000, selain terkandung pula fungsi pengawasan fungsional terhadap kinerja Polri sehingga kemandirian dan profesionalisme Polri dapat terjamin.
Hal diatas menggambarkan betapa erat kaitannya antara hubungan administrasi kenegaraan dengan administrasi kepolisan sebagai contoh kasus dalam mekanisme pemilihan calon Kapolri dimana Komjen BG sebagai calon tunggal Kapolri meski merupakan calon tunggal Presiden Jokowi dan sudah melalui mekanisme uji kelayakan di DPR, Komjen BG menerima dengan ikhlas untuk keputusan dirinya batal dicalonkan sebagai calon Kapolri atas dasar pertimbangan sosiologis. Hal ini menunjukkan bahwa peran rakyat melalui wakilnya yang duduk di dewan ikut mempengaruhi proses mekanisme penunjukkan seorang calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Akan tetapi patut diketahui bersama bahwa hal ini tidak serta merta mempengaruhi seluruh mekanisme administrasi kepolisian dalam hal mutasi jabatan pimpinan Polri, hanya terbatas pada pemilihan Kapolri saja. Sebagai contoh, pemilihan calon Wakapolri adalah hak prerogative Kapolri yang dilakukan melalui proses sidang internal yang dikenal dengan Wanjakti, jadi siapapun calon yang dipilih oleh Kapolri definitive untuk menjadi Wakapolri selaku pembantu Kapolri dalam melaksanakan tugas pimpinan Polri adalah merupakan keputusan internal Polri yang tidak dapat diganggu gugat atau di intervensi oleh pihak luar.


BAB III
KESIMPULAN
Administrasi negara umumnya diartikan sebagai keseluruhan proses penyelenggaraan kegiatan pemerintahan negara menuju tercapainya apa yang menjadi tujuan negara dan terlaksananya tugas-tugas bersama negara, pemerintah dan seluruh masyarakat bagi terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan makmur, maju dan sejahtera. Administrasi yang mengandung aspek-aspek kelembagaan, kepegawaian, ketatalaksanaan dan sarana serta fasilitas kerja berlaku juga untuk administrasi kepolisian negara republik Indonesia. Karena hal tersebut saling berkaitan erat dimana administrasi kepolisian adalah bagian dari administrasi negara dan system kepolisian suatu negara sangat terpengaruh dan bergantung dari bagaimana system pemerintahan suatu negara itu sendiri berjalan. Dalam menjalankan roda pemerintahan tidak lepas dari yang namanya manajemen dan administrasi. Maka menjasi jelas dalam hal manajemen yang merupakan proses atau kemampuan mencapai tujuan dengan memanfaatkan sumber-sumber daya manusia dan bukan manusia dalam satu organisasi berlaku pula untuk manajemen Polri. Jadi semakin jelaslah adanya hubungan antara administrasi pemerintahan dengan tugas pokok Polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat serta aparatur pemerintah dalam hal penegakan hukum dan pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.










DAFTAR PUSTAKA

1.    Undang-Undang No.2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2.    Djamin, Awaloedin. Mei 2011. Sistem Administrasi Kepolisian. Jakarta : YPKIK ( Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian ).

3.    http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi. Tgl akses : 12 April 2015 pukul 19.00 WIB.

4.    http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_bg_kpk. Tgl akses: 12 April 2015 pukul 19.00 WIB.








[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi
[2] Djamin,Awaloedin. 2011. Sistem Administrasi Kepolisian. Jakarta: YPKIK. Bab I hal 1 paragraf ke-2.
[3] Ibid., hal. 5.
[4] http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_bg_kpk
[5] Op.cit.

Senin, 16 Maret 2015

PROFESIONALISME DAN MENTALITAS IDEAL PERSONIL POLRI DALAM MENGHADAPI TANTANGAN TUGAS


BAB I
PENDAHULUAN
1.1    LATAR BELAKANG
Indonesia adalah suatu negara hukum yang besar dan apabila kita ibaratkan sebagai sebuah organisasi maka negara kita memiliki suatu sistem dalam menjalankan pemerintahan yang mana tentunya juga memiliki apa yang disebut sebagai sub-system sehingga dapat terciptanya suatu ketersinambungan dalam menjalankan rantai organisasi untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Yang diibaratkan penulis disini sebagai bagian dari system organisasi adalah lembaga kenegaraan yang dalam pembahasan ini  salah satunya merupakan  sub-system yang khusus bergerak dibidang hukum dan perundang-undangan untuk menjaga tatanan nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat dan sub system itu adalah aparat pemerintah yang terdiri dari polisi, jaksa dan hakim dan ketiganya merupakan penegak hukum yang ditunjuk dan memiliki kewenangan dalam menegakkan hukum untuk menciptakan keadilan dan rasa aman ditengah-tengah masyarakat tentunya dengan prosedur yang telah diatur sesuai dalam undang-undang yang berlaku yang selanjutnya kita ketahui bersama tergabung dalam mekanisme Criminal Justice System.
Polisi dalam peranannya memelihara keamanan dan ketertiban memiliki dimensi yang luas dan tidak dapat diukur karena tugas Polisi begitu kompleks mengikuti perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Seiring berkembangnya zaman maka permasalahan yang muncul dan modus operandi kejahatan selalu berubah dan selangkah lebih maju dibandingkan dengan regulasi hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Maka dari itu, seorang individu Polri diharapkan memiliki profesionalisme dan mental yang baik dan sesuai dengan apa yang telah dituangkan dalam pedoman Polri yakni Tri Brata dan Catur Prasetya untuk dapat mengantisipasi dan menghadapi tantangan tindak criminal dan beragam tugas kepolisian lainnya yang berkaitan dengan harkamtibmas. Ironisnya, petugas polisi meski sudah melalui beragam proses seleksi mulai dari tahap pengadaan ( rekruitmen dan seleksi ), tahapan pendidikan hingga saat sampai ke tahap penggunaan maka akan muncul masalah baru yang berkaitan dengan public trust dan abuse of power. Hal inilah yang seharusnya ditelaah lebih lanjut apakah ada hubungannya dengan tahapan selanjutnya dalam proses SDM yakni tahap perawatan dan tahap pemisahan. Karena hakekatnya tahapan tersebut tidak dapat dipisahkan dan berkaitan satu dengan yang lainnya.
Bila dibandingkan dengan KPK sebagai lembaga ad hoc yang mendapat dukungan people power atas kontribusinya dalam memerangi kejahatan korupsi seharusnya Polri juga mendapatkan kesempatan yang sama berupa dukungan kepercayaan publik dalam memerangi kasus korupsi. Cermin polisi yang bagi sebagian besar masyarakat Indonesia masih dinilai jauh dari harapan masyarakat seharusnya mendapat koreksi berupa dukungan terhadap intitusi penegak hukum khususnya Polri dari golongan  cendekiawan dan pemerhati hukum karena Indonesia adalah negara hukum  yang dimana masyarakat dan pemerintahnya harus bisa saling menghormati dan menghargai. Alangkah tidak bijaksana bila kita membanding-bandingkan antara KPK dengan Polri karena pada hakikatnya kedua lembaga ini bersama dengan intitusi kejaksaan adalah lembaga penegak hukum yang sama-sama memberantas rasuah.
Diharapkan melalui tulisan ini Polri sebagai etalase terdepan dalam dinamika penegakan hukum dan pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat mampu menjadi institusi yang kembali mendapatkan kepercayaan penuh masyarakatnya. Dengan menyongsong Grand Strategy Polri dan pembenahan internal melalui sumber daya manusia dilihat dari pembenahan kesejahteraan, mentalitas aparat dan peningkatan kualitas pendidikan maka diharapkan Polri kedepannya semakin professional dan sesuai dengan harapan masyarakat.

1.2    RUMUSAN MASALAH
Dari uraian pendahuluan diatas maka rumusan masalah yang penulis gunakan adalah:
1. Bagaimana seharusnya Polri yang professional ?
2. Apa yang menjadi ukuran mentalitas aparat penegak hukum yang diharapkan oleh masyarakat ?
3. Seperti apa sumber daya personil Polri yang dibutuhkan oleh organisasi dalam menghadapi tantangan di masa depan yang sesuai dengan pedoman Polri yakni Tri Brata ?
4. Apa strategi yang seharusnya dilakukan oleh Polri untuk mencapai dukungan publik dalam menyelenggarakan penegakan hukum dan harkamtibmas?


BAB II
LANDASAN TEORI
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya sebagai objek kajian. Ekologi itu sendiri berasal dari Bahasa Yunani yaitu Oikos ( habitat ) dan Logos ( ilmu ). Ekologi adalah ilmu yang mempelajari baik interaksi antar mahkluk hidup maupun interaksi antara mahkluk hidup dengan lingkungannya ( Ernst Haeckel 1834-1914 )[1]. Ekologi pada awalnya hanya mempelajari berbagai proses alamiah yang ada di dunia mulai dari rangkaian proses regenerasi mahkluk hidup hingga akhirnya berkembang menjadi ilmu yang mempelajari berbagai dinamika kehidupan sosial masyarakat yang disesuaikan dengan tingkatan akal dan budaya manusia[2]. Hal ini erat kaitannya dengan apa yang akan dibahas oleh menulis dimana pengaruh interaksi antara aparat penegak hukum ( polisi, jaksa dan hakim ) dan interaksi antara penegak hukum dengan lingkungannya ( masyarakat ) sangat berpengaruh dalam kelangsungan ekosistemnya, dalam hal ini maka ekosistem bisa diartikan sebagai lingkungan organisasi lembaga penegak hukum khusunya Polri yang memiliki tujuan dari organisasi yaitu pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat dan penegakan hukum dalam upaya menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
George R. Terry dalam bukunya Principle of Management menyebutkan sebuah teori bahwa enam sumber daya yang harus dimiliki dalam memanage sebuah organisasi yaitu:
1. Man ( sumber daya manusia )
Dalam mendukung organisasi Polri maka Biro SDM memiliki andil yang besar mulai dari system perekrutan anggota Polri dangan standar yang sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan publik hingga tahap perawatan dengan tunjangan dan gaji yang baik sampai tahap pengakhiran dinas personil Polri. Hal ini memiliki pengaruh paling esensial dalam mencerminkan kualitas personil Polri yang dimiliki. Semakin tinggi standar sumber daya manusia maka rangkaian sikklus SDM setelah tahap pengadaan sampai yang terakhir tahap pengakhiran harus memiliki standar baku yang jelas dan terukur.
2. Materials ( logistic )
Logistic memegang peranan penting dalam organisasi Polri. Tanpa adanya dukungan logistic yang memadai maka kinerja anggota Polri di lapangan akan mengalami kesulitan. Logistic juga harus mencerminkan kesiapan dan ketangguhan institusi Polri dalam memerangi kejahatan dan penjaga kedamaian di tengah-tengah masyarakat. maka dari itu logistik[3] hendaknya melambangkan jati diri Polri dan mampu merebut simpati rakyat dengan penyediaan logistic yang cukup dan bermanfaat bagi anggota Polri di lapangan sehingga masyarakat merasakan keberadaan Polri yang ditunjang dengan pencitraan Polri yang baik.
3. Machines ( mesin, sarana pra sarana )
Sarana dan pra sarana adalah syarat mutlak bagi personil Polri dalam melaksanakan tugas baik itu sebagai personil di lapangan maupun personil staff. Kinerja akan efektif bila didukung dengan teknologi yang baik dan sesuai akan kebutuhan kerja.
4. Method
Metode dalam pelaksanaan tugas di lapangan sangat dibutuhkan oleh organisasi dalam mencapai tujuan dengan efektif. Demikian hal nya dengan Polri, dalam mencapai tujuan Polri telah mencanangkan Grand Stategi Polri yang berisi rencana jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
5. Money dan
Uang tidak pernah bisa lepas dari kebutuhan dalam menjalankan organisasi. Semua hal bersifat rasional selalu memiliki parameter nilai ekonomis. Pentingnya perencanaan penganggaran dalam institusi Polri merupakan wujud dari konsekuensi Polri dalam upaya melayani masyarakat dan memelihara kamtibmas.
6. Market
Dalam aspek market, Polri memiliki tujuannya sendiri yakni harkamtibmas dan penegakkan hukum. Karena masyarakat adalah objek utama Polri dalam melaksanakan tugasnya. Ketika polisi berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik, maka disitu nilai jual Polri meningkat dengan wujud apresiasi dan penghargaan dari masyarakatnya. Polisi ada karena masyarakat, dan untuk itu polisi mengabdi kepada masyarakat.



BAB III
PEMBAHASAN
     Profesional dalam lingkup budaya polri tidak lepas dari sejarah bagaimana Kepolisian Negara Republik Indonesia bisa menjadi besar seperti sekarang ini. Apabila kita mengupas sejarah maka Polri dahulunya merupakah satu wadah dengan TNI yang kemudian dikenal dengan sebutan ABRI. Seiring berjalannya waktu, Polri lalu memisahkan diri dari TNI karena Polri berusaha menjadi pelayan masyarakat yang “membumi” , non militeristik sesuai dengan fungsi tugasnya yang diemban yakni pemelihara kamtibmas dan penegakkan hukum dimana dalam pelaksanaan tugasnya Polri sangat erat dengan masyarakat, berbeda dengan TNI yang fungsi tugasnya lebih bersifat militer dan merupakan pertahanan negara dalam menjaga kedaulatannya dari serangan negara lain. Disinilah titik tolak polisi professional yang sesuai dengan kehendak rakyat, dimana Polisi diharapkan lebih “sipil” dan lebih mambaur dengan masyarakatnya sehingga masyarakat merasa tenang, aman dan merasa memiliki polisinya yang hadir ditengah mereka. Namun demikian merubah kultur yang sudah melekat bertahun-tahun lamanya tidaklah semudah dan secepat yang diharapkan. Watak dan karakter militeristik yang melekat kuat dengan institusi Polri melalui personilnya masih sangat kuat. Sifat hirarkhi yang militeristik meski sudah ada upaya “pensipilan” hirarkhi melalui perubahan sebutan pada pangkat namun tidak juga merubah watak yang sudah terlanjur melekat. Pengaruh ini biasanya diperoleh dalam masa pembentukan dari masyarakat umum dibentuk menjadi sosok petugas Polri yang memiliki tingkat disiplin yang sesuai dengan kebutuhan organisasi, namun pada prakteknya hal tersebut sering disalahartikan dan kurang dipahami oleh para instruktur sehingga bisa mengakibatkan pengasuhan yang condong ke militeristik daripada membentuk karakter kepribadian polisi yang sipil.
Dalam KBBI kata profesionalisme[4] berasal dari kata dasar profesi[5] yang artinya pekerjaan dengan dilandasi pendidikan atau keahlian tertentu dengan sistim imbalan yang terukur. Maka jika ditarik benang merahnya profesi polisi harus dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki keahlian dan kemampuan khusus dibidang kepolisian sehingga keahliannya dapat dirasakan oleh khalayak ramai. Oleh karena itu profesionalisme perlu ditunjang dengan mentalitas kepribadian yang baik sesuai dengan yang terkandung dalam pedoman Polri yakni Tri Brata dan Catur Prasetya demi menciptakan personil Polri yang tahu betul akan tanggung jawabnya dan tugas utamanya dalam melayani masyarakat.
     Mentalitas aparat Polri adalah dasar utama dalam keberhasilan tugas Polri, karena tanpa didukung adanya sikap dan sifat mental yang baik dari individu Polri maka penyalahgunaan kewenangan akan sering dilakukan oleh petugas Polri. Seperti kita ketahui bersama bahwa Polri memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan diatur juga dalam KUHAP no 8 tahun 1981. Parameter mentalitas personil Polri yang baik sudah ditanamkan sejak pembentukan pertama menjadi anggota Polri dan dari sejarah melekat kuat pada citra mantan Kapolri kita Jenderal Polisi Purn. Hoegeng, namun demikian pengaruh lingkungan sesuai teori ekologi yang dibahas penulis diatas bahwa komunitas atau lingkungan atau yang disebut dalam teori sebagai bagian dari ekosistem sangat berpengaruh  pada perubahan mental petugas Polri. Disinilah peran dari perwira, atasan dan keluarga yang memiliki pengaruh sangat besar dalam mempertahankan mental anggota kepolisian agar tidak melenceng dari apa yang seharusnya untuk dapat mencegah terjadinya penyelahgunaan kewenangan. Pengawasan melekat oleh atasan dan pembinaan rohani menjadi bagian dari program pimpinan untuk tetap menjaga mental bawahannya agar tetap terjaga dan terhindar dari penyalahgunaan kewenangan atau tindakan indisipliner lainnya. Dengan wasdal melekat oleh pimpinan dan keharmonisan rumah tangga personil Polri maka akan sangat berpengaruh terhadap kinerja personil tersebut di lapangan, demikian juga sebaliknya.
Terdapat berbagai kiat agar kepribadian Tri Brata sebagai pedoman hidup Polri dapat bersinergi dengan sumber daya manusia yang dimiliki Polri, hal ini diharapkan dapat meningkatkan profesionalitas personil Polri dan meningkatkan mutu SDM yang ada sehingga etos kerja dan budaya organisasi dapat menjadi hal yang berkulitas dan memberi pengaruh positif pada hasil yang akan dicapai oleh organisasi Polri melalui berbagai macam program yang telah dicanangkan oleh pimpinan Polri. Adapun hal dimaksud adalah sebagai berikut :
1. System pembinaan personil di biro SDM baik itu Binkar, Dalpers, Watpers harus mampu bersinergi sebagai satu kesatuan yang utuh dibawah payung biro SDM. Tidak meononjolkan egosentrisme internal di sector pekerjaan melainkan mengedepankan rasa kebersamaan dapat menjadi formula yang ampuh untuk melakukan pembinaan personil polri yang ada di wilayah. Apabila biro SDM berjalan dengan baik maka akan sangat berpengaruh terhadap organisasi Polri di tingkat kewilayahan dan hal ini juga memiliki efek domino apabila berlaku sebaliknya, jika tatanan dan kinerja biro SDM banyak mendapatkan sorotan dari pimpinan Polri dan memiliki hambatan yang plural tanpa ada solusi maka akan berpengaruh pula ke organisasi jajaran yang ada di wilayah.
2. Perlu digarisbawahi bahwa pengejawantahan makna dari pedoman Polri yakni Tri Brata dan Catur Prasetya harus menjadi parameter moral bagi insan Polri di pusat hingga wilayah. Komitmen moral adalah salah satu wujud nyata dari jargon revolusi mental yang belakangan ini diusung oleh Polri, hal ini memiliki trend positif dikalangan kepolisian baik secara internal maupun hubungan eksternal dengan lembaga seperi kompolnas, LPSK dan lainnya.
3. Peningkatan kompetensi para personil Polri sesuai bidang fungsi tugasnya adalah suatu keharusan karena Polisi sebagai profesi, harus diperankan oleh tenaga professional yang memiliki standar baku mutu ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan bidang pekerjaannya. Polisi modern yang terpelajar dan menguasai bidang tugasnya akan sangat membantu organisasi dan masyarakat. Peningkatan kompetensi dapat dilakukan dengan mengadakan dan mengikutkan personil Polri yang dipilih untuk menjadi peserta pendidikan dan pelatihan seperti sekolah kejuruan pengembangan spesialisasi fungsi tertentu, kursus fungsi kepolisian sebagai wujud kerjasama dengan pemerintah negara asing seperi JCLEC, ILEA dan sebagainya, sekolah pengembangan karir seperti secapa, selapa, sespima, sespimen hingga sespati.
4. Punish dan reward selalu dapat menjadi parameter keberhasilan petugas kepolisian dalam berdinas melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Bentuk reward dapat menjadi motivasi dan self esteem bagi penerima reward, anggota merasa kerja kerasnya diperhatikan oleh pimpinan dan merupakan kebanggaan untuk bisa berhasil dibidang pekerjaan yang digelutinya. Demikian halnya dengan punishment, dari sudut pandang positif adalah merupakan suatu bentuk motivasi yang berupa teguran baik lisan maupun tertulis yang diberikan pimpinan kepada anggotanya untuk mendorong anggota yang bekerja dibawah standart dan tidak memberikan kontribusi yang cukup kepada organisasi Polri untuk dapat membenahi kinerjanya agar personil tersebut menjadi bermanfaat bagi organisasi Polri dan masyarakat. Hal inilah yang menjadi jurang pemisah antara Good Cop yang bekerja dengan etos kerja tinggi dan motivasi yang baik dengan menganut konsep Tri Brata dalam setiap pelaksanaan tugasnya dengan Bad Cop yang tidak memiliki visi dalam bekerja, unconsistent, dan tidak memiliki standart kinerja yang pantas, biasanya polisi tipe ini juga tidak memberikan kontribusi yang positif kepada masyarakat dan kedepannya malah memiliki potensi negatif yang dapat merugikan organisasi Polri.
Sesuai makna yang tergantung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya maka setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya harus memiliki[6]:
1. Attitude yang baik, tercermin dalam sikap perilaku, integritas moral, disiplin, semangat dan dedikasi yang tinggi dalam pelaksanaan tugasnya.
2. Knowledge, memiliki wawasan pengetahuan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan memiliki kemampuan untuk menguasai teknologi sejalan dengan perkembangannya yang sesuai dan bermanfaat untuk mendukung pelaksanaan tugasnya.
3. Inter Personal Skill, merupakan kemampuan dan ketrampilan dasar yang harus dimiliki oleh setiap insan Polri, dalam berkomunikasi dan berinteraksi  (human relation) baik dalam rangka pelaksanaan tugasnya maupun dalam kehidupan sehari-hari.
4. Technical Skill, mencakup kemampuan, kemahiran dan keahlian baik teknik, taktik, strategi, maupun manajemen yang didukung dengan pertanggung jawaban administrasi sesuai dengan jenis bentuk dan tatarannya.
Keempat aspek diatas saling berkaitan erat satu sama lain yang secara simultan harus ditumbuh kembangkan oleh setiap insan Polri sebagai aparat penegak hukum yang profesional yang dilandasi dengan nilai-nilai luhur dalam Tribrata, integritas moral, etika profesi dan berpegang teguh pada komitmen yang telah disepakati dalam pelaksanaan tugasnya.
Beberapa tahun belakangan ini kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Polri mulai pudar bersamaan dengan beberapa kejadian yang membuat publik bertanya-tanya akan integritas personil Polri mulai dari beberapa kasus seperti Polri VS KPK, Cicak lawan Buaya, rekening gendut, kasus Simulator SIM, dan lain sebagainya membuat Polri semakin berbenah baik secara internal maupun eksternal. Berbagai kasus tersebut tidak lepas karena Polri sebagai etalase terdepan pelayan publik di bidang hukum dan pemelihara kamtibmas yang mana dalam setiap tindak tanduknya selalu bersentuhan dengan masyarakat, maka berbagai kritik dan opini yang berkembang di masyarakat seharusnya  bukan menjadi faktor yang melemahkan mental personil Polri melainkan sebagai motivasi untuk menjadi lebih baik dari yang sebelumnya dan bertransformasi menjadi polisi sipil yang dikehendaki oleh masyarakat Indonesia. Hal ini membuat Polri mencanangkan program jangka panjang Reformasi Birokrasi Polri yang didalamnya ada Grand Strategi Polri yang mana merupakan garis besar rencana kerja Polri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan rasa aman dan tertib yang terbagi dalam tiga tahapan yakni :
a. Periode 2005 – 2010 Trust Building.
Fokus di periode ini adalah peningkatan pelayanan masyarakat untuk membangun kepercayaan publik terhadap Polri.
b. Periode 2010 – 2015 Tahap Partnership
Berangkat dari periode trust building, maka sekanjutnya masuk ke tahapan partnership dimana Polisi adalah mitra masyarakat. Polisi ada karena masyarakat dan hadir untuk masyarakat, demikian halnya masyarakat juga dapat membantu tugas kepolisian dalam lingkup tertentu karena pada dasarnya masyarakat kita adalah masyarakat yang taat hukum dan mengerti akan aturan perundang-undangan. Maka dengan partisipasi masyarakat dalam upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban merupakan suatu langkah progresif yang harus sudah dicapai di era tahapan partnesship ini. Adapun yang dikedepankan oleh organisasi polri adalah unsur polmas dengan babinkamtibmas sebagai garda terdepan dalam membina hubungan dengan masyarakat melalui suatu program FKPM yang memiliki wadah BKPM untuk menampung aspirasi masyarakat terhadap berbagai gejolak permasalahan yang timbul di masyarakat sehingga diharapkan deteksi dini dan penyelesaian perkara ringan dapat sampai ditingkat ini. Karena sesuai aturan dan sikap profesionalitas permasalahan yang sudah sampai di kantor polisi dan dibuatkan LP sudah seharusnya berjalan prosedur dan sesuai atruan yang berlaku sehingga tidak mengenal ADR atau pencabutan laporan sementara kasus tersebut bukan delik aduan atau yang lebih fatal lagi yang biasa disebut delapan enam perkara. Hal seperti demikian harus sudah dapat dihindari untuk menuju tahapan polisi masa depan yang professional, transparan dan akuntabel.
c. Periode 2016 – 2025 Tahap Strive for Excellence
Tahapan ini diharapkan Polri dapat mempertahankan profesionalitas dan mentalitas yang baik seperti yang dikehendaki publik dan selalu berjuang untuk kesempurnaan karena pada hakikatnya kita sudah di jaman globalisasi dan era kejahatan yang semakin canggih juga  tidak mengenal batas. Maka Polri harus dapat mengembangkan dirinya agar selalu selangkah lebih maju bila dibandingkan dengan permasalahan yang ada dan semakin berkembang di masyarakat. Perbaikan infrastruktur, good governance dan kompensasi pada personil POlri dari pangkat terendah sampai pangkat tertinggi adalah suatu kewajaran mengingat Polri sudah sampai di level yang mana menjunjung tinggi profesionalitas yang digaungkan masyarakatnya, transparan dalam pelayanan dan akuntabel dalam pelaksanaan tugas.
     Diharapkan dengan strategi diatas maka Polri dapat menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat juga penegak hukum yang professional, transparan dan akuntabel sehingga publik merasa terbantu dan keberadaan Polri sungguh sangat dirasakan.

BAB IV
PENUTUP
4.I KESIMPULAN
     Masyarakat Indonesia sekarang ini menyoroti kinerja kepolisian, mereka membutuhkan polisi yang professional dan memiliki mentalitas serta integritas yang baik. Polri sendiri telah memiliki pedoman kode etik dan pranatanya sendiri untuk menetapkan standar professional dan mentalitas bhayangkara sebagai Abdi utama masyarakat. Namun demikian adalah bukan suatu hal yang mudah bila kita menghendaki polisi yang notabenenya memiliki sejarah militer dan hingga saat ini pada sebagian oknum mental aparatnya masih ada yang cenderung bermental priyayi, namun hal tersebut merupakan dinamika dimana Polri dengan kritikan publik maka akan selalu akan belajar dan berbenah untuk membangun dirinya ( baca: institusi ) untuk menjadi lebih baik. Parameter professional dan mental yang baik itu sendiri dapat tercermin dari kemampuan aparat Polri dalam melaksanakan Tupoksinya yang utama yakni to protect dan to serve, apabila masyarakat sudah merasa ter-protect dan terlayani dengan baik, maka publik akan menilai Polri sudah professional. Jadi kata professional itu bukan lahir atas penilaian aparat Polri itu sendiri, melainkan lahir secara tulus dari hati masyarakat yang merasa terbantu, terlindungi, dan terlayani melalui hadirnya Polri.
4.2    SARAN
Adapun untuk menjadi Polisi yang professional kita harus berbenah secara holistic dan hal tersebut dimulai dari revolusi mental terhadap diri sendiri. Berpedoman pada Catur Prasetya dan Tri Brata serta memegang teguh Kode Etik Profesi Polri adalah tolak ukur untuk menjadi polisi professional yang bermental humanis, akuntabel dan sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat luas.


DAFTAR PUSTAKA
1.       Hutagalung RA. 2010. Ekologi Dasar. Jakarta. Hlm: 20-27
2.       Prof.Sudarsono, Teguh. 2014. Bunga Rampai.  Jakarta
3.       http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php. Maret, 2, 2015 pukul 13:08 wib
4.       https://krisnaptik.wordpress.com/tag/jati-diri-polri/. Maret 2, 2015 pukul 13.30 wib
5.       Prof. Reksodipuro, Mardjono.“Ilmu Kepolisian dan Profesionalisme Polri” dalam rangka sewindu Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (KIK-UI).
6.       Kunarto, Etika kepolisian, Cipta Manunggal, 1997.
7.       Kelik Pramudya,SH. Dan Ananto Widiatmoko, SH., Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum, cetakan pertama 2010.




[1] Hutagalung RA. 2010. Ekologi Dasar. Jakarta. Hlm: 20-27
[2] Prof.Sudarsono, Teguh. 2014. Bunga Rampai.  Jakarta.
[3] Yang dimaksud penulis disini logistik dalam artian luas, termasuk seragam dinas mulai dari tutup kepala hingga sepatu yang dikenakan petugas di lapangan, semua harus dalam keadaan baik dan rapih sehingga masyarakat yang melihat sosok Polri bisa merasa bangga memiliki petugas Polri di wilayahnya, bukan sebaliknya polisi terlihat tidak rapih.
[4] http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php. Maret, 2, 2015 pukul 13:08 wib. pro·fe·si·o·nal·is·me /profésionalisme/ n mutu, kualitas, dan tindak tanduk yg merupakan ciri suatu profesi atau orang yg profesional: -- perusahaan kecil perlu ditingkatkan dl waktu belakangan ini
[5] pro·fe·si /profési/ n bidang pekerjaan yg dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dsb) tertentu; 
ber·pro·fe·si v mempunyai profesi.